Politik Ruang

Editor: The Tebings author photo
Lihat Profil
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

Hari-hari kita belakangan ini ramai-sesak oleh wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada). Tidak hanya terjadi di tingkat lokal (Maluku Utara), ini memang menjadi perbincangan atau isu nasional. Sibuk dengan aktivitas atau menanggapi isu di balik ini, wacana Batu Bacan dan Obi seolah mulai tenggelam. Setidaknya, bagi segelintir kalangan tertentu.

Semua itu berlangsung di dalam ruang, baik secara fisik maupun sosial. Sejarah kehidupan yang dibangun dari kelaziman sehari-hari. Di berbagai tempat bermunculan ‘analis’ politik. Di pasar, pangkalan ojek, ‘leger’, beranda rumah, kantor, kampus, adalah beberapa ruang yang menjadi panggung para analis ini.  

Ada pihak yang diam-diam sesama kelompoknya mengatur strategi demi memenangkan kandidat usungannya. Sementara kalangan lainnya setengah terbuka dan rada malu-malu menyatakan dukungannya. Beberapa di antaranya juga bersikap secara frontal dan tegas ‘mempromosikan’, membela, atau ‘memasang-badan’ demi jagoannya. Ada banyak aksi, respons, dan tindakan lainnya lagi.

Akhirnya, pada Desember 2015 nanti berbagai upaya, strategi, taktik, pengorbanan, dllmenjadi momentum penentu tentang seberapa efektif dan efisien semua hal itu mencapai maksud dan tujuannya masing-masing. Tidak apa, sepanjang kita bisa menjaga keharmonisan hidup bersama dan menjamin ketenteraman bagi semua, rupa-rupa cara yang ditempuh justru akan indah dan terasa dinamikanya. Begitulah sebagian cakrawala keseharian melingkupi ruang kita. Lalu apa "istimewanya" antara ruang keseharian kita dan wacana Pilkada ini? 

Mendefinisikan Ruang
Walau tampak serupa ‘perbincangan’ remeh-temeh, tetapi ia segera bermakna tatkala perannya mengisi dan membentuk ruang menjadi suatu ‘ruang yang lain’. Menyitir Durkheim (1912), seperti waktu dan kausalitas, ruang (space) merupakan akar sosial dari kategori-kategori fundamental terhadap upaya pemahaman tentang manusia. Dengan kata lain, warga suatu masyarakat dapat dipahami, salah satunya, melalui perbincangan-perbincangan yang menyeruak dan segera me-ruang dalam dunia keseharian mereka.

Ruang (space), ruang-publik (public sphere), politik, dan demokrasi merupakan serangkaian konsep yang memang lekat dalam kehidupan kita. 

Konsep tentang ruang dalam ilmu sosial, secara garis besar dipandang secara absolut dan relatif. Secara absolut, ruang dipahami sebagai dualisme antara (i) ruang dan (ii) kehidupan sosial dan tubuh. Menurut pandangan ini, kehadiran ruang merupakan kondisi latar kontekstual yang bebas terhadap tindakan sosial dan persepsi manusia. Tindakan sosial dengan demikian berlangsung di dalam ruang yang yang tak-bergerak (unmovable) dan tetap (fixed). Ruang di sini lebih bermakna secara fisik. Mangga Dua, Jati, atau Ngade, misalnya adalah beberapa nama ruang berbentuk kampung dalam pengertian ini.

Sebaliknya, ruang dalam pengertiannya yang relatif, dipahami sebagai hasil bentukan struktur dari posisi-posisi relatif tubuh dan objek antara satu dengan yang lainnya. Ruang di sini didefinisikan oleh posisi-posisi aktor, tindakan sosial, dan barang-barang sosial (seperti status dan kekuasaan). Relasi sosial selanjutnya mengalir ke dalam produksi ruang, formasinya, dan pelembagaannya (institutionalization).Karena itu, sebagai amsal, Mangga Dua yang rukun, Jati yang tertib, Ngade yang bersih, adalah hasil dari bentukan, pendefinisian, dan relasi para aktor (warga masyarakat) di sana. Atribut kandidat, misalnya baliho, spanduk, banner, dll akan membedakan tempat-tempat (sites, space) yang tadinya serupa secara fisik — sama-sama tak-bergerak (unmovable) dan dan tetap (fixed).

Sebagai arena partisipasi politik, berbagai ide-ide, alternatif, opini, dan bentuk diskursus lainnya mengambil tempat di dalam ruang. John Stuart Mill menyebutnya  sebagai ruang yang di dalamnya seseorang datang dan bergabung dalam perjuangan atau perebutan tentang bagaimana negara dan politik seharusnya membicarakan isu-isu besar hingga saat itu. Dengan kata lain, mereka memperbincangkan perihal aktual dalam konteks politik dan negara.
Konsep ruang-publik (public sphere) mulai muncul pada abad ke 18 seiring dengan pertumbuhan rumah kopi, masyarakat sastra, asosiasi sukarela, dan perkembangan pers. Dari kalangan ini, upaya mereka untuk mendisiplinkan negara, parlemen, dan berbagai agensi representasi pemerintahan lainnya dimaksudkan untuk menata atau mengelola ruang publik.

