Tak dapat disangkal lagi, Benteng Oranje di Kota Ternate tergolong sebagai cagar budaya (CB). Berdasarkan kriteria cagar budaya, sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang R.I Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UUCB), benteng ini tercakup dalam kriteria itu (lihat Bab III, Bagian Kesatu, pasal 5 – 11).
Hanya saja, sejauh informasi yang saya tahu, ada tarik-menarik dalam hal proses register nasional CB ini. Pihak terlibat, terutama adalah Pemerintah Kota Ternate (Pemkot), sebagaimana diamanatkan dalam pasal 28 UUCB, bahwa “Pemerintah kabupaten/kota bekerjasama dengan setiap orang dalam melakukan Pendaftaran.” Sampai di sini, kita menyatakan salut dengan Pemkot atas upaya tersebut. Sayangnya, pendaftaran Benteng Oranje belum menunjukkan hasil hingga saat ini.
Pihak lainnya, Balai Pelestarian Cagar Budaya Maluku Utara (BPCB Malut). Sebab alasan Pendaftaran, sebagai proses registrasi nasional, BPCB Malut tidak bisa “berbuat banyak” terhadap CB ini.
Sumber lain mengatakan, bahwa BPCB sudah pernah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya untuk melakukan pengkajian terhadap benteng Oranje. Padahal, menurut amanat UUCB (pasal 31), Pengkajian baru bisa dilakukan setelah berhasil dilakukan Pendaftaran. Agar diketahui, tujuan pengkajian oleh Tim Ahli Cagar Budaya ini adalah untuk “… melakukan identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan sebagai CB.”
Hasil kajian Tim Ahli ini juga akan merekomendasikan pemeringkatan CB sebagai peringkat nasional, provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. Lalu, bagaimana hasil kerja Tim Ahli ini? Apakah sudah selesai? Andaikata tidak selesai pun, maka suatu benda, bangunan, struktur, lokasi, tetap diperlakukan sebagai CB.
Lantas bagaimana nasib benteng Oranje berikutnya?
Runtuhnya benteng ini beberapa waktu lalu perlahan mengungkapkan kusutnya pengelolaan salah satu CB kota ini. Dinas PUPR Kota Ternate yang sedang melakukan aktivitasnya di sekitar benteng mendapat sorotan publik. Pun BPCB Malut tak lepas dari sorotan sebab pemahaman publik tentang tugas pokok dan fungsi lembaga pemerintah ini. Karena itu, perbincangan (beserta aksi yang menyertainya) seputar benteng Oranje semata merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam kerangka pengawasan Pelestarian Cagar Budaya. Meski demikian, tanggung jawab pengawasannya tetap pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah karena kewenangannya (UU BCB Pasal 9 ayat 1 dan 2).
Mengapa BPCB?
BPCB Maluku Utara merupakan representasi Pemerintah yang ada di Maluku Utara. Lembaga ini memiliki tugas pokok dan fungsi, salah satunya, melaksanakan pemeliharaan, perlindungan, pemugaran, dokumentasi, bimbingan dan penyuluhan, penyelidikan dan pengamanan terhadap peninggalan purbakala bergerak maupun tidak bergerak serta situs, termasuk yang berada dilapangan maupun tersimpan di ruangan.
Di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I., Direktorat Jenderal Kebudayaan me-rupakan unsur pelaksana yang bertugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang kebudayaan, perfilman, kesenian, tradisi, sejarah, cagar budaya, permuseuman, warisan budaya, dan kebudayaan lainnya.
Salah satu unit kerja vertikal menteri dan dirjennya ini di daerah adalah BPCB. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 11 Tahun 2015, BPCB Maluku Utara adalah salah satu unit kerja vertikal di antara 12 BPCB di Indonesia.
Berdasarkan kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya, sebagaimana ditunjukkan di atas, maka tidak “salah alamat” jika publik, atau kelompok pemerhati BCB meminta keterangan atau mempertanyakan langkah nyata setelah runtuhnya bagian tertentu benteng Oranje beberapa waktu lalu. Begitu pula dengan aksi sekelompok mahasiswa dari Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun. Sayangnya, aksi sekelompok mahasiswa ini malah dianggap sebagai ditunggangi oleh pihak tertentu. Respons semacam malah meremehkan, bahkan melecehkan, aksi mahasiswa yang justru tergerak oleh nurani kepeduliannya terhadap BCB di kota Ternate, dan Maluku Utara pada umumnya.
Menjernihkan Kekisruhan
Bagaimanapun, sejak runtuhnya sebagian sisi selatan benteng Oranje, perbincangan atasnya terus menyeruak. Setidaknya, oleh beberapa pihak yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian BCB di Kota Ternate. Landasannya jelas, Undang-Undang Cagar Budaya Tahun 2011.
Di balik kekisruhan ini, pihak-pihak terkait sejatinya membuka diri terhadap informasi dan aksi yang telah dilakukan. Ketika pihak lain bertanya, atau mencari tahu, tentang apa saja tindakan yang telah (termasuk yang belum!) dilakukan, maka ia harus membuka diri atas jawaban yang seharusnya diberikan. Agar tak terjadi kesalahpahaman di antara pihak yang perduli, dan pihak yang dianggap berwenang, maka saya menyarankan beberapa hal.
Pertama, Pemerintah Kota, terutama instasi yang terkait dengan pengelolaan benteng Oranje untuk secara transparan mengemukakan upaya-upaya yang telah ditempuh untuk pelestarian benteng.
Kedua, BPCB harus terbuka untuk menunjukkan apa saja yang telah dilakukan serta perkembangannya terkait dengan keberadaan benteng Oranje. Ketimbang menafsirkan aksi mahasiswa dengan tuduhan yang terkesan mengada-ada, lebih baik membuka ruang dialog untuk menunjukkan langkah nyata yang telah dilakukan sesuai kewenangan yang ada di pihaknya. Memang bukan kewajiban BPCB untuk memaparkan upayanya, tetapi publik berhak juga mengetahui sejauh mana kewenangan itu ditunaikan.
Ketiga, semua pihak terkait dengan pengelolaan benteng, secara langsung atau tidak langsung, sejatinya duduk bersama, koordinasi lintas sektor untuk mengantisipasi terkatung-katungnya nasib benteng yang dibicarakan.
Keempat, pemerintah dan pemerintah daerah segera menetapkan regulasi mengenai BCB di daerah ini. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi kesimpang-siuran tanggung jawab dan wewenang atas suatu BCB, baik dalam kondisi normal atau ketika terjadinya suatu insiden yang menimpa BCB tsb.
Sebagai informasi tambahan, Penulis merupakan salah seorang di antara beberapa elemen pemerhati cagar budaya yang turut mengadvokasi pemugaran tahap pertama benteng Oranje pada 2008 silam. Kepedulian saya kali ini, masih didorong oleh motif yang serupa.
Akhirnya, salam lestari untuk BCB dan demi kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan!
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 12 September 2017