Persidangan atas kedua orang Tugutil, Bokum dan Nuhu (BN), kembali digelar pada hari Selasa (22/9/2015). Kali ini,agendanya pembacaan putusan. Hasilnya, kedua terdakwa masing-masing dijatuhi hukuman penjara selama 14 tahun, denda 100 juta, subsidair 6 (enam) bulan kurungan. Palu diketuk, sidangpun bubar. Putusan ini hanya terpaut satu tahun dari tuntutan Jaksa, yakni 15 tahun. Rasa puas dan tidak-puas kembali ke hati yang menakar. Begitu pula dengan pertanyaan, semacam oleh-oleh, semuanya bergayut di benak untuk dibawa pulang ke tempat masing-masing.
Serangkaian tahapan persidangan yang digelar sebelumnya, dan memuncak hari itu, mengantarkan palu sakral Sang Hakim pada putusan tak terbantahkannya. Setidaknya untuk jenjang Pengadilan Negeri Soasio, Tidore.
Ketakterbantahan putusan hakim sebab kita menerima bahwa hakim memang wakil Tuhan di dunia ini. Itu idealnya. Artinya, sebuah putusan dihasilkan dari penafsiran mendalam dan sungguh-sungguh serta objektif seorang hakim atas semua keterangan dan informasi semua pihak yang terkait dalam persidangan kasus itu.
Akan tetapi, putusan sebagai hasil dari proses menafsirkan (interpretasi)sehingga melahirkan tafsiran (putusan Hakim) maka secara metodologis, semua pihak dapat melakukan hal serupa. Permainan tafsir dimulai lagi!
Interpretasi: Metode dan Praktik
Penafsiran merupakan aktivitas terus-menerus yang dilakukan oleh manusia. Tidak hanya peristiwa, tapi juga makna-makna yang dihasilkannya. Karena itulah, menurut Palmer (1969), interpretasi bisa jadi merupakan hal yang sangat mendasar dari aktivitas berpikir manusia. Bahkan, binatang juga menafsirkan makanan yang tergeletak di hadapannya dalam term kebutuhan dan pengalamannya sendiri.
Semasa mahasiswa dahulu, saya mengingat pertanyaan yang pernah saya ajukan kepada seorang dosen.
“Sejauh manakah makna-makna – hasil penafsiran – dapat dikatakan valid, adekuat (memadai), sehingga bisa dipertanggungjawabkan kesahihan konklusinya?”Begitulah kira-kira pertanyaan yang saya ajukan.
Saya menanyakan demikian sebab seolah-olah (pemberian) makna (meaning) oleh peneliti menjadi otoritas (authority) dia sepenuhnya. Makna-makna di sana diterima sebagai kebenaran, menurut penelitinya.
“Asalkan datanya cukup, sesuai yang dibutuhkan, berdasarkan teori yang dipergunakan, maka kesimpulan (makna-makna) yang dihasilkan oleh peneliti diterima dan dianggap sebagai sahih.” Demikian salah satu tanggapan dosen saya. Ada banyak penjelasan lain lagi.
Di luar proses persidangan (formal) atas Bokum-Nuhu, cara-cara menafsirkan dan hasilnya, antara Saya, Jaksa, dan Hakim bisa saja berbeda. Realitasnya sama: kasus pembunuhan dua orang (ayah-anak) yang menyebabkan kedua orang Tugutil menjadi terdakwanya. Baik terdakwa maupun korban, saya tidak mengenalnya sama sekali. Namun, saya mengikuti perkembangan kasus dan persidangannya. Dengan kata lain, saya tidak membela siapa-siapa dalam kasus ini, melainkan mengajukan pandangan (tafsiran) sebagai bagian dari otonomi keilmuan saya. Jika pada akhirnya saya berpihak, itu adalah implikasi dari pandangan saya.
