Revolusi Karakter Bangsa

Editor: The Tebings author photo
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

‘Revolusi’ menjadi kata yang mashur sejak Presiden Republik Indonesia (R.I), Joko Widodo (Jokowi), menggunakannya dalam frasa Revolusi Mental sebagai gerakan nasional. Sebelumnya, ‘revolusi’ selalu menggetarkan batin setiap kali mendengarnya. Maknanya yang kebanyakan diacukan kepada perubahan ekstrim secara fisik – yang dalam rezim Orde Baru identik dengan ‘pertumpahan darah’, upaya menggulingkan kekuasaan dari rezim sah – menyebabkan getaran tersebut terus merambat. Jokowi melazimkannya dengan pandangan dan cara pemaknaannya sendiri. Sejak itulah ‘revolusi’ tidak lagi menjadi momok.

Pada intinya, Revolusi Mental sebagai suatu gerakan nasional, berawal dari keresahan Jokowi melihat kondisi bangsa Indonesia yang membentangkan kepelikan paradoks, justru setelah 16 tahun menempuh reformasi. Pandangan Jokowi tentang Revolusi Mental, yang ditulis atas namanya sendiri, dapat dijumpai di laman resmi Presiden R.I (http://presidenri.go.id/ulasan/revolusi-mental.html).

Tanpa bermaksud menghentikan proses reformasi yang tengah berjalan, demikian tulis Jokowi, tindakan korektif perlu dilakukan dengan “mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik dan pendekatan “nation building” baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja dan berkesinambungan.” Revolusi ini dimulai dari diri sendiri, lalu ke lingkungan keluarga. Selanjutnya menyebar ke lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja. Pada akhirnya, revolusi meluas dari lingkungan kota hingga negara. 

Mentalitas Pembangunan
Hingga tahun 1970, dan entah beberapa tahun setelahnya, pertanyaan tentang bentuk ideal masyarakat Indonesia yang hendak dicapai belum mendapatkan jawaban yang konkret, tepat, dan logis. Hal ini mencuat sebagai kesimpulan suatu seminar yang digelar oleh LIPI bahwa “sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan.” 
Koentjaraningrat (1974), Bapak Antropologi Indonesia, seseorang yang kepadanya berbagai tanggapan dan pertanyaan diajukan sejak kesimpulan seminar itu, menyarikan tanggapannya dalam tulisan ringkas di bawah judul:”Apakah Mentalitas Pembangunan?”

Melalui tulisan itu, Koentjaraningrat menanggapi bahwa meski bangsa Indonesia belum mempunyai bayangan mengenai bentuk masyarakat apa yang sebenarnya ingin dicapai bersama kala itu, tetapi jelas bahwa kemakmuran, demokrasi, dan karya yang bermutu harus lebih baik dan meningkat dari masa ke masa. 

Kini, setelah 47 tahun pandangan itu berselang, Presiden Jokowi mengusung gagasan Revolusi Mental. Masih buruk atau rendahnya kondisi kedaulatan rakyat, penegakan dan kewibawaan hukum birokrasi, dan ekonomi bangsa, adalah beberapa di antara ahl-hal yang melatar-belakangi gagasan Revolusi Mental-nya. 

Artinya, apa yang dibayangkan oleh Koentjaraningrat pada tahun 1970 tentang kondisi bangsa Indonesia, ternyata tidak sepenuhnya tercapai, jika kita menerima kebenaran dasar pandangan Jokowi. Kemakmuran rakyat masih terus diperjuangkan melalui upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Tuntutan pengakuan hak terhadap sekelompok masyarakat kepada negara dan carut-marut kondisi politik masih terus melingkupi jagad demokrasi kita. Dalam hal karya, kita masih harus terus mendorongnya agar berdaya saing dan bermutu tinggi.

Sulitnya merumuskan konsepsi nasional tentang mentalitas pembangunan kita, menurut Koentjaraningrat, karena berbagai sukubangsa, aliran, dan golongan, meski sudah memiliki konsepsinya masing-masing, tetapi belum dirumuskan secara konkret. Akan tetapi, setelah melintas bentangan masa yang cukup panjang, benarkah masih belum terumuskan juga? 

