Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. Sepintar-pintarnya orang menutupi bangkai, tetap akan tercium juga. Adagium klasik ini mungkin relevan sebagai metafora atas fenomena yang melingkupi tim Persiter saat ini.
Pupus sudah asa Persiter berlaga di babak final Piala Soeratin pada Sabtu, 28 Oktober 2017, di Sleman, Yogyakarta. Di puncak laga sepak bola dua tahunan ini, Persiter seharusnya beradu dengan klub Penajam Utama.
Persiter digugat karena dua orang pemain Persiter melewati batas usia yang dipersyaratkan liga itu. Dua orang lainnya, bermain dengan nama yang tak terdaftar. Sebelum diputuskan PSSI, tanggapan dan putusan atas gugatan itu dinanti dengan harap-harap cemas. Sementara itu, bumi Gamalama diliputi saling tuding, mencari-cari pengadu, mengusut pelapor. Saling menyalahkan, semua membela diri. Massa yang kecewa berunjuk rasa. Apa yang sebenarnya terjadi?
Waktu beringsut cepat. Keputusan ditetapkan. Setelah didiskualifikasi oleh komisi etik PSSI, Persiter akhirnya benar-benar gagal berlaga di perebutan piala yang semula dipersembahkan kepada Bapak PSSI, Ir. Soeratin, ini. Peluang Persiter untuk mengulang kegemilangan prestasi sepak bola anak-anak Ternate sebagai juara di Soeratin Cup pada 1978 silam, benar-benar tinggal angan-angan. Yang tersisa isak tangis pilu anak-anak pelaga rumput hijau belaka.
Kebanggaan Semu
Di balik kesedihan mendalam anak-anak Persiter – yang gagal menapak tahap final – kita bisa memetik hikmah. Sebab didiskualifikasi, mereka (dan mestinya untuk kita semua juga) belajar tentang makna kejujuran. Menculasi sesuatu hal untuk mencapai tujuan demi bisa bertengger di puncak adalah sesuatu yang tercela.
Andaikata Persiter pun bisa berhasil menjuarai, atau setidaknya menjajal tahap final Soeratin 2017 ini, kemenangan itu semu belaka. Meski sempat bangga sesaat, tetapi kebahagiaan sejati sebab kemenangan semacam itu tak mungkin tercapai. Nurani kita akan terusik, jika kita masih mempertahankan kejujuran sebagai nlai yang adiluhung, sebab praktik kecurangan di balik proses-proses itu.
Di tengah gencarnya pemerintah, dan seharusnya mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, mengupayakan pendidikan karakter – kejujuran, kerja keras, semangat berprestasi, dlll – kita justru tengah mempraktikkan hal sebaliknya.
Sebagai bagian dari publik Ternate, tentu saja saya akan bangga andaikata Persiter memenangi kompetisi sepakbola yang perdana dihelat pada 13-19 April 1966 itu. Tapi, itu jika seluruh proses-prosesnya dilakukan dengan benar dan menjunjung tinggi sportivitas – kata yang selalu disemboyankan untuk lomba atau tanding keolahragaan. Karena itu, kegagalan Persiter kali ini, sejatinya menyadarkan semua pihak untuk turut menciptakan dan mendukung ajang prestasi dalam berbagai hal secara jujur, adil, dan sportif.
Gengsi Prestasi
Secara simbolik, suatu prestasi akan mengangkat pihak pemenang tanding ke kebadian sejarah sebagai pemenang. Pemenang dalam arti sesungguhnya. Kemenangan yang dicapai dengan lelehan peluh sejak seleksi, ditempa lewat latihan rutin, dan semangat juara yang dipatrikan sejak awal kepada pribadi-pribadi yang akhirnya tumbuh sebagai tim. Spirit korps mereka, para anak-anak penakluk karet bundar ini, mengkristal untuk satu yang tegas dibela: demi kebanggaan masyarakat Ternate.