Bagi Habermas, ruang-publik ini diciptakan oleh masyarakat biasa yang berkumpul bersama-sama sebagai ‘publik’ dan mengartikulasikan kebutuhan–kebutuhan masyarakat dengan negara. Melalui pertemuan dan dialog, ruang publik menciptakan opini dan sikap yang melayani afirmasi atau tantangan menuju permasalahan negara. Oleh Rutherford, ruang-publik ini merupakan sumber dari opini publik yang dibutuhkan untuk melegitimasi otoritas dalam berbagai fungsi demokrasi.

Dalam caranya yang lain, Jurgen Habermas mengidentifikasi ruang publik sebagai “ruang-terbuka” bagi warga negara biasa yang mengambil kontrol terhadap perbincangan dari negara (state). Bagi Habermas, ruang publik ini terbuka bebas bagi partisipasi politik para pendatang baru sebagai prasyarat dari demokrasi. Tentu saja demokrasi yang dipancangkan di atas keadilan dan partisipasi di ruang publik.

‘Voice of Other’
Kalangan kritikus antikolonial dan postkolonial secara khusus memperhatikan provokasi, autentifikasi, dan selebrasi pada suara (voice) dari Sang Lain (Other). Ada berbagai cuplikan narasi keserbaragaman dari perbedaan dan keberagaman pada subaltern. Mereka telah lama dibungkam dalam jangka waktu yang panjangdi bawah hambatan dan praktiknya oleh kaum kolonial dan neokolonial. Identitas Sang Lain, mereka yang terpinggirkan, seringkali dikonstruksi oleh pihak lain yang merupakan pendukung ideologi dominan. 

Sebagai suatu arena dari aktivitas gerakan sosial (social movement), ruang-publik berdaya membangkitkan aksi kolektif. Ia mencoba mengangkat isu-isu yang selama ini disingkirkan dari diskusi atau perbincangan politik sehari-hari. Sang Lain mendapatkan ruangnya di sini.

Karena itu, perbincangan para ‘analis’ di berbagai panggung, sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, menjadi menarik dicermati. Ia tidak hanya mewakili suara yang terpinggirkan, melainkan serupa perbincangan tidak formal yang yang menggagas, mengangkat, dan membunyikanperihal aktual dalam politik sehari-hari. Mereka adalah warga negara biasa yang mencoba tampil dan secara bebas menunjukkan partisipasinya di ruang publik dalam konteks keadilan dan demokrasi. 

Memaknai Pilkada
Sepintas lalu, pilkada tak ubahnya dengan pemilihan ketua kelas atau ketua Osis. Bedanya, hanya pada level dan skalanya saja. Substansi dan prosesnya sama: memilih pemimpin dengan cara pemungutan suara. Simplikasi ini memang semena-mena adanya. 

Perbedaan mendalam dan meluas dijumpai jika ditelisik lebih jauh lagi. Latar belakang aktor (pendukung dan kandidat), relasi antar-aktor, kepentingan, pandangan (politik) strategi pemenangan, dll adalah beberapa di antara variabel pembedanya.Pilkada menjadi tidak sederhana lagi di sini.

Meski begitu, pilkada juga bukan ‘barang-baru’ bagi kita. Kita sudah melintasinya berkali-kali. Di tempat tertentu, bahkan harus berpilkada dua kali dalam serangkaian proses demi menentukan satu pemimpin. Pelanggaran aturanlahyang membuatnya demikian.Di banyak tempat, saya juga mengoleksi banyak data tentang perseteruan antarpendukung kandidat. Umumnya memang selesai secara kekeluargaan, atau redam dan berakhir dengan sendirinya. Hanya sedikit pihak yang memperpanjangnya hingga ke jalur formal (hukum/kepolisian).

Pilkada memang merupakan kelaziman berpolitik di satu sisi dan ketegangan praktik kehidupan sehari-hari di sisi lainnya. Melalui dialog dan perjumpaan antarkelompok berbeda, berbagai ide, opini, diskursus, dan partisipasi politik lainnya dipertautkan. Karena itu, pilkada bukan lagi ruang kosong. Ia dimaknai, diisi, dan direspons sedemikian rupa dengan cara-cara yang khas oleh para aktor yang terlibat di sana. Bagi saya, pilkada dapat dimaknai seperti uraian singkat berikut ini. 

Mencipta Ruang 
Di sini saya membayangkan sebuah ruang imajiner, bukan ruang fisik. Ruang yang hendak diciptakan kembali (reproduksi ruang) merupakan titik konvergensi (pertemuan) dari berbagai perbedaan (politik) sehari-hari. 