Dalam proses menafsirkan ini, agar memperoleh pemahaman yang komprehensif, saya menghimpun data seluas mungkin. Saya mendapatkan banyak informasi ini dari Tim PH Bokum-Nuhu dan orang atau kelompok yang saya sebut sebagai ‘simpatisannya’. Agar lebih lengkap, saya juga membaca BAP dari Kepolisian, surat tuntutan jaksa, pembelaan (pleidoi) Tim PH, serta mengikuti perkembangan persidangan, hingga tercapainya putusan atas Bokum-Nuhu. Ini saya sebut sebagai sumber data. Saya tidak menggunakan tuntutan Jaksa ataupun putusan Hakim sebagai sumber data sebab posisi saya sama dengan mereka, yaitu sebagai penafsir. Bedanya, tafsiran mereka berimplikasi hukum(an), sedangkan saya hanya mengoperasionalkan pengetahuan keilmuan saya.
Dalam hal data, semuanya memiliki ‘kekuatan’ yang sama dalam proses mencapai kesimpulan. Kita boleh saja ‘mencurigai’ data, tetapi bukan menolaknya. Sikap ini diperlukan untuk dapat menggali data lebih dalam dan luas lagi. Asumsi diperlukan bukan untuk tujuan ‘mengarahkan’ data (kepada hasil yang diinginkan), melainkan membiarkan data ‘berbicara’ sehingga hasilnya bisa ‘objektif’.
Sidang yang Bisu
Bagi Bokum dan Nuhu, serangkaian persidangan ini serupa dengan kebisuan. Ia memang mendengarkan para pihak berbicara, meski takmemahami apa yang sedang dibicarakan. Inilah persidangan terakhir mereka.
Selasa siang, 22/9/2015, ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Tidore, tampak lengang. Bangku pengunjung sidang hanya diduduki oleh sekitar 15-an orang. Beberapa di antaranya adalah ‘simpatisan’ oknum ‘terdakwa’.Di sana juga terdapat pegawai PN, jaksa serta polisi yang menjaga jalannya sidang sehingga tetap aman.
Sekitar pukul sebelas siang itu, sidang dibuka. Sekira tiga puluh menit lamanya, Majelis Hakim (MH) membacakan putusan. Tiga orang hakim bergantian membacakan. Semua mendengarkan.
Bokum dan Nuhu hanya diam, melongo. Hanya ‘bahaga tara jelas’ yang ia lakukan. Alih-alih paham putusan yang dibacakan MH saat itu, Bahasa Indonesia saja tak dimengertinya.
Sidang usai. Semua bubar. Bokum dan Nuhu masih belum mengerti juga. Bersama ‘simpatisannya’, dan tentu saja dengan pengawalan Jaksa, mereka dikembalikan ke Rutan Tidore. Tiba di sana, mereka tidak langsung masuk ke ruang tahanan.Di depan rutan mereka berbincang. Ada kekalahan yang terpaksa ditenggak.
Seorang kerabat Bokum-Nuhu memahfumkan hasil sidang atas mereka barusan. Mereka mengobrol dalam bahasa yang dapat dimengerti Bokum-Nuhu – sesuatu hal yang tidak diperolehnya dalam persidangan.
“Tahukah kalian apa yang dibicarakan tadi?Tadi itu kalian diputuskan untuk dikurung selama 14 tahun karena telah membunuh orang tua beserta anaknya di dalam hutan Waci,”kata kerabatnya kepada mereka.
Bokum-Nuhu kebingungan. Ia hendak membantahnya, tapi pasti percuma saja. Selain sudah berada di luar persidangan, ‘suara’-nya juga tak akan didengarkan, apalagi dipercayai. Ia tak berdaya. Selama ini hanya Tim Penasehat Hukum (PH) mereka saja yang getol membelanya. Sebab dengan tingkat keyakinan yang sama – meskikeduanya meyakini hal berbeda – denganJaksa dan Hakim, Tim PH mereka percayabahwa keduanya bukanlah pelaku dalam pembunuhan itu.
Bola matanya berkaca-kaca. Air matanya perlahan menetes. Kepiluan mengalir dari hati yang tak sanggup terbendung. Tatapan matanya sahaja. Dari pojoknya, berhilir bening dan dingin bak sungai di hutan Akejira. Terbayanglah kurungan baginya.
