Profil Penulis
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)
Kamis (6/8/2015), sidang atas para terdakwa: Bokum dan Nuhu, kembali digelar untuk kesekian kalinya di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore denganagenda pemeriksaan terdakwa. Keduanya adalah warga komunitas Tugutil. Serangkaian persidangan, percikan gagasan dan pemberitaan di media ini, serta perbincangan atasnya, memantik sekelumit pemahamansaya tentang orang Tugutil dan kebudayaannya serta respons kalangan lain atas mereka.
Ada tiga alasan yang mendorong saya untuk mendadahkan gagasan berikut ini. Pertama, sebagai reaksi saya atas opini yang pernah dimuat Harian Malut Post (edisi 24/6/2015) yang ditulis oleh Munadi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara. Kedua, wujud keberpihakan saya pada perspektif bebas-nilai sebagai konsekuensi dari pemaknaan dan aktivitas keilmuan yang saya geluti, antropologi. Ketiga, minat terbesar saya kepada wacana masyarakat dan kebudayaan sebagai bagian, sekaligus tuntutan, dari profesi yang saya tekuni, yakni sebagai dosen Antropologi Sosial di Universitas Khairun.
Sekelumit Wacana
Diskusi tentang kedua orang Bokum dan Nuhu (BN) merupakan sekelumit wacana yang merepresentasikankomunitas Tugutil. Sebagaimana diketahui, komunitas ini dikenal sebagai salah satu ‘penduduk asli’ (indegenous people) yang mendiami sebagian Pulau Halmahera. Mereka tidak hanya dibicarakan dalam kedudukannya secara personal (individu), melainkan juga dalam konteks keterlekatannya (embedded) pada masyarakat dan kebudayaan yang melahirkan, mengasuh, mensosialisasikan, dan memperkembangkannya. Saya membicarakan mereka dalam cara-cara yang disebutkan terakhir ini.
Opini yang ditulis oleh Munadidan beberapa berita lainnya yang diliput koran ini memberikan saya gambaran yang cukup luas tentang BN dan kompleksitas fenomena yang melingkupinya. Secara formal, kasus yang menimpa BN adalah ranah hukum (formal). Bentangan kisah BN oleh Munadi terbilang cukup komprehensif. Setidaknya penuturan kronologis peristiwa hingga peradilan atasnya ditunjukkan di sana. Tentu saja semua itu menurut sudut pandang dan subjektivitas penulisnya. Katakanlah itu benar—dan saya berharap memang begitulah kebenarannya—maka saya tertarik mengimbuhi pandangan tersebut.
Saya melihat praktik pemaksaan, keculasan, dan ketidakadilan dalam proses-proses peradilan pada kasus BN dan dakwaan atas mereka. Ini dilakukan oleh aparat penegak hukum: polisi, hakim, dan jaksa.Pelbagai praktik tadi dapat dijumpai dalam proses penangkapan, pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), hingga penahanan serta persidangan atas kedua orang Tugutil ini. Pada saat menjelang penangkapan, ada keraguan dari pihak kepolisian: benarkah mereka yang melakukan pembunuhan atau bukan? Saat pembuatan BAP di kepolisian mereka tidak didampingi penerjemah bahasa (Indonesia-Tugutil) yang layak. Tatkala ditahan di rumah tahanan negara (rutan), mereka juga tidak mendapatkan pemenuhan hak secara memadai: tidak ada upaya pengobatan terhadap keluhan rasa sakit/nyeri di dada akibat hantaman polisi saat penangkapan mereka. Begitu persidangan kasus mereka digelar di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore, penerjemah bahasa yang layakpun tidak disediakan. Sidang digelar dengan berbahasa Indonesia ini sama sekali tidak dipahami oleh kedua orang yang sedang diadili.Keduanya hanya memahami Bahasa Tugutil. Sementara penerjemah yang digunakan dalam persidangan itu lebih banyak ‘menafsirkan’ucapan kedua orang teradili ketimbang menerjemahkannya dengan baik dan tepat. Ini beberapa realitas yang bisa dicermati dari uraian Munadi.