Pembangunan Budaya 
Bagi sebagian kalangan, kata ‘pembangunan’ dalam hubungannya dengan budaya atau kebudayaan cenderung dimaknai secara negatif. Ada kesan bahwa kebudayaan yang menjadi milik masyarakat tertentu justru kehilangan marwahnya tatkala ‘disentuh’ pembangunan. Budaya yang lebih diartikan sebagai sekumpulan tradisi, adat istiadat, kepercayaan, hukum, kesenian, sejatinya dibiarkan begitu saja, tumbuh-kembang apa adanya. Kebijakan kebudayaan oleh Negara digugat dalam hal ini. 

Saya menggunakan kata ‘pembangunan’ di sini untuk suatu pandangan yang menekankan pada pentingnya berbagai aspek budaya secara luas sebagai faktor penting dalam pembangunan nasional secara menyeluruh dan berkesinambungan. 

Kebangkitan kajian budaya dan relevansinya bagi pembangunan terutama menguat sejak kejatuhan rezim Soeharto melalui Orde Barunya. Perhatian perencana dan pelaksana pembangunan terutama menyasar aspek ekonomi dalam kebijakan pembangunan Soeharto tampil sebagai hal yang pantas disalahkan. Begitu kritik yang sering kita jumpai terhadap pemerintahan era Soeharto. Aspek manusia, hal yang dianggap sebagai bagian penting dari suatu kebudayaan, tersingkirkan akibat sangat dominannya paradigma pembangunan berbasis ekonomi. 

Nilai Budaya
Dalam bentuknya yang abstrak, setiap kebudayaan mencakup nilai-nilai yang menjadi acuan bersikap, berperilaku, dan berkarya bagi komuniti atau masyarakat pemilik suatu kebudayaan. Konsep nilai terkait dengan hal yang berharga dan sia-sia, penting dan sepele, baik dan buruk, boleh dan tidak-boleh, dst. 

Standard pe-nilai-an seseorang terhadap sesuatu tidak hadir secara mekanistis. Proses memberikan nilai terhadap sesuatu fenomena – peristiwa, perilaku, tindakan – berlangsung di dalam tuntunan budaya yang diacunya. Hanya saja, bekerjanya mekanisme budaya ini seringkali tidak disadari oleh pelaku karena telah teresapi dan mapan sedemikian rupa. Jejak prosesnya bisa dilacak dari tahapan sosialisasi hingga enkulturasi. 

Menyatakan pentingnya nilai budaya dalam pembangunan tidak semudah menerapkannya dalam kerangka kebijakan negara. Ahimsa-Putra (1985) pernah menawarkan dan menyampaikan dalam berbagai kesempatan untuk mengopersionalkan metode etnosains dari antropologi dalam rangka memahami kognisi suatu komuniti atau masyarakat pemilik kebudayaan.

Kita ketahui bahwa negara Indonesia adalah suatu satuan sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat dari berbagai latar belakang sosial budaya. Kita pun mengakui dengan bangga bahwa ini adalah kekayaan bangsa, sembari tetap mengkhawatirkannya sebagai tantangan. Kekhawatiran itu berputar pada kitaran pertanyaan upaya penataan seperti apakah yang tepat dilakukan untuk masyarakat dengan berbagai atribut budaya yang mendefinisikan identitasnya. Kenyataan terjadinya konflik antaretnik, antar-umat agama, antar-kelompok, menunjukkan lemah atau tidak efektifnya pengelolaan kemulti-budayaan masyarakat kita. 

Memahami keberagaman masyarakat Indonesia, melalui sukubangsa dan kebudayaannya, mengantarkan kita pada fakta kayanya nilai-nilai budaya yang kita miliki sebagai suatu bangsa. Lantas, nilai budaya mana yang menjadi acuan atau pedoman kehidupan nasional kita? Pertanyaan sederhana ini membutuhkan uraian panjang sebelum sampai pada jawaban bahwa kekeliruan kita sebagai bangsa karena mendefinisikan kebudayaan nasional sebagai “puncak-puncak kebudayaan daerah”. Ini sudah pernah dikriktik oleh Parsudi Suparlan karena dilucutinya kata depan “di” dalam kalimat “puncak-puncak kebudayaan (di) daerah” – sebagai dirumuskan oleh rezim orde lama – oleh rezim Orde Baru. Implikasinya meluas dengan pembatasan “daerah’ sebagai suatu wilayah administratif (pemerintahan) ketimbang sebagai suatu wilayah kebudayaan (sukubangsa). 