“Saya tidak tahu hutan Waci. Saya hanya tahu hutan Akejira,” tampik Bokum atas tuduhan pembunuhan itu di depan kerabatnya.
‘Salah’ dan ‘dipersalahkan’ itu berbeda. Ia kelihatan ingin membela dirinya, tapi pasti sia-sia. Keteranganmutak berguna. Kata-katamu nan lugu, jujur, dan tanpa siasat, disangkal oleh logika ‘modern’ mereka. Ini bukan soal kebenaran, melainkan tentang kuasa.
“Adakah yang ingin kamu titipkan atau sampaikan kepada adik-adikmu jika nanti saya kembali dan bertemu mereka?” lanjut kerabatnya itu kepada Bokum-Nuhu.
“Bilang kepada mereka,” kata Bokum “Tidak usah bikin apa-apa. Suruh ‘dorang’ tetap ‘ba diam’ di sana. ‘Torang’ pasti akan kembali,”lanjutnya tenang. Ketegaran sebatang pohon tua di hutan Akejira tampak meliputi sekujurnya. Keheningan alam Akejira memenuhinya.
Entah pasrah atau kesadaran-tak-berdaya dalam dirinya, ada kearifan yang didekapnya. Keputusan (hakim) harus diterima, dihargai. Negara dan hukumnya terlalu kuat untuk dibantah, apalagi dilawan. Bokum-Nuhuyang selama hidup di dalam hutan, jauh dari akses pelayanan oleh pemerintah, yang hidup dengan tradisinya sendiri, tiba-tiba ‘dipaksa’ menjadi warga negara untuk suatu tuntutan (hukum) atas pelanggaran yang tak dilakukan atau dimengertinya.
Sekilas Kronologi
Pada hari terjadinya insiden pembunuhan di Hutan Waci, Bokum dan Nuhu berada di tempat lain, lokasinya berbeda dan jauh jaraknya, bersama beberapa orang. Sekilas, saya bisa gambarkan begini.
Pada tanggal 1 Juli 2014, Babinsa dan Oti (BO) sedang menebang kayu di Hutan Akejira. Keesokan harinya, suara mesin sensor mereka terdengar oleh Bokum-Nuhu (BN).BN lalu mendatangi BO dan turut membantunya.
Hingga tanggal 5 Juli 2014, BN minta izin kepada BO berangkat menuju PT WBN mengambil jatah logistik untuk kelompoknya. Hanya Nuhu bersama kedua adiknya yang sampai ke WBN, sedangkan Bokum memeriksa jerat (‘dodeso’).
Tanggal 6 Juli 2014, BN kembali bergabung dengan BO. Sebelumnya, Bokum membawa pulang hasil jerat ke rumahnya. BN kembali bergabung BO. Nuhu membawa ikan kaleng dll jatahnya dari WBN. Mereka bersama-sama hingga kelar menebang kayu pada tangal 10 Juli 2014.
Pada tanggal 11 Juli 2014, dalam perjalanan pulang, mereka berjumpa rombongan pencari kayu Gaharu dari kampung Lakulamo sebanyak 21 orang. Mereka sempat makan bersama. BN mengambil hasil jeratnya untuk dimakan dalam kesempatan tu. Usai makan, BO melanjutkan perjalan pulang. BN dan orang-orang Lakulamo melanjutkan mencari Gaharu.
BO yang pulang ke kampung lebih dahulu, mendengar peristiwa pembunuhan itu. Menurut berita itu, insiden pembunuhannya terjadi pada tanggal 8 Juli 2014 di hutan Waci. Waktu tempuh dari hutan Waci ke hutan Akejira sekitar 6 – 7 hari bagi orang Tugutil. Bagi orang di luarnya, waktunya bisa lebih lama lagi.
Pada tanggal 14 Juli 2014, orang-orang Lokulamo, termasuk BN, kembali ke kampung. Mereka menumpangi mobil perusahaan (PT. WBN). Dituturkan bahwa Nuhu sempat muntah-muntah dalam perjalanan itu karenatak terbiasa naik mobil.
