Melintasi Kita

Editor: The Tebings author photo
Lihat Profil
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

Salah satu hal yang cukup masyhur dari seorang Jokowi, sebagai Presiden RI, adalah gagasannya tentang Revolusi Mental (RM). Agar menjadi nyata dan aplikatif, gagasan ini dituangkan, ‘dibumikan’ ke dalam program-program pembangunan yang menjadi perhatian pokoknya. Tentu saja Jokowi tak bekerja sendirian. Gagasannya sendiri tidaklah benar-benar asli (orisinil). Tidak juga sungguh-sungguh baru. 

Mental yang hendak direvolusikan ini, oleh sementara kalangan,  lazim diasosiasikan dengan makna-makna berkaitan keadaan batin dan watak manusia yang cenderung degradatif. Seiring dengan itu, menguat juga pandangan seolah kemerosotan dan kemunduran pada keluhuran budi dan keagungan nilai-nilai budaya kita. Padahal, kita telah disosialisasikan dan diwarisi dengan kekayaan budaya semacam ini. Dalam praktiknya, pelbagai hal negatif. Perilaku korup, penyelewengan wewenang, tindakan culas, gemar jalan-pintas (secara tidak sah) dalam mencapai tujuan, kekacauan sosial merebak, kriminalitas tampaknya mengepung dan menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita. 
Memang, tidak semua dari masa lalu (baca: tradisi) selalu bersifat positif, baik, dan agung. Akan tetapi, sebagian besar kearifan dalam budaya kita bersumber dari sana. Tentu saja ada kearifan-kearifan hidup bermasyarakat yang ilhamnya bersumber dari kondisi kehidupan kita hari ini. Heddy Shri Ahimsa-Putra, antropolog UGM, menyebutnya sebagai kearifan lokal (KL) masa kini dan KL kontemporer.

Jika KL mencakup seperangkat pengetahuan, praktik, dan hasil karya luhur dari manusia (masyarakat) warga kelompok budaya tertentu yang menjadi acuan bersikap, berperilaku, dan bertindak-- maka jagad sosial kita hari ini mestinya menghamparkan suatu kondisi yang harmonis, damai, tenteram, saling menghargai, santun, dll dalam hal positif. Kemakmuran dan kemaslahatan hidup dibangun, dirawat, dan dilestarikan sebagai wujud tanggung jawab sosial bersama. Inilah rupa kehidupan dalam cara-cara kebudayaan kita yang menjadi idaman semua, sebagai manusia normal. Namun, sekali lagi, itu bentuk ideal dari bayangan kita tentang kehidupan (sosial). Kenyataannya? Ada saja aspek-aspek tertentu dari kehidupan ini yang terbentang di luar harapan kita. Artinya, ada masalah yang melingkupi kita.

Masalah Mentalitas
Pertama kali saya mendengar ‘semboyan politik’ Jokowi tentang Revolusi Mental (RM), sontak ingatan saya menyasar sebuah buku bunga rampai karya Koentjaraningrat (1985, cetakan keduabelas): “Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan.”Buku ini terbit pertama kalinya pada tahun 1974. Sebagai pengarangnya, Koentjaraningrat, yang juga dikenal sebagai Bapak Antropologi Indonesia menuturkan beberapa alasannya menulis buku tersebut. Kala itu, ia dihadapkan pada pertanyaan dari banyak kalangan tentang “masalah-masalah kebudayaan dan pembangunan.” Tulisan ini sendiri menggunakan buku itu sebagai sumber argumen pokoknya.

Empat tahun sebelum buku itu diterbitkan, LIPI menggelar “Seminar Perkembangan Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional.” Salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa sikap mental orang Indonesia belum siap untuk pembangunan (Koentjaraningrat, 1985:32). 

Paling mutakhir, pada tahun 2015 ini di Jakarta, para antropolog dan budayawan berkumpul dan berdiskusi (seminar) tentang strategi kebudayaan dan revolusi mental bangsa Indonesia. Ada yang bilang, seminar ini sama sekali tak berkaitan dengan RM-nya Jokowi. Malahan, Jokowi dianggap mengambil inspirasi dari sana. Terlepas dari perdebatan ini, saya melihat satu hal. Ada satu simpul keresahan yang mempertautkan mereka, yakni tentang kebudayaan dan mentalitas bangsa.