Meski beragam, berbagai nilai budaya yang terdapat dalam kebudayaan sukubangsa dapat direduksi ke dalam beberapa ekspresi tertentu yang dianggap merepresentasikan keindonesiaan kita sebagai bangsa. 

Sebenarnya sudah banyak hasil studi atau penelitian tentang nilai-nilai budaya kita. Selain dihasilkan oleh peneliti atau akademisi dari perguruan tinggi, pemerintah secara formal juga telah memiliki institusi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Melimpahnya hasil kajian itu, sayangnya tidak sepadan dengan pelibatan atau introduksi unsur budaya ke dalam kebijakan kebudayaan oleh negara. Sebagai contoh, nilai-nilai berupa sikap toleransi, kerjasama, peduli lingkungan, kerja keras, solidaritas, nyaris terdapat dalam semua kebudayaan sukubangsa. Ekspresinya memang dapat saja berbeda-beda. Akan tetapi, substansinya jelas dapat dicerap dan membatinkannya secara menyeluruh ke dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. 

Tabiat Masyarakat Kita
Karakter merupakan watak, ciri, keunikan, budi pekerti, perangai atau tabiat yang terdapat dalam diri individu atau kelompok. Suatu perbuatan yang selalu diulang-ulang dalam merespons suatu peristiwa tertentu cenderung menjadi gambaran tabiat pelaku budaya bersangkutan. 

Kita pun mengenal atau melabeli seseorang sebagai ramah atau pemarah karena kebiasaannya merekahkan senyuman tatkala berpapasan, atau sebaliknya, seringkali marah meski hanya hal sepele belaka. Sebab sering membantu sesama dan gemar gotong royong, kita juga menganggap seseorang itu sebagai berjiwa sosial atau memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Jika kebiasaan seseorang tersebut berlaku luas dalam lingkungan di mana ia tinggal, maka hal itu cenderung menjadi cap atau label bagi kelompoknya. Maka dikenallah orang Rambutan yang ramah, kampung Durian yang suka tawuran, desa Salak yang religius, dst. Tidak selalu positif memang. Meski beberapa di antaranya hanya stereotif dan prasangka belaka, tetapi ada juga yang memang benar adanya. 

Dalam konteks Indonesia yang jamak masyarakat dan budayanya, kita perlu strategi kebudayaan yang tepat untuk membiakkan nilai-nilai budaya positif ke dalam relung budaya hingga tatanan sosial masyarakat kita. Belajar kebudayaan, menurut ahli budaya, berlangsung dalam proses sosialisasi dan enkulturasi. Berbagai tabiat dari keseluruhan masyarakat dan kebudayaannya perlu diselami, dipahami, dan mengarahkannya secara positif bagi pembangunan bangsa. 

Revolusi Karakter
Keluarga merupakan institusi pertama di mana seseorang mendapatkan ‘pelajaran’ budaya dari masyarakatnya. Tidak ada keluarga yang terlepas dari kelompoknya (komuniti, masyarakat, negara, dll). Setiap anak akan memperoleh bimbingan dari orang tua, atau yang mengasuhnya, hal mana kelak akan membimbing sikap, periaku, dan tindakannya dalam kehidupan. Di sinilah tahapan sosialisasi. Orang tua kita juga menjalani proses serupa dari kakek-nenek kita, dst. Karena itu, penguatan peran keluarga memang tidak bisa lagi diabaikan jika menginginkan generasi bangsa yang beradab dengan ‘rasa’ Indonesia yang sungguh kental. 