Hukum dan Kebudayaan
Berbagai kajian antropologi, terutama antropologi hukum, menunjukkan bahwa antara hukum dan kebudayaan keduanya berfungsi melakukan kontrol terhadap kehidupan bermasyarakat.Hanya saja, keduanya berbeda dalam hal kekuatannya menjalankan fungsi tersebut. Hukum (modern) serupa ‘teknologi-mesin’ yang begitu kuat ketimbang kebudayaan yang lebih lembut, persuasi, dan sosialisasi (Syahrizal, 2004). Tak ayal, penegakan hukum (formal) acapkali dilakukan melalui cara paksaan dan kekerasan (koersif).
Hukum (modern), atau hukum formal/hukum negara sejatinya mengakomodasi berbagai tradisi dan kebiasaan yang diyakini dan dipraktikkan oleh kelompok masyarakat pendukungnya. Secara sederhana, berbagai praktik semacam ini terkodifikasi dalam hukum adat berbagai masyarakat tempatan. Ini diperoleh dan diwariskan dari leluhur di mana kelompok masyarakat tersebut hidup dan melangsungkan kehidupannya. Dengan kata lain, pandangan ini ‘menuntut’ pemahaman mendalam terhadap aspek kehidupan masyarakat di mana suatu aturan atau norma hukum diterapkan. Di titik inilah hukum negara—acapkali, jika bukan selalu—mensubordinasikanhukum adat. Pluralisme hukum menjadi perhatian yang penting di titik ini.
Suatu keadaan semi autonomous social field (SASF) dapat dijelaskan sebagai pelaksanaan aturan secara kompetitif. Dalam hal ini, Moore (1973, 1983) menjelaskan bahwa berbagai kondisi sosial yang dipelajari oleh antropolog merupakan kenyataan yang menghasilkan aturan-aturan (rules), kebiasaan (custom) dan simbol simbol secara internal. Meski demikian, ia juga menyadari bahwa hal-hal ini rentan terhadap aturan dan berbagai kekuatan lainnya yang berasal dari luar (larger world). Aturan adat dan hukum negara bisa disebutkan untuk hal terakhir ini.
Dalam kasus hukum yang melibatkan warga komunitas Tugutil, pertimbangan hakim ataupun tuntutan jaksa harus memahami dengan baik kebudayaan orang Tugutil. Karena itulah, para ahli yang kepakarannya terkait dengan komunitas ini dimintai keterangan dalam persidangan ini. Adalah Safrudin Abd Rahman dan Saiful Madjid—secara berturut-turut, masing-masing sebagai antropolog dan sosiolog serta dosen yang aktif melakukan pendampingan (pemberdayaan) dan penelitian pada komunitas Tugutil—sebagai saksi ahli dalam hal ini. Keduanya memahami dengan baik tentang orang Tugutil dalam konteks kajian dan disiplin ilmu mereka. Tentu saja, secara profesional, para saksi ahli memberikan keterangannya tidak ditujukan untuk membela salah satu atau beberapa pihak yang saling berlawanan dalam kasus yang menimpa mereka. Keterangan mereka objektif, apa adanya, bebas-nilai. Dasar argumennya jelas, fakta dan data lapangan serta kesimpulan penelitian, baik dilakukan sendiri atau peneliti lainnya.
Memahami Tugutil
Di luar persidangan, dalam perbincangan yang tak formal, saya intim mengobrol dengan kedua saksi ahli. Tentu saja obrolannya terkait dengan orang Tugutil dan kebudayaannya. Bokum dan Nuhu hanyalah dua orang yang merepresentasikan komunitasnya. Dalam jangkauan pengetahuannya, ada beberapa hal yang dituturkan di sana.Pertama, orang Tugutil bisa membunuh karena beberapa alasan, terutama karena (i) pelanggaran batas hutan milik komunitas, (ii) merampas atau mengambil milik mereka, dan (iii) merampas istri orang lain. Meski mereka hidup berpindah-pindah secara rotasi, tetapi mereka mengenal baik lingkungan alam, termasuk batas kepemilikannya. Lahan dan tanaman di dalamnya, terutama yang pernah ditanam di waktu lalu merupakan milik mutlak seseorang yang telah mengolah sebelumnya.Seperti halnya hewan piaraan, misalnya anjing, tanaman merupakan aset berharga.