Secara leksikal, mentalitas diartikan sebagai “keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan.” Dalam konteks pembangunan, Koentjaraningrat (1985) memaknai mentalitas sebagai suatu nilai-budaya. Agar pembangunan menjadi lebih baik, ia mengharuskan adanya perubahan ke arah yang lebih tinggi dalam beberapa hal penting yang merupakan orientasi nilai-budaya kita.  Beberapa nilai-budaya dimaksud adalah orientasi ke masa depan, bersifat hemat, inovatif, ‘achievement’ dari karya, menghargai kemampuan sendiri, percaya kepada diri sendiri, displin, dan bertanggung jawab. Inilah yang disebut Koentjaraningrat sebagai mentalitas pembangunan.

Hakikat Hidup dan Karya
Salah satu kerangka universal mengenai masalah-masalah pokok dalam hidup yang menjadi sistem nilai-budaya manusia menurut Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1985:38) adalah hakikat dari hidup dan karya manusia.

Idealnya, kita menilai tinggi hasil-hasil karya sendiri dan meraup kepuasan dari berkarya itu sendiri. Inilah tipe manusia yang berorientasi pada prestasi (‘achievement oriented’). Erat terpaut dengan hal ini adalah mutu dan ketelitian, baik dalam proses berkarya maupun hasil dari karya. Kepuasan akan dicapai jika mutu tinggi berhasil disematkan ke dalam karya kita. Mutu itu sendiri mensyaratkan ketelitian dalam proses berkaryanya.

Lalu seberapa tinggi intensi kita kepada mutu dalam berkarya? Uraian berikut ini mengantarkan penilaian kita.

Kemajuan teknologi yang dicapai hingga saat ini memang sungguh mencengangkan. Itu tak terbantahkan. Betapa tidak, cukup dengan menekan tombol atau mengklik menu saja, kita sudah dapat mengetahui dan menyaksikan berbagai peristiwa yang berlangsung di berbagai lintasan dunia. Ini bisa terjadi melalui media televisi atau internet. Teknologi informasi dan komunikasi terus berkembang kian padat, nyaris tanpa jeda. Kita tiba dalam kehidupan tanpa sekat (jarak), dunia nirdinding, ‘borderless world’! di samping kemajuan beserta kemudahan-kemudahan yang diantarkannya, teknologi juga membawa serta tantangannya untuk kita. Ini saya sebut sebagai paradoks teknologi. 

Sebut saja bagaimana hebatnya mesin pencari “Google” yang serba-tahu  itu, sebagai contoh. Di tengah keterbatasan buku-buku bacaan (referensi), kehadiran media internet sangat membantu. Mulai dari informasi, pengetahuan, hingga jodoh berbasis internet ini bisa berjumpa dan dijumpai di sana. Akan tetapi, berbarengan dengan itu, di situ pulalah kelemahannya (pelemahan?). Kita menjadi begitu tergantung dengan teknologi internet semacam “Google” ini. 

Saya ingat perbincangan bersama seorang teman pada suatu masa di waktu yang lalu. Ia enggan bergabung bersama jika belum membaca, meski hanya sekadar berkumpul menyeruput kopi, katanya. Alasannya, khawatir jika dalam perbincangan nantinya ‘nyerempet ke topik-topik yang agak ‘berat’. Karena itu, ia termasuk salah seorang teman saya yang rajin membeli buku. Saya sendiri, bagi dia, tergolong sebagai kawannya yang kerap meminjam bukunya. Selain itu, kawan saya ini, bisa dibilang, paling sering ke perpustakaan di antara kami. Kebiasaan– membaca dan berburu sumber bacaan– kawan ini sangat berbeda dengan pengamatan saya atas realitas belakangan ini.

Seorang kawan lain lagi. Jika ia berbincang atau berdiskusi tentang suatu topik yang asing atau tidak dipahaminya, ‘Google’ adalah pelarian utama, pertama, sekaligus terakhirnya. Cukup dengan memasukkan kata kunci, bahkan kalimat tertentu, lalu ‘enter’! ‘Google’-pun segera merespons dengan menyediakan beragam pilihan yang berkaitan dengan keingintahuannya saat itu. Sejenak memang cukup berhasil. Iapun boleh tampil hebat saat itu. Tak soal matanya selalu tertuju pada ‘handphone’ atau ‘gadget’ yang menjadi sarananya, ia selalu punya jalan keluar yang bisa diandalkan: Tuan ‘Google’!