Ayah dan ibu serta keluarga luas memiliki tanggung jawab besar dalam menyosialisasikan nilai-nilai budaya yang positif sesuai kebudayaannya. Tidak hanya menyangkut diri anak saja, tetapi juga dalam inteaksinya dengan masyarakat dan lingkungan sekitar.

Begitu juga lingkungan sosial atau masyarakat di mana anak tumbuh dan berkembang. Bagaimanapun seorang anak tidak hanya mengurung diri dalam kamar atau rumah saja. Ia akan bergaul, mulai dari tetangga, lalu ke kampung tetangga, hingga ke tempat-tempat yang jauh. Di sana ia akan berjumpa dengan praktik-praktik yang mungkin saja tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Orang tua di rumah tentu tidak mengetahui. Di sini diperlukan keterlibatan masyarakat untuk mengawasi anak-anak atau warga masyarakat di dalam lingkungannya. Kita tidak bisa bermasa bodoh dengan kebiasaan menenggak minuman keras, atau penyalahgunaan narkoba, di sekitar kita. 

Janganlah kita menyerahkan secara total ‘tugas’ ini kepada aparat keamanan. Efek jera dari hukuman yang ditanggung belum tentu sesuai harapan, bahkan setelah menjalani hukuman fisik berkali-kali kepada pelaku. Upaya ‘memasyarakatkan’ pelanggar melalui lembaga pemasyarakatan juga juga tidak sepenuhnya efektif. 

Akan tetapi, peran dari berbagai institusi (keluarga, komuniti, masyarakat) di atas kerapkali tidak efektif juga karena sifatnya yang informal sehingga pengabaian atas tanggung jawab yang disandangnya tak membuat kita merasa bersalah. Apakah kita benar-benar sudah kehilangan kepedulian, atau tabiat masyarakat kita sungguh tak terkendali lagi?

Jika perkembangan bangsa kita yang diupayakan pencapaiannya secara berangsur-angsur selama ini belum sepenuhnya – meski tak berarti kita gagal – menghasilkan situasi bangsa dan generasi Indonesia sesuai harapan, mungkin benar kata Presiden Jokowi: kita perlu revolusi!

Pendidikan formal
Menutup tulisan ini, saya ingin menaruh harapan besar kepada peran dan fungsi lembaga pendidikan formal dalam upaya membentuk tatanan masyarakat yang bekarakter Indonesia dengan ‘rasa’ yang sungguh-sungguh akrab dan dirindukan batin kita. 

Dalam Sistem Pendidikan Nasional kita, dengan sangat jelas Undang-Undang kita mendefinisikan pendidikan sebagai “usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah menetapkan sebanyak 18 nilai-nilai yang harus dikembangkan dalam mencapai tujuan pendidikan karakter. Keseluruhan nilai-nilai itu meliputi: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat atau komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.  

Serangkaian nilai-nilai luhur di atas diharapkan menjiwai perkembangan karakter generasi bangsa Indonesia. Di balik harapan ini, terdapat tujuan agar insan Indonesia kelak tidak hanya cerdas, melainkan juga diembusi napas kepribadian atau karakter yang sungguh-sungguh Indonesia.

Sayangnya, sekali lagi, warga negara Indonesia yang hendak dididik, dibentuk, dan diperkembangkan kepribadiannya itu, tersebar dalam wilayah geografis Indonesia yang luas, dengan kebudayaan yang tingkat keragamannya tidak diragukan lagi besarnya. Belum lagi perkembangan global, globalisasi, yang ditandai dengan perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan komunikasi, secara padat dan pesat menggejalakan kecenderungan bergesernya referensi nilai masyarakat kita, sebagai faktor eksternal yang harus diatasi dan diantsipasi efek negatifnya. Tantangan dunia pendidikan, dalam hal ini, memerlukan satu tulisan khusus sebab kedalaman dan kompleksitas pemasalahan masyarakat dan kebubudayaan kita.

Akan tetapi, bagaimanapun kondisinya, kita sepakat bahwa optimalisasi peran dan fungsi keluarga, lingkungan dan institusi pendidikan sangat urgen dan penting dilakukan demi masa depan Indonesia yang lebih baik.

****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos,  25 Februari 2017

Share:
Komentar

Terkini