(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)
Tujuh puluh tahun silam, tepatnya tanggal 21 Agustus 1945, angkatan laut Jepang bertekuk lutut kepada angkatan laut Indonesia. Jepang kalah perang. Indonesia tampil sebagai pemenang. Peristiwa bersejarah itu lalu dikekalkan sebagai Hari Maritim Nasional bagi Negara Republik Indonesia (RI). Tonggak kejayaan kita di dunia maritim seolah bermula di sana.
Sesungguhnya, jauh sebelum RI terbentuk, Nusantara telah berjaya di dunia maritim. Sejarah mencatat tentang pelayaran nenek moyang bangsa ini hingga ke Madagaskar. Kejayaan kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku berkibar di bidang kemaritiman (Burger dan Prayudi, 1960; Salman, 2006). Haliadi-Saidi dkk (2013) juga mengurai kejayaan serupa yang pernah diraih ratusan tahun silam melalui Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Mengutip Edward L. Polinggoman, ia juga menyebutkan kejayaan Makassar pada abad ke 19 sebagai pelabuhan perdagangan yang penting. Cukup melimpah literatur tentang kisah heroik dan kejayaan bangsa ini di bidang maritim.
Di masa lalu, kisah gemilang ini ditandai dengan penaklukan dan ekspansi yang terjadi – dan berpusar – di laut. Wajar, tantangan nyata yang dihadapinya memang menuntut cara semacam itu. Seiring dengan beringsutnya waktu, semuanya berkembang, tak ada yang tak berubah.
Kini, kita tidak lagi berperang. Dalam artian, perang sebagai pengerahan pasukan tentara secara besar-besaran untuk menghadapi negara atau pihak lain dalam suatu pertempuran. Tak ada lagi upaya saling menaklukkan melalui pengerahan pasukan perang. Meski begitu, tantangannya tidak serta-merta menjadi semudah itu untuk diatasi. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama, secara proporsional tentu saja. Terutama dalam konteks pembangunan Maluku Utara, kita layak membincangkannya dalam nafas zaman kita hari ini.
Potensi dan Kendala
Sebanyak 76,20 persen wilayah Maluku Utara adalah lautan. Sejumlah 805 pulau di daerah ini terhampar di daratan seluas 140.366,32 km persegi. Menyadari potensi wilayah ini, pemerintah daerah pun menjadikan kelautan dan perikanan sebagai ‘leading sector’ dalam pembangunannya.
Kesadaran ini berbalur aneka rupa. Potensi sumber daya perikanan, sumber daya mineral, dan benda-benda berharga muatan kapal laut yang karam melambari sebagian kesadaran itu. Demikian pula wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan potensi sumber daya ekonomis: pemanfaatan jasa-jasa lingkungan dan wisata bahari, yang semuanya dipandang belum terkelola secara optimal. Memang, selalu ada harapan.
Dalam konteks pemanfaatan dan pengelolaan berbagai sumber daya potensial tadi, saya ingin meniliknya dalam perspektif budaya. Satu pertanyaan sederhana boleh diajukan untuk memulai uraian singkat dari pandangan ini. Sejauh manakah aspek budaya menjadi perhatian penting berbagai pihak terkait dalam kerangka pembangunan maritim kita?
Budaya Maritim
Perbincangan tentang budaya atau kebudayaan oleh sementara kalangan, ditanggapi sebagai sesuatu yang ‘tidak aktif’, ‘abstrak’, atau ‘tidak operasional’. Ini terutama menghinggapi kalangan yang berorientasi penuh pada ‘hasil’ dan mengabaikan ‘proses’ suatu kegiatan (proyek) atau program. Dalam praktiknya, ini bisa dijumpai pada perhatian berlebih dalam hal-hal, misalnya, peningkatan produksi perikanan, indikator berkembangnya investasi, modernisasi teknologi (alat dan sarana tangkap), penataan lembaga ekonomi nelayan, dst. Semata menekankan pada aspek tekno-ekonomi, dan mengabaikan budaya—yang menempatkan manusia sebagai aktor—sejak perencanaan hingga implementasinya adalah suatu kekeliruan. Bagaimanapun, berbagai upaya pembangunan pada akhirnya harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasarannya. Artinya, masyarakat (manusia) di sini sejatinya dipahami sebagai subjek, bukannya menjadi objek. Melalui kebudayaanlah pemahaman ini dimungkinkan.
Keunikan budaya maritim tertentu hanya dapat diidentifikasi dan dipahami sedemikian rupa melalui pemahaman mendalam mengenai sikap, pandangan, perilaku, dan tindakan dari komunitas-komunitas maritim pelaku budaya tersebut. Termasuk di antara kategori komunitas ini adalah komunitas nelayan, komunitas pelayar, komunitas pembuat perahu, pengusaha jasa wisata bahari (Salman, 2006; Lampe, 2006). Mereka yang memanfaatkan laut, baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai sarana dan prasarana untuk mendukung aktivitas mata pencaharian hidupnya. Merekalah yang dikategorikan ke dalam kelompok ini.
Berbagai permasalahan melingkupi kehidupan komunitas maritim. Terutama komunitas nelayan, isu-isu kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan keterbatasan akses atau ketergantungan pada modal merupakan tiga hal yang menjadi permasalahan sebagaian besar komunitas maritim. Jika permasalahan ini diurai secara rinci lagi, dimensinya dapat ditemukan dalam bentangan vertikal dan horizontal. Sumber penyebabnya juga dapat dilacak secara struktural ataupun kultural (Kusnadi, 2002). Cukup melimpah hasil studi dengan perspektif antropologis tentang kehidupan sosial budaya komunitas maritim. Sayangnya, untuk komunitas maritim di Maluku Utara studi semacam itu masih terbatas dilakukan, setidaknya sejauh yang saya tahu.