Kesaksian Sia-sia
Hampir seluruh alasan MH untuk menjatuhkan hukuman kepada Bokum-Nuhu berdasarkan alasan dan tuntutan Jaksa. Keterangan dari Tim PH Bokum-Nuhu diabaikan. Jaksa sendiri menyitir dari BAP Kepolisian, keterangan saksi-saksi, informasi ‘ahli’, dan asumsi-asumsinya sendiri.
Kesaksian orang-orang yang bersama-sama BN selama masa-masa itu (Babinsa, Oti, 2 orang Lokulamo, dan 1 orang WBN petugas pencatat ‘logbook’)diajukan di persidangan. Para saksi yang ditanyai dalam bahasa Indonesia sinkron antara satu dengan lainnya, termasuk dengan keterangan dari BN. Keberadaan BN jelas di tempat lain dan melakukan aktivitas tertentu pada saat insiden pembunuhan terjadi. Sekali lagi, ini tak membuktikan atau membantah apa-apajika prasangka telah bersarang terlebih dahulu dalam benak kita!
Untuk diketahui, ‘logbook’ adalah dokumen resmi milik PT. WBN yang memuat rincian tentang pengambilan logistik dari kelompok (komunitas) Bokum-Nuhu. Ia hanya bisa dikeluarkan atau diberikan kepada pihak lain dengan seizin pimpinan tertinggi PT. WBN. Prosedurnya panjang dan ketat.Sayangnya, pihak Jaksa dan PN meremehkan dokumen perusahaan itu. Malahan hanya dianggap sebagai catatan harian seorang karyawan PT. WBN belaka. Di dalam etnografi, bahkan catatan harian seorang petugas lapanganpun sangat bermakna. Bukankah Anda, Saya, dan mungkin sebagian besar dari kita semua yang terbiasa dengan ‘diari’ akan lebih jujur dan lugas di sana tentang sesuatu hal?Selain teksnya, ia juga memiliki konteks. Itulah sebabnya catatan harian (diari) seseorang memiliki kedudukan dan peran penting dalam etnografi sebagai sumber data.
Begitu juga dengan niat baik Babinsa yang dipersulit PN. Ia diharuskan menunjukkan surat izin dari komandannya demi bisa memberikan kesaksian di hadapan sidang, meski ia melakukannya dengan suka rela. Pihak terbunuh sendiri masih tergolong kerabat Babinsa. Ia memilih membela BN, ‘melawan’ kerabatnya sendiri, sebab meyakini BN bukanlah pelaku pembunuhannya.
Meski akhirnya dapat bersaksi di pengadilan – sebab Jaksa dan Hakim luput menanyakan surat izinnya di awal sidang – keterangannya tidak digunakan dalam proses putusan.
Seharusnya, menurut Hakim, Babinsa bertugas mengamankan Pemilihan Presiden RI saat itu. Karena itu, keberadaannya di hutan Akejira menebang kayu diragukan oleh Hakim. Formalnya mungkin memang begitu. Seorang TNI harus bertugas pada momen penting itu.Padahal, Pak Babinsa sedang memasuki Masa Persiapan Pensiun (MPP) sehingga gugur baginya, jika itu sebuah keharusan, untuk mengawal Pilpres saat itu.
Kesaksian ‘ahli’ yang ditunjuk oleh Jaksajustru termasuk paling mendasari tuntutan Hakim. Keterangan ‘ahli’ bahwa “Orang Tugutil hidup ‘nomaden’, berpindah-pindah ...” menguatkan tuduhan atas Bokum-Nuhu sebagai pelaku pembunuhannya. Sebab alasan ‘berpindah-pindah’ itu, sehingga ia bisa berada di mana saja, dan menjadi pelaku peristiwa kapan saja. Iapun pembunuh!