Sayangnya, semangat untuk mencapai prestasi itu tidak diiringi dengan upaya yang sportif oleh para arsitek tim sepakbola kebanggaan kita. Ingin berprestasi, jalan pintas ditempuh demi gengsi. Seberapa bermaknakah kepuasan di balik pencapaian semacam itu? Selama apakah kebanggaan dapat dipertahankan jika nurani terus diusik sebisik tanya yang menggugat batin sendiri? Kecuali kita memang telah memaklumkan pencapaian serupa itu, maka kepuasan dan kebanggaan selamanya dielu-elukan. Sementara itu, sebuah nilai dan praktik budaya terus berlanjut: keculasan yang dilazimkan untuk suatu prestasi.
Ditilik dari perspektif budaya, sosialisasi adalah tahap awal dalam proses belajar kebudayaan sendiri. Di balik kisruh gagalnya Persiter ke babak final Soeratin Cup ini, sebuah nilai dan praktik budaya tengah dipertontonkan. Sadar atau tidak, nilai-nilai kejujuran dan praktik ketidakjujuran, sebagai salah satu yang dapat diungkapkan di sini, terpampang lugas lewat fenomena ini. Kini kita sibuk mencari tahu, siapa yang membongkar atau melaporkan ‘rahasia’ identitas beberapa pemain tim Persiter hingga berujung pada diusut dan didiskualifikasinya tim yang seharusnya membikin kita bangga dengan segala pencapaiannya itu.
Sepak Bola dan Budaya
Besnier dan Brownel (2012) dalam “Sport, Modernity, and the Body” menyatakan bahwa olahraga merupakan aktivitas manusia yang mengobjektivikasi tubuh secara sangat ketat. Melalui olahraga, tubuh dilatih, didisiplinkan, dimodifikasi, ditampilkan, dievaluasi, dan dikomodifikasi. Segala perlakuan terhadap tubuh melalui olahraga ini melibatkan pemain, penonton, dan pelatih.
Dengan menggunakan bahan-bahan kajian dari akhir 1980-an, kedua ahli antropologi di atas membawa kajian olahraga sebagai bidang kajian (etnografi) dalam disiplin antropologi. Dari hamparan bentang kajian kedua ahli, dalam konteks olahraga sepak bola kita dapat memilah buah pikirannya.
Pertama, sepak bola, dan olahraga pada umumnya, merepresentasikan karakter nasional (atau lokal) melalui gaya permainan yang ditampilkan. Dari perspektif interpretif ini, karakter individual atau komunalisme suatu bangsa seringkali tercermin dari gaya permainannya. Pengabaian terhadap ideologi dominan dan interaksi kepentingan antaraktor yang kerap terbungkam, oleh sementara kalangan, adalah kelemahan dari pandangan (interpretif) ini. Memang, dengan latihan keras dan profesional, ‘karakter’ ini memang perlahan terkikis atau mengabur, bahkan hilang sama sekali. Karakter individual suatu bangsa bisa benar-benar padu dalam suatu tim sepakbola yang andal. Mereka bisa menjadi sangat komunal.
Sebelum tiba ke lapangan (dalam makna harfiah), sebenarnya ‘gaya’ apa yang kita mainkan? Maksud saya, sebelum pemain terpilih sebagai wakil yang tergabung dalam tim Persiter, bagaimana gaya perekrutan, seleksi, hingga penentuan akhirnya. Semua proses-prses ini harus jelas dan terbuka untuk diketahui semua kalangan. Jika tidak, maka kasak-kusuk demi pembelaan opini tertentu tak bisa dihindari. Lebih jauh lagi, saling menyalahkan. Inikah ‘gaya’ kita?
Kedua, olahraga pramodern yang berkarakter ritual menghilang seiring munculnya masyarakat industrial. Sebagai penggantinya, penekanan pada prestasi pun mencambuk pelaku dan pegiat olahraga, sebagaimana dapat disaksikan dalam pencatatan (rekor) olahraga dan produktivitas ekonomi. Meski teori “