Bokem juga satu cerita. Ia seorang mahasiswa. Menganggap dirinya aktivis. Ia tak mau kalah soal berdebat. Semua topik dilahapnya. Jangan coba-coba membantahnya. Sebab, argumen berikutnya, dengan penuh retorik (sebagai suatu cara berbicara yang muluk-muluk dan bombastis), ia akan mengutip pandangan orang lain, lengkap dengan nama orang atau ‘ahli’, beserta judul, halaman, dan baris dari sumber kutipannya. Dengan cara begitu, ia berharap audens meyakini kebenaran pandangan dan tak meragukan sumber yang disitirnya. Ia lupa – atau mungkin memang tidak tahu – satu hal bahwa semakin detail sesuatu, kian mungkin pula ia menggugat dirinya sendiri. Tahukah dari mana ia mendapatkan separagraf kalimat, tokoh beserta sumbernya? Ia baru saja berselancar di medan ‘Google’.

Tatkala suatu mata kuliah menugaskan Bokem untuk membuat makalah, ia punya jalan pintas. Cukup menyalami ‘Google’, lalu memilah menu tertentu dari dua-tiga baris yang sekilas dihidangkan ‘Google’. Hasil comat-comot dari beberapa artikel yang dijumpainya di sana, lalu di-‘copy-paste’ untuk dijadikan satu dokumen. Beberapa di antaranya menyebutkan sumber (rujukan) dengan jujur. Namun, tidak sedikit juga yang dijiplaknya begitu saja. Berhelai pagina, demi merampungkan tugas, legalah ia. Tak peduli itu hanyalah kompilasi jiplakan, beban beranjaklah. Hingga akhirnya, lahirlah satu makalah. Tugas kuliah pun kelar. Bokem senang. Dengan satu klip di pojok kiri atasnya, tugas makalah pun siap dikumpulkan. Bokem memang seorang mahasiswa yang lincah, lihai, gemar berdebat, tidak mau kalah (biarpun salah!) Manakala dosennya membaca tugas Bokem, ketahuanlah ia. Kenapa? Bokem dan dosennya sama-sama penghamba ‘Google’. 

Dua orang kawan dan Bokem serta dosennya dalam cerita yang saya ajukan di atas memang hanyalah tokoh rekaan saja. Meski begitu, fenomenanya memang bukanlah sekadar imajinasi belaka. Lalu apa maknanya?

Perubahan Mendasar
Kembali menyitir.  Sebab saya menyepakatinya dengan bulat–pandangan Koentjaraningrat di atas, kita memang menyepelekan mutu dari suatu karya. Dalam prosesnya, kita juga memilih jalan-pintas. Semuanya ditempuh agar cepat dan mudah. Hasilnya pun segera bisa didapatkan. Sayangnya, semua ditempuh dengan cara-cara yang tidak benar. Mentalitas semacam ini, sebagai salah satunya saja, yang harus direvolusi. Sudah saatnya kita menjunjung tinggi nilai yang berorientasi kepada apresiasi besar terhadap karya sendiri. Jika ini dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat (sosial), maka kemajuan hidup masyarakat itu pastilah tercapai dengan sendirinya.

Demikian pula halnya dengan kebijakan pemerintah. Harus ada upaya berupa dukungan kebijakan membangkitkan, menumbuhkan, dan membina komoditi lokal yang dapat menjadi keunggulan daerah ini. Ini bisa berlaku untuk aspek ekonomi dan budaya. Sektor-sektor produktif dan kreatif dikembangkan dan didukung sedemikan rupa sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beberapa yang sudah ada, mutunya masih perlu ditingkatkan. Manisan buah pala dan cengkih, abon-abon ikan cakalang, kerajinan bambu, dan pembuatan gerabah di Mare dapat ditunjuk sebagai contohnya.

Pada akhirnya, segala upaya pengaktualisasian nilai budaya dalam karya menuju tingkatan yang lebih tinggi, lebih bermutu, dan tentu saja melalui cara-cara yang normatif, mampu membangkitkan dan menegaskan jati diri dan identitas kita sebagai manusia Indonesia secara umum, dan orang Maluku Utara pada khususnya. Sampai di sini, revolusi (mental) memang menuntut keinsyafan diri– tentang kekurangan masing-masing untuk suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Salam revolusi! 

****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos,   26 September 2015

Share:
Komentar

Terkini