Penjelasan dari ahli yang diajukan oleh Tim PH Bokum-Nuhu tentang konsep ‘nomaden’ dalam kebudayaan komunitas Tugutiltidak berhasil meng-‘upgrade’ pengetahuan Jaksa dan Hakim tentang mereka. Seperti awam memahaminya, keduanya mempersepsikan Tugutil sebagai primitif, ganas, liar, pembunuh, dll stereotif serta stigma kepada komunitas ini.
Perlu diketahui, bahwa meskipun hidup ‘nomaden’ (berpindah-pindah), orang Tugutil melakukannya secara siklik dengan rute migrasi yang tetap, tidak acak. Kapan berpindah dan menuju ke mana, itu jelas. Sementara itu, lokasi tempat terjadinya pembunuhan, di hutan Waci, tidak termasuk dalam rute kelompok Bokum-Nuhu. Orang Tugutil juga hidup dalam banyak kelompok yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul juga dalam teknologinya. Demikianlah sehingga barang bukti berupa anak-panah yang diajukan di PN ditolak oleh Bokum-Nuhu sebab bukan teknologi khas kelompoknya.
Demikian pula tentang cawat (‘sabeba/habeba’) pada orang Tugutil. Menurut saksi, pelaku dalam pembunuhan itu menggunakan cawat, pakaian khas orang Tugutil. Memang beberapa orang Tugutil saat ini masih menggunakan ‘sabeba’.
Demikian kata ahli yang diajukan Tim PH Bokum-Nuhu. Ini terutama digunakan saat memasuki hutan, baik untuk berburu ataupun keperluan lainnya. Namun, ini tidak bisa digeneralisasi kepada semua orang Tugutil. Bokum-Nuhu adalah contohnya.
Sejak tahun 2006, keduanya sudah mengenal dan mengenakan pakaian dari kain. Seperti kita, mereka mengenakan baju dan celana. Ia kadang mendapatkannya dari pemberian ‘orang luar’. Interaksi mereka dengan orang luar membentuk budaya baru, terutama tampak dalam budaya materil mereka. Kehadiran perusahaan (PT. WBN), misalnya mensosialisasikan Boku-Nuhu dan kelompoknya dengan pakaian (baju dan celana dari kain), mie instan, ikan kaleng, baterai, senter, dll.
Pandangan para ahli yang diajukan Tim PH Bokum-Nuhu sama sekali tidak menjadi sumber pertimbangan Hakim. Demikian pula keterangan saksi-saksinya.
Ketika Keliru Menghukum
Lazim terdengar: hakim adalah wakil Tuhan! Tetapi, wakil Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri. Tergantung bagaimana ia mencerminkan dan memanifestasikan sifat-sifat ke-Tuhan-an yang melekat dalam tugas dan kewenangannya untuk kemaslahatan hidup bersama. Manakala keliru, tatanan sosial kita dalam bayang-bayang kegoyahan.
Sebuah putusan pengadilan (hakim) yang mengakibatkan hukuman berupa kurungan fisik bagi seseorang telah menjadi kajian menarik bagi sebagan kalangan ilmu sosial budaya (Clemmer, 1958; Kahn, 2001; Toch, 1977; Sykes via Dilulio, 1987). Dari mereka, penjara bermakna sebagai ‘jaring’, ‘unseen environment’, perasaan kebosanan yang tak tertolong (‘helplessness’), semacam duniabagi kaum kaum yang tak termaafkan dan harus dilupakan (unforgiven and forgotten fellow citizens).Antara penjara dan kehidupan di luar penjara dipandang sebagai dua domain (ranah) dan bentuk budaya yang berbeda. Singkatnya, ada budaya-penjara dan budaya-luar-penjara.