Contoh tanaman ‘berharga’ meliputi: tanaman konsumsi (batatas, kasbi, pisang, dll); tanaman obat (membakar atau menebangnya akan bikin mereka marah); pohon enau (seho) karena menjadi sumber gula, minuman, membuat tali, dll.
Mengambil atau menebang tanaman dengan cara serampangan, terutama tanpa seizin pemiliknya, akan membangkitkan kemarahan pemiliknya. Tanaman merepresentasikan pemiliknya. Mencuri hasil tanaman atau menebang pohon tertentu milik orang lain dimaknai sama dengan menghina pemiliknya. Di atas semua itu, ada keyakinan religi bahwa semua tanaman atau pepohonan memiliki ‘tuan’, ‘penjaga’, atau ‘nabi’-nya sendiri. Dalam hal pengobatan, cara mengambil, mekanisme, dan mantra yang menyertainya menentukan tingkat kemanjurannya dalam menyembuhkan penyakit yang diobati ramuan tanaman ini. Ini menyimbolkan adanya hubungan kuat antara diri (self) dengan kekuatan lain yang diyakini mengatasi manusia (supranatural). Bentuknya lebih banyak berupa roh-roh dan arwah leluhur.
Terkait dengan hal di atas, dalam kebudayaan orang Tugutil, hutanpun dibagi ke dalam tiga kategori berdasarkan kegunaan dan sifatnya, yakni: hutan pemukiman (HM), hutan pertanian (HT), dan hutan yang disakralkan (HS). Membabat atau mengusik hutan jenis HS bisa memicu kemarahanbesar —hingga menyebabkan pembunuhan bagi pihak lain—komunitas ini. HS biasanya berkaitan dengan tempat dan benda tertentu misalnya pohon besar, gua, dll. Semua ini akan dihindari untuk dilintasi. Jika terpaksa, mereka akan ‘hiloloa’ dengan ucapan khas sebagai bentuk izin, permisi kepada roh leluhur (‘gomanga’).
Perempuan merupakan hal berharga dalam kebudayaan komunitas Tugutil. Ini lazim dijumpai dalam kebudayaan masyarakat manusia. Membawa lari istri orang lain, baik sesama kelompok maupun antarkelompok, merupakan pelanggaran berat menurut adat tradisi. Sebagai sanksinya, kedua laki-laki dan perempuan akan dibunuh jika ditemukan dalam jangka waktu 3-5 tahun sejak ‘pelarian’ terjadi. Jika ditemukan setelah periode waktu tersebut, keduanya terbebas dari hukuman dan diterima secara sosial dalam masyarakat mereka.Bahkan, kepada laki-lakinya disematkan pengakuan sebagai orang hebat, jago, dan ‘bukan-orang-sembarangan.’ Berikutnya, ia tampil sebagai seseorang yang disegani dalam komunitasnya.
Kedua, hutan ulayat.Ini juga termasuk ke dalam bagian penting dalam kebudayaan orang Tugutil. Setiap kelompok (komunitas) mengenal dengan baik wilayah hutan ulayat mereka, termasuk batas-batas kepemilikan dan penguasaannya. Tatkala berburu dan melanggar batas hutan ulayat kelompok lain, kemarahan hingga saling berbunuhan dapat dipicu oleh hal ini. Meski dapat terjadi pada saat berburu, tetapi ada juga mekanisme pengaturan dalam tradisi mereka jika mengejar binatang buruan yang telah terkena senjata kelompok lain sehingga berlari memasuki ulayat kelompok berbeda. Biasanya dengan berbagi bagian tubuh dari binatang buruan yang ditangkapnya.Konsep lokal tentang ‘nanga hongana’ (hutan kami) mengukuhkan klaim tentang hutan yang diakuisebagai miliknya.