Pembangunan maritim tidak hanya menyangkut peningkatan infrastruktur kemaritiman. Memang, membangun dermaga atau pelabuhan, modernisasi sarana dan alat tangkap, investasi besar-besaran, sebagai contoh, itu juga penting. Akan tetapi, berbagai upaya ini harus dibarengi dengan pemahaman memadai terhadap komunitas-komunitas maritim dengan latar belakang dan aneka permasalahannya masing-masing.
Melampaui realitas fisik mereka, jagad pikir, persepsi, pandangan, respons, dan pola tindakan mereka harus diselami, dipahami, sehingga dapat diidentifikasi dan dinyatakan dengan tepat. Tidak jarang, kita terlalu apriori dengan menganggap bahwa permasalahan dan kebutuhan mereka itu sama di berbagai tempat. Karena itulah kita membutuhkan berbagai ‘alat’ dan metode untuk mengintimi kehidupan mereka.
Antropologi Maritim
Dari perspektif ilmu budaya, salah satunya ‘alat’ yang dapat digunakan untuk ‘membedah’ komunitas ini adalah ilmu antropologi. Sejak semula kelahirannya, disiplin antropologi memfokuskan kajian pada upaya pemahaman tentang manusia dan kebudayaannya. Dalam perkembangannya, seturut dengan dinamika masyarakat yang menjadi konteksnya—selain karena pengaruh perkembangan teori dari dalam ilmu ini sendiri, terjadilah spesialisasi kajian. Karena itu, berkaitan dengan studi dalam bidang maritim, dikenal ‘Anthropology of Fishing” dan “Anthropology of Maritime’. Jika kelompok pertama lebih fokus pada kebudayaan masyarakat nelayan, maka kelompok kedua terutama mengarahkan studinya pada sistem ekonomi masyarakat nelayan. Di dalamnya dikaji berbagai isu tentang nelayan modern dan industri perikanan, berbagai aspek kehidupan nelayan, termasuk bentuk-bentuk adaptasi masyarakat maritim. Selanjutnya, kedua kelompok studi ini akhirnya memilih untuk ‘bekerja sama’. Alasannya, ketika mengkaji tentang kebudayaan pada masyarakat nelayan, pembahasan tentang sistem ekonominya juga harus dilakukan. Demikian pula sebaliknya. Singkatnya, menurut Acheson (1981), antropolog membahas kehidupan sosial ekonomi dan budaya nelayan dalam konteks kemaritiman negara bersangkutan.
Gagasan tentang karakteristik budaya yang bersifat khas, unik, dan berlaku lokal menuntut adanya kajian terhadap masing-masing kelompok maritim tertentu dalam kerangka pembangunannya. Posisi dan peran ilmu sosial-budaya menjadi penting di sini. Ini bentuk idealnya. Dalam praktiknya, pelibatan ilmu-ilmu budaya dalam kegiatan riset dan aksi suatu program/kegiatan acapkali belum ‘seberuntung’ ilmu-ilmu keras (eksakta). Bahkan, dalam suatu tim penelitian multidisiplin, misalnya, yang mensyaratkan pelibatan ilmu sosial-budaya, terpaksa menerima nasibnya dipangkas di sana. Sebab dianggap sebagai pelengkap belaka. Bias positivistik— suatu sikap dan pandangan etnosentris yang telah ditinggalkan sejak lama oleh ilmuwan, menjadi nyata di titik ini (lihat Ahimsa-Putra, 2002; Muhadjir, 2003).
Dinamika Budaya Maritim
Pada dasarnya menurut suatu perspektif tertentu, kebudayaan itu bersifat dinamis. Pandangan ini mendukung gagasan tentang kemutlakan perubahan dari suatu kebudayaan. Aneka rupa komunitas maritime tadi. Dengan demikian, menjadi tidak sederhana lagi untuk dipahami secara apriori belaka. Mereka adalah sekumpulan orang-orang atau warga dari suatu komunitas pendukung suatu kebudayaan khas yang terus berubah seiring konteks kehidupan yang melatarinya.
Koeksistensi antara budaya lokal kemaritiman dan arus global(isasi) adalah hal lain yang juga patut dipertimbangkan di sini. Permasalahan dan kebutuhan serta solusi yang dibutuhkan di sana tidak bisa lagi ditentukan dengan cara ‘menyederhanakannya’. Tentu saja jika kita bersungguh-sungguh ‘membangun’ mereka.
Sebagai refleksi, saya ingin menutup uraian singkat ini dengan beberapa pertanyaan. Sudahkah aspek budaya menjadi prioritas dalam membangun dunia kemaritiman kita di daerah ini? Bagaimanakah respon terhadap signifikansi peran kalangan ilmu sosial-budaya dalam riset dan aksi serta penerapannya di bidang kemaritiman? Seberapa besar empati kita untuk menggali persoalan dan menemukan solusinya terhadap realitas kehidupan komunitas-komunitas maritim? Akhirnya, masihkah kita berjaya di dunia maritim? Terhadap semua hal ini, saya skeptis!
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada lama, Opini Malut Pos, 2 9 Agustus 2015