Karena itu, begitu seseorang dipenjara, maka ia dituntut melakukan penyesuaian dari budaya mereka sebelumnya di masyarakat atau komunitasnya dengan budaya-penjarayang akan dijalaninya selama masa tertentu.Dalam kasus ini, kedua orang Tugutil akan menjalani masa-masa terpenjara, katakanlah 14 tahun, dengan cara-cara yang sungguh-sunguh berbeda menurut kebudayaan mereka. Ia akan tercerabut dari kebebasannya, terkucil dari keramaian sosial komunitasnya, rasa keamanannya merosot, tubuhnya merapuh, dll. Saya tidak bilang bahwa orang Tugutil tidak boleh dipenjara. Tentu saja jika terbukti bersalah, bukan dipersalahkan,maka mereka harus dihukum, dipenjara agar menjadi jera.Memenjarakan orang Tugutil – dan siapapun – yangtak bersalah bisa berarti mengkerangkeng tubuh sekaligus budayanya.
Akibat salah menghukum, dampaknya bisa kita duga. Sekilas, pembacaan putusan oleh MH, menandai berakhirnya serangkaian persidangan atas sebuah kasus.Jika dilakukan dengan cara-cara atau langkah-langkah tepat, maka sebuah hukuman pantas diterima untuk perbuatan atau tindakan melawan hukum. Sebaliknya, jika dilakukan di luar kerangka itu, maka persoalan baru bisa muncul kemudian.
Seperti halnya keluarga korban (terbunuh), Bokum dan Nuhu juga mewakili komunitasnya. Mereka terlahir dari suatu masyarakat atau komunitas tertentu. Mengingat ada pemisahan antara orang ‘Tugutil’ dan ‘Bukan-Tugutil’. Karena keduanya merepresentasikan kelompoknya, maka hubungan keduanya bisa berlanjut dalam dua hal. Pertama, keadaan hubungan tetap harmonis. Dalam hal ini, hukuman diterima sebagai sangsi atas pelanggaran yang telah dilakukan sebelumnya. Kedua, kemungkinannya dapat terjadi sebaliknya. Hukuman ditolak oleh pihak terhukum, meski tetap menjalaninya, sebab ia bukan pelaku sesungguhnya. Akan tetapi, di luar penjara, anggota komunitasnya tetap ada. Sebab perbedaan ciri-ciri fisik (dan juga budaya) yang berbeda secara menyolok antara “Tugutil’ dan ‘Bukan-Tugutil’, maka perjumpaan di hutan dalam lingkungan mereka menjadi tidak aman lagi kemudian. Meski tidak diharapkan terjadi, tetapi kita mesti waspada dengan ‘ancaman’ serupa itu. Tatanan sosial dan relasinya berada dalam bayang-bayang kerapuhan di titik ini.
Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengajukan tiga hal. Pertama, sikap memilah-milah informasi atau keterangan, secara hermeneutik, seharusnya dilakukan secara objektif. Artinya, semua asumsi dan prasangka subjektif harus ‘ditiadakan’ demi tafsiran yang sahih.
Kedua, jika peran PN – demikian juga Jaksa dan semua penegak hukum – untuk mewadahi aksesibilitas semua pihak terhadap keadilan, maka ‘suara-suara’ para pihak harus didengarkan secara berimbang. Ini akan mengantarkan putusan pada hasil yang sungguh-sungguh objektif, adil.
Ketiga, dengan semua informasi dan data yang saya milikiserta keyakinan keilmuan yang saya punyai, saya berpandangan bahwa peradilan bagi Bokum-Nuhu tidaklah objektif. Konsekuensi hukum dari putusan hakim itu biarlah menjadi ranah hukum. Tugas Tim PH dan para kelompok simpatisan Bokum-Nuhu untuk membelanya di jenjang peradilan lebih tinggi lagi.
Akhirnya, berdasarkan pendekatan yang saya gunakan dalam penafsiran ini atas fenomena ini, saya menyatakan berbeda dengan pendirian dan putusan hakim. Masing-masing kita memiliki otoritas berbeda dalam hal ini.Agar bisa adil, kata Rachmat Joko Pradopo (2003) ketika mengandaikan seorang kritikus sastra dengan hakim, hendaklah selalu berpegang pada kejujuran, kebenaran, dan tidak terpengaruh sentimen. Keduanya memang sama-sama melakukan interpretasi kehidupan!
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 1 Oktober 2017