Ketiga, kecuali ‘terpaksa’, orang Tugutil bukanlah pembunuh. Pada dasarnya naluri mempertahankan diri dimiliki semua makhluk. Tidak hanya manusia, binatangpun demikian. Seperti kita semua manusia, orang Tugutil juga begitu. Beberapa hal yang saya tunjukkan dalam poin sebelumnya, dikategorikan ke dalam kondisi ‘terpaksa’ ini. Ada pandangan stereotif dari sebagian besar masyarakat bahwa orang Tugutil adalah liar, ganas, primitif, dan pembunuh. Tidak hanya menyesatkan, pandangan semacam ini juga meremehkan, menghina, dan merendahkan kebudayaan kelompok manusiayang disebut Tugutil ini. Bahwa kebudayaan mereka lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat lainnya yang begitu kompleks, dalam studi perbandingan kebudayaan, adalah benar adanya. Namun, harus dibedakan antarasederhana-kompleks dengan terbelakang-maju; tinggi-rendah; buruk/jelek-baik. Setiap kebudayaan dengan segala bentuknya adalah berharga dan mulia bagi pendukungnya. Dalam konteks inilah orang Tugutil dan kebudayaannya sejatinya mendapatkan penghargaan yang setara dengan kebudayaan kelompok manusia lainnya di muka bumi ini.
Persidangan tanpa penerjemah bahasa yang layak bagi kedua orang Tugutil termasuk mengabaikan hak-hakmereka. Mereka tidak ‘ditakuti’, disidangkan ‘asal-asalan’, atau ‘di-dikte’ dan dipaksa membenarkan apa yang sesungguhnya mereka tidak lakukan atau dipahaminya. Tokh, mereka primitif, terbelakang, bodoh, dll hal negatif yang disematkan kepadanya sehingga perlakuan semacam ini kepadanya dianggap pantas. Saya tidak dalam kapasitas membela kedua terdakwa (Bokum dan Nuhu), tetapi uraian Munadi dalam opini sebelumnya memunculkan tafsiran saya semacam ini. Karena itu, jika Munadi mempertanyakan aspek keadilan bagi Bokum dan Nuhu dalam peradilannya, saya tegas menjawab: tidak adil!
Mengawasi Persidangan
Secara formal, negara telah mengatur tentang proses persidangan di semua jenjang pengadilan. Meski begitu, keterlibatan masyarakat luas, organisasi, dan akademisi juga diperlukan untuk memastikan jalannya persidangan dan proses peradilan secara luas yang adil bagi semua pihak. Bukan untuk membela orang per orang, melainkan demi keadilan dan kesetaraan budaya bagi kelompok-kelompok yang—secara kebetulan—terlibat dalam suatu kasus hukum yang menyeretnya menjadi terdakwa. Apalagi jika mereka termasuk dalam kalangan yang tidak berdaya—karena keterbatasan pengetahuan dan kesederhanaan budaya—dan terpinggirkan (dipinggirkan?).
Kelompok-kelompok yang terlibat sejauh ini adalah AMAN Maluku Utara, Klinik Bantuan Hukum Lembaga Mitra Lingkungan (LML), dan dukungan akademisi (sebagai saksi ahli atas permintaan Klinik Bantuan Hukum LML). Dukungan media, misalnya Harian Malut Post, melalui liputannya juga sudah didapatkan. Saya dengar, beberapa Bobato dari Kesultanan Tidore juga diutus Sultan Tidore untuk menghadiri sidang tersebut. Saya sering mendengar teriakan dari kelompok-kelompok yang selalu mengatas-namakan rakyat, keadilan, kemanusiaan, hak azasi manusia, dan banyak slogan bernada bombastis lainnya. Sejauh ini, saya belum pernah mendengar suara mereka dalam fenomena (kebudayaan) yang saya bicarakan ini.Demi keadilan dan kewajaran hidup bersama, saya kira, kita pantas memperjuangkannya. Selamat berkebudayaan!
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 8 Agustus 2015