Ruang rekaan ini sendiri dibentuk oleh warga-biasa – Habermas menyebutnya dengan komunitas virtual –yang kehadirannya tidak harus sungguh-sungguh nyata (secara fisik) dalam ruang yang teridentifikasi sedemikian rupa. Dengan kata lain, opini dan sikap para warga-biasa ini menjadi lebih penting daripada wujud kebertubuhannya. 

Sebenarnya di sini kita bicara tentang sesuatu yang tak-tampak, abstrak, tapi jelas terdengar, terasa, dan ‘menuntut’ perwujudan dalam bentuknya yang lain. Sebab yang dibicarakan adalah persoalan politik -dan negara tentu saja – dalam konteks pilkada, maka calon pemimpin (kandidat) harus peka mendengarkan, menyimak, dan mendaftarkannya ke dalam sanubari sebagai ikrar dan tanggung jawab yang harus dituntaskan, ditunaikan, andaikan kelak terpilih. Tentu saja, sekali lagi, selain rencana mantap (visi dan misi) dibayangkannya sendiri.

Jika kita menyepakati Rutherford, maka eksistensi ruang yang mengalirkan opini publik semacam ini sejatinya memang dibutuhkan untuk melegitimasi otoritas dalam berbagai fungsi demokrasi. 

Bertemunya rupa-rupa perbedaan tadi menyatukan kita dalam suatu ruang kebersamaan. Di titik ini, saya memafhumi peran nilai budaya kita sebagai inspirasi, sekaligus daya dari praktik. Bukankah kita kaya dengan ungkapan lokal yang mengandaikan, misalnya buah pala dan cengkih, yang ditanam, tumbuh, dan dipanen bersama. Bolehlah kita bersentuhan atau mencerna konsep-konsep modern dalam dimensi politik, tetapi tradisi (kebersamaan) harus di-ruang-kan sehingga mengakar dalam jagad sosial kita. Di dalam ‘ruang’ baru ini, kekerasan ditolak; kecurangan binasalah. Sampai di sini, saya menggunakan konsep ‘one dimensional citizen’-nya Herbert Marcuse, dalam artian yang positif. Satu-satunya dimensi warga negara di dalam ruang semacam inikeberpihakan dan pembelaannya kepada kebersamaan. Saya membayangkannya demikian!

Gaung Suara Marginal
Di luar momentum pilkada, tidak ada ruang yang selapang ini untuk membincangkan politik secara luas, bebas, dan terbuka. Harapan, aspirasi, dan kritik meruahi ‘arena-terbuka’ yang bernama ruang-publik. Para pihak (pendukung) saling menilai, mengajukan pandangan, memangkas, menutupi kekurangan, dll. 

Arena dari aksi politik di ruang-publik ini digerakkan oleh individu atau kelompok. Karena itu, menurut Donald A. Nielsen (2005) – yang gagasannya diilhami John Stuart Mills - dalam demokrasi modern, ruang-publik secara khusus merupakan arena dari aktivitas gerakan sosial (social movement). Sebagai aksi kolektif, ia mencoba mengangkat isu-isu yang selama ini disingkirkan dari diskusi atau perbincangan politik sehari-hari. Ia juga mencakup diskursus (wacana) naratif dan tekstual - termasuk pidato, jurnalisme, sastrawan, artikel, lagu, teater - dan aksi performatifyang mengkomunikasikan tentang politik - semua bentuk demonstrasi atau protes, pembangkangan sipil, ketidaktenteraman.Karena itu, tulisan ini sendiri bisa jadi merupakan bagian dari suara-suara yang terbungkam itu.

Kalangan inidapat pula direpresentasikan oleh warga-biasa yang air ledengnya tidak mengalir lancar; jalanannya rusak; dermaga kapalnya lapuk;bangunan sekolahnya tak layak;jauh dari jangkauan fasilitas kesehatan;hasil panenkebunnya tak optimal; hasil melautnya pas-pasan. Mereka bisa menjadi daftar panjang jika dijejerkan di sini. Mereka juga termasuk yang miskin dan terasing dari pemihakan kebijakan pembangunan. Di sana juga ada kalangan muda, kelas menengah, yang memiliki kesadaran untuk membangun komunitas atau kelompok rentan tertentu. Ada banyak lagi lainnya.

Akhirnya, di dalam kemutlakan ruang (fisik) yang menampung segala pemaknaan kita terhadapnya, kita menisbikannya lagi dengan terus membentuk’ruang-baru’yang mengartikulasikan gagasan, wacana, kepentingan, dan pelbagai fenomena kehidupan sehari-hari. Bentuknya dapat bermula dari hal remeh-temeh, hingga wujudnya yang fundamental dalam tata hidup sosial kita. Di dalam ruang ini, kelayakan hidup bersama diupayakan, dibangun, dihargai, dan dirawat untuk menjamin keberlanjutan hidup semua kalangan. Ke sanalah kepentingan kita semua bermuara. Semoga! (*)

****
Tulisan ini pernah dimuat pada laman Opini Malut Pos, 15 Agustus 2015.

Share:
Komentar

Terkini