Pesta Di Morotai

Editor: The Tebings author photo
Andi Sumar Karman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

Morotai memang selalu memikat. Jauh sebelum hari ini, negara-negara dan kekuatan militer besar yang bertarung dalam Perang Dunia kedua, pun tak lepas dari pesonanya. Letaknya yang strategis sebab berhadapan langsung dengan Samudera Pasifik adalah rayuan pemikatnya. Secara geopolitik, sejak dulu hingga saat ini, posisi tetap tak memudar pesonanya. 

Foto-foto pantai dan godaan berwisata ke Morotai juga dengan mudah kita jumpai di media daring dan media sosial. Saya sampai dikonfirmasi oleh seorang teman di Jawa, “benarkah Morotai indah?” Singkat saya jawab:”Iya, datanglah ke sana. Jangan lupa bahagia!”

Yang paling baru, ihwal kedatangan Jepang berinvestasi ke Morotai. Di koran ini (‘Harian Malut Post’), dan di linimasa media sosial, terbentang berita, respons, komentar-komentar atas rencana itu. Mulai dari yang lucu-lucu hingga serius; yang ringan sampai berat; yang santai hingga formal; optimistis dan pesimistis; yang rasional hingga yang tak-masuk-akal; semuanya mewartakan dengan cara berkabarnya sendiri. Kini, semua benam dalam perjalanan isu dari hari ke hari. Dan, seperti biasa, kita bergerak mereaksi peristiwa berikutnya. 

Sekarang, dan entah sampai kapan, pemilihan kepala daerah (pilkada) di Morotai telah selesai digelar. Pilkada, pesta demokrasi, katanya. Ya, pesta dan demokrasi.  

Pesta itu kebanyakan, jika bukan selalu, diasosiasikan dengan perayaan kegembiraan, peringatan yang diliputi suka cita. Memang ada yang menggunakannya untuk memperingati atau mengenangkan kematian. Disebut juga ‘pesta’ kematian. Akan tetapi, bagaimana pun semaraknya ‘pesta’ semacam itu, tetap saja ekspresi duka dan kehilangan ditampilkan. Tak boleh tertawa kuat. Hening. Lalu, demokrasi? Ini adalah kompetensi para ahli ilmu politik. Tapi saya akan menyitir konsep pokoknya dan menyangkut-kaitkan dengan bidang ilmu yang saya tekuni, ilmu antropologi. Setelah itu, mari kita lihat fenomena pilkada Morotai. Sebagai gambaran, bahan baku saya adalah berita-berita di media massa dan media sosial dan perbincangan saya dengan teman atau pihak yang terkait atau memiliki pengetahuan dengan pilkada yang baru saja digelar di sana. Saya harus memahfumkan sejak awal, bahwa ini sama sekali tidak terkait dengan keabsahan perolehan suara hasil pilkada di sana. Itu urusan lembaga politik lain lagi, yang juga sama sekali jauh dari jangkauan saya.

Kesetaraan Hak
Hal yang paling mendasar dari konsep demokrasi, baik sebagai sistem politik (bentuk pemerintahan) maupun sebagai suatu kondisi (sosial, ekonomi, budaya, dst) adalah adanya kesetaraan hak di antara warga yang menjadi cakupan demokrasi itu.  Kewargaan seseorang, yang juga seringkali dilekatkan sebagai identitasnya, bisa berdasarkan sukubangsa, agama, kepentingan, asal-muasal, negara, dan lain-lain. Singkatnya, ada pencakup yang melingkupi seseorang sehingga termasuk ke dalam warga di dalam sesuatu itu. Karena itu, demokrasi tidak hanya ‘diributkan’ di kitaran pilkada (Bupati dan wakil Bupati) saja, atau pemilihan kepala pada jenjang pemerintahan lainnya (RT, RW, Kepala Desa). Tetapi demokrasi dalam kehidupan sehari-hari mewadahi, melindungi, dan memastikan pula terjaminnya hak dan kepentingan warga secara luas dan setara dengan warga lainnya.  Itulah sebabnya, misalnya, dalam setiap tahapan perumusan kebijakan oleh negara, dalam hal ini melalui intitusi pemerintah daerah, warga negara dilibatkan secara aktif dan partisipatif. Mulai dari perencanaan hingga evaluasi kebijakan, watga sejatinya dilibatkan. Tentu saja mekanisme pelibatannya diatur dengan sesuai prosedur juga. Detail ini memungkinkan dipastikannya hak-hak warga tidak terabaikan. 

Warga dari suatu negara, atau dalam hal ini Morotai sebagai kabupaten, sudah tentu berasal dari berbagai latar belakang: sosial, ekonomi, dan budaya. Sebagai gambaran singkat saja, penduduk Morotai ada yang menyebut dirinya sebagai orang Tobelo, Galela, Ternate, Tidore, Bugis, Jawa, dan lain-lain. Mereka beragama Islam atau Kristen. Tingkat kesejahteraan ekonominya juga bertingkat-tingkat. Ada yang sejahtera sekali, biasa-biasa saja, hampir sejahtera, hingga kurang sejahtera. Dalam hal pilkada, dukungan kepada pasangan calon tertentu juga menjadi pembeda antara warga atau kelompok satu dengan lainnya. 

Semua status dan peranan di atas mewarnai, jika bukan menentukan, dalam kerangka interaksi sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih jauh, ini akan mengimplikasikan hak dan kewajiban dari warga yang bersangkutan. 

Gambaran di atas juga menunjukkan betapa kita sangat kaya dengan berbagai atribut-pembeda antara satu orang atau kelompok dengan lainnya. Inilah rupa-rupa identitas dalam konteks interaksi sosial di masyarakat. Keaneka-rupaan itu akrab kita kenal sebagai istilah keragaman, keaneka-ragaman, atau plural.

Masyarakat Plural
Dari berbagai literatur dapat diketahui bahwa konsep masyarakat plural pertama kali diungkapkan oleh Furnivall pada 1963 ketika membicarakan masyarakat jajahan di Filipina. Masyarakat plural tersusun atas berbagai perbedaan dan hanya bertemu di pasar. Interkasi warga tidak terjadi dalam lingkup sosial yang luas. Kolonial sengaja merncang demikian agar tetap bisa mengendalikan (menguasai) pribumi. Di Indonesia, praktik ini dapat kita jumpai melalui cara kolonial Belanda membagi-bagi masyarakat Hindia Belanda ke dalam tiga lapisan vertikal, yang secara berturut-turut dari tertinggi hingga rendah meliputi: Eropah dan kaum kulit putih lainnya, Asia dan Timur Jauh (Tionghoa dan Arab), dan Pribumi.

Hal yang paling mendasar dari konsep ‘plural’ ini adalah adanya pengakuan tentang perbedaan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Misalnya, orang Galela mengakui perbedaannya dengan orang Tobelo, Ternate, Bugis, Jawa, dll. Begitu juga sebaliknya, setiap pihak akan memandang dirinya berbeda dengan warga atau kelompok lain.

Sayangnya, mengakui perbedaan saja tidak selalu sama dengan berlakunya hak-hak secara setara di antara kelompok-kelompok yang ada. Ini yang terjadi dalam masyarakat plural.

Sukubangsa, Kesukubangsaan, dan Agama
Salah satu ahli antropologi yang cukup banyak mengkaji dan membicarakan topik ini adalah Alm. Parsudi Suparlan, seorang Guru Besar antropologi Universitas Indonesia. Saya menggunakan beberapa gagasannya untuk keperluan tulisan singkat dalam ruang terbatas ini. Seseorang menjadi anggota (warga) suatu sukubangsa (etnik) biasanya dikaitkan dengan (1) pengakuan diri sendiri sebagai anggota sukubangsanya, (2) kesamaan bahasa dengan sukubangsa acuannya, dan (3) memiliki kesamaan tradisi, adat istiadat. Kesukubangsaan seseorang diperoleh secara askriptif. Artinya, ia dicapai begitu saja. Begitu seseorang lahir, ia sudah pasti masuk ke salah satu kelompok etnik. Bagi mereka yang lahir dari perkawinan campuran, ayah dan ibu berasal dari etnik berbeda, bisa saja ia tergabung ke dalam dua etnik. Karena itu, seseorang tak bisa mengingkari kewargaannya dari suatu kelompok etnik. 

Identitas seseorang sebagai anggota suatu kelompok etnik semakin kuat dan menancap dalam manakala dilekat-benamkan oleh warga dari etnik lain. Makanya, seorang anak Bugis yang lahir dan besar di Maluku Utara, tetap disebut ‘orang Bugis’, sebagai ia memandang dirinya demikian. Padahal, orang tuanya mungkin sudah mengadopsi beberapa bagian dari tradisi lokal di Maluku Utara, misalnya tahlilan, baronggeng, makan popeda, dll. 

Ikatan kuat seseorang dengan lokalitas, yang dikaitkan dengan kesukubangsaannya, pada akhirnya menempatkan kita dalam dua ujung berbeda: asli dan pendatang. Makanya, ketika identitas sukubangsa seseorang tidak terlihat jelas, maka kita akan menanyakan: asalnya dari mana? Untuk maksud menciptakan keintiman dan intensi positif, tentu tak masalah pertanyaan serupa itu. Malah itu diperlukan dalam berkomunikasi.

Masalahnya adalah ketika pengidentifikasian seseorang–entah berdasarkan etnik, ras, agama, golongan–seringkali mengarah pada akses sumberdaya (‘resource’), entah ekonomi, politik, atau lainnya. Perpaduan antara orang identitas etnik dan orang asli (putra daerah) merupakan kombinasi manjur untuk membatasi seseorang atau kelompok terhadap kemungkinannya pada akses-akses sumberdaya tadi. Tidak terkendalinya persaingan di antara kelompok-kelompok ini melalui suatu mekanisme yang dipandang adil seringkali berujung pada konflik. 

Hal yang lebih dahsyat dan mengerikan, kira-kira begitu bahasa Parsudi Suparlan, tatkala unsur agama menambah kombinasi tadi. Baik sukubangsa maupun agama, keduanya dianggap hal primordial oleh Suparlan. Karena itu, keduanya menuntut pengelolaan secara serius dan sejatinya menjadi bagian penting dalam kebijakan kebudayaan pemerintah kita.

Kita tidak bisa berpura-pura menyatakan bahwa ‘semua baik-baik saja’. Meski kita juga tidak boleh sedemikian paranoidnya sehingga terus berprasangka buruk terhadap pihak-pihak di luar kelompok kita. 

Secara ringkas, dalam perspektif pluralisme, kelompok-kelompok yang ada di masyarakat hanya mengakui perbedaan di antara mereka, tanpa dibarengi upaya pengakuan kesetaraan di antara kelompok-kelompok itu. 
Multikulturalisme 

Beberapa kalangan menyamakan antara pluralisme dengan multikulturalisme. Mengikuti pandangan Parsudi Suparlan, saya sepakat membedakan keduanya. Dalam pluralisme, yang diakui adalah kejamakan sukubangsa (etnik), termasuk agama, dll. Sebagai implikasinya, kita pun mengenal bermacam-macam sukubangsa. 

Multikulturalisme berpandangan lain. Yang beragam adalah budayanya. Penekanannya bukan pada sukubangsanya. Konkretnya, seseorang tidak dilihat sebagai orang Ternate, Tidore, Jawa, Bugis, Batak, Makian, Galela, Tionghoa, Tobelo, atau lainnya. Dalam masyarakat multikultur, terutama yang menjadi perhatian adalah tradisi atau adat istiadat dari masing-masing kelompok sukubangsa tadi sebagai contoh. Demikian pula halnya dengan keagamaan seseorang.

Kebudayaan (kultur) yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tadi pada dasarnya dianggap setara dan memiliki hak untuk sama-sama hadir dan diperkembangkan oleh anggotanya. Di sinilah titik temu multikulturalisme dengan demokrasi. 

Belum seminggu lamanya berselang, seorang kawan bertandang ke tempat saya. Ia sedang menulis tentang politik identitas dalam pemilihan kepala desa di salah satu desa di Morotai. Karena topik tulisannya masih erat terkait dengan ‘pesta’ yang barusan digelar di Morotai, obrolan kami pun menyinggung itu.

Masing-masing pihak yang turut menjadi bagian dari pilkada itu, mempersoalkan hasil pilkada. Kemenangan disanggah, kekalahan dibantah. Itu hal biasa. Semua pihak akan mengupayakan kemenangannya, dan pada akhirnya institusi resmi akan memutus dan menetapkannya. Segala protes dan pembelaan diri punya wadah penyaluran dan mekanisme sahnya di jalur hukum. Saya tidak banyak tertarik di bagian ini. 

Menarik bagi saya, berdasarkan cerita yang dituturkan kawan tadi, adalah penggunaan identitas-identitas baik kesukubangsaan maupun agama di antara sekelompok oknum pendukung pasangan calon kepala di daerah itu. Termasuk juga diembuskannya isu Putra Daerah dalam pertarungan wacana yang sedang berlansgung di sana. 

Mungkin saya dianggap berlebihan dalam membaca fenomena pasca ‘pesta’ itu. Tapi air muka dan suara tegas kawan saya tadi meyakinkan bahwa manipulasi berbagai atribut yang disebut identitas tadi memang sangat mungkin terjadi. Itulah gunanya ilmu pengetahuan (sosial budaya) sebagai alat untuk membantu kita melihat fenomena, bahkan terhadap apa tampak di permukaan sebagai ‘baik-baik saja.

****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos,  2 Maret 2017

Share:
Komentar

Terkini