Tatkala Polisi Dimusuhi

Editor: The Tebings author photo
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

Bermula pada Sabtu malam (9/1/2016),tawuran antarkampung melibatkan pemuda/warga dari kedua kampung Toboko dan Kota Baru terus menuai korban. Korban, sejak semula hingga saat ini, bukan disebabkan oleh tawuran itu sendiri, melainkan cara penanganannya. Belakangan, baik di media sosial maupun dalam perbincangan sehari-hari, pihak kepolisian ditampilkan sebagai pihak yang dipersalahkan.

Pesta dan 'baronggeng' sudah menjadi tradisi kita di Ternate atau Maluku Utara umumnya. Agar semarak dan bergairah, beberapa partisipan dalam pesta 'baronggeng' itu kerap merangsang diri dengan minuman keras (miras). Mereka menenggaknya sebelum atau saat pesta digelar. Meski ini (miras) cenderung menjadi kebiasaan, secara negatif tentu bukan tradisi masyarakat kita. Secara sosial, miras berbahaya karena efeknya yang berujung perkelahian. Penenggaknya mudah tersinggung, menjadi sensitif. Awalnya melibatkan orang per orang, lalu kelompok, dst. Sengketa bersalin rupa menjadi konflik. Massa terlibat dengan emosi dan justifikasi (pembenaran) serta stereotif (pelabelan) berbasis prasangka yang disematkan kepada pihak lain yang ditempatkannya sebagai lawan. Berhadap-hadapan dalam kemarahan, yang seringkali keliru, 'kehormatan' kelompok dibela. Hasil penelitian Dinsos Maluku Utara, di antaranya menemukan bahwa dua jenis konflik tergolong tinggi di Maluku Utara dipicu oleh (1) bentrok antarpendukung pilkada dan (2) miras. Jika kelompok pertama sifatnya mengikuti momen, maka yang kedua cenderung 'melekat' dan terus-menerus. Insidennya bisa meletup kapan saja, asal aktornya terpengaruh miras. Konflik, baik akibat miras ataupun lainnya, selalu melibatkan pelaku dan menelan korban.

Dalam situasi semacam itu, Parsudi Suparlan (antropolog UI dan pengajar di Sekolah Tinggi Kepolisian) mengatakan bahwa tatkala berkonflik, musuh dan semua atribut yang terkait dengannya harus dimusnahkan di hadapan lawannya. Pandangan ini dapat digunakan untuk menelisik perkelahian yang melibatkan massa antarkampung. Kasus Toboko - Kota Baru yang ramai belakangan ini, meski akhirnya mengerucut pada warga melawan kepolisian, dapat ditinjau dalam pandangan itu.

Akar Masalah
Pesta, atau berpesta, memang harus semarak. Di sana, suka cita dipuaskan. Namun, tak selayaknya keriuhan itu dinodai dengan kendali miras atas diri kita. Menyadari dampaknya, maka penanganan miras harus diupayakan optimal. Pengguna dan distribusinya mesti ditertibkan.

Andaikata benar bahwa pemicu awal kericuhan antarwarga Toboko dan Kota Baru adalah miras, maka itu yang harus ditangani. Meski begitu, kuat dugaan saya bahwa pemicunya tidaklah tunggal. Miras, seperti banyak diberitakan dan dibicarakan, hanyalah salah satu dugaan penyebabnya. Sebagai bagian dari suatu masyarakat, permasalahan sosial yang meliputi warga di sana pastilah kompleks. Karena itu, upaya penyelesaiannya juga harus multi-aspek.

Seringkali kita hanya ramai 'terlibat' dalam upaya mencari solusi pertikaian manakala sudah meletup. Setelah itu, kita lalai lagi. Merawat sesuatu memang tidak mudah. Upaya perawatan ini harus kita mulai sejak di tataran keluarga inti hingga keluarga luas. Orang tua harus memastikan anak-anaknya berperilaku dan bertindak tepat dalam kebudayaan dan harapan masyarakatnya. Masyarakat sekitar juga harus terlibat serta. Orang tua-tua, tokoh kampung, tokoh pemuda, harus aktif secara persuasif memantau lingkungannya. Pemerintah setempat, pada semua jenjang juga harus mengenal dan memahami betul dinamika warganya. Sekolah dan lingkungan kerja, secara formal, penting perannya dalam membentuk individu yang menghargai nilai-nilai keharmonisan sosial. Penegak hukum, termasuk aparat kepolisian, juga dituntut profesional dan dilandasi itikad baik dalam melayani, melindungi, dan mengatasi permasalahan di masyarakat. Setidaknya ini beberapa pihak yang dapat saya sebutkan di sini. Gagal, atau tidak optimal, para pihak ini menunaikan tugas dan tanggung jawabnya, satu demi satu letupan mencuat menghiasi wajah masyarakat kita.

Membaca Polisi
Seperti dikemukakan sebelumnya, pihak kepolisian seringkali menjadi pihak yang dipersalahkan dalam setiap insiden yang melibatkan personil institusi ini. Sebagai contoh saja, insiden perkelahian antara anggota TNI dan Polantas beberapa waktu lalu di Jakarta. Seorang netizen mengunggahnya di media sosial dan selanjutnya diikuti komentar para warga dunia maya itu. Nyaris semuanya menyalahkan polisinya.

Secara ideal, institusi kepolisian hadir untuk membantu negara dalam menciptakan ketertiban sosial dan keamanan serta kenyamanan bagi warga masyarakat. Namun, secara personal, anggota kepolisian yang sesungguhnya adalah manusia juga, tak luput dari kelalaian. Prosedur Standard Operasional (sebagai ideal) dalam bertugas di lapangan (sebagai praktik) kadang senjang. Begitulah manusia, kita bisa saja lalai kapan dan di manapun.

Insiden Toboko - Kota Baru juga kurang lebih begitu. Para aktor terlibat "berkonflik" bukan lagi antarwarga kampung. Warga dan kepolisian di sana tampil sebagai pihak berlawan. Hendak mengamankan, selanjutnya polisi malah 'dimusuhi.' Kepercayaan warga kepada institusi ini, terutama dalam kasus yang saya bicarakan, meluntur jika bukan hilang sama sekali. Warga berang seolah menyatakan perang.

Saya menyebut institusi (kelembagaan), dan bukan oknum, sebab para aktor (individu, yang dalam peristiwa tertentu disebut oknum), berada di bawah tuntunan prosedur dan strategi bertindak. Secara umum, inilah aturan, norma. Apapun tindakan sang oknum dalam serangkaian tugasnya tak bisa lepas dari institusinya. Dalam pandangan ini, oknum dan institusi satu kesatuan. Lagi pula, reaksi pimpinan kepolisian, misalnya Kapolres, menunjukkan bahwa peristiwa ini sungguh-sungguh institusional. Sebab (institusi) kepolisian hanyalah sebuah lembaga, maka di dalam strukturnya ada aktor tentu saja. Merekalah para seorang polisi dengan variasi pangkat dan jabatannya. Manakala ada sengketa, misalnya antara warga melawan polisi, maka individu, atau orang, di balik organisasi ini yang harus bertanggung jawab. Tentu saja tindakan ini sekaligus merepresentasikan institusinya. Lepas dari idealisisasinya, citra baik dan buruknya suatu institusi sangat tergantung, salah satunya, bagaimana aktor-aktor di dalam institusi ini menjalankan praktik-praktiknya.

Citra (image) sejatinya jangan mengungkung kita. Citra baik tak selalu ditandai dengan hal baik. Maksud saya, mengakui suatu tindakan salah, juga akan mencitrakan baik bagi pelakunya. Menutupi kesalahan dan mengalihkannya ke pihak lain, itu akan mencitrakan hal buruk. Contohnya, peluru tajam yang mengenai korban dalam insiden Toboko - Kota Baru dinyatakan bukan dari pihak polisi. Prosedur standardnya memang harus peluru karet. Praktiknya? Semua masih harus dicari tahu sebelum pembelaan diri yang terlalu dini dilakukan. Namun, kesaksian warga perlu, dan sungguh-sungguh harus dipertimbangkan dalam insiden ini.

Seperti kita saksikan, pertentangan akhirnya bergeser dari antarwarga ke warga vs polisi. Warga kembali kompak tatkala menghadapi lawan dari luar kelompoknya. Solidaritas warga terbangun. Awalnya mungkin spontanitas belaka, tapi kemudian berlanjut dengan suatu kesadaran tertentu. Teori konflik sudah menyatakan hal ini. Artinya, polisi, dalam kasus ini, menjadi musuhnya masyarakat. Ini menyedihkan. Hanya penegakan hukum secara adillah yang bisa memulihkan, meski harus berangsur. Tak peduli salah atau benar, setiap tindakan selalu mengimplikasikan konsekuensi. Karena itu, kita semua mesti bertanggung jawab dengan tindakan masing-masing, baik secara personal maupun institusional.

Akhirnya, saya ingin menyatakan belasungkawa kepada para korban dalam insiden ini. Kepada institusi kepolisian di daerah ini, kita mengharapkan upaya penyelesaian dari insiden ini secara wajar, adil, bijaksana, sesuai hukum yang berlaku di negeri ini. Kepada kita semua, warga Kota Ternate, mari membangun kehidupan damai dan harmonis untuk masyarakat dan kota yang kita cintai bersama ini. Kita memang berduka, tentu kita semua sedih. Keluarga, kawan, dan masyarakat para korban mengalaminya. Kita semua begitu. Namun, di atas semua itu, mari kita menahan diri dan membiarkan - tentu saja dengan pengawalan bersama - aparat hukum menanganinya. Selamat bekerja. 

Tulisan ini pernah dimuat pada laman Opini Malut Pos, 16 Januari 2016.
Share:
Komentar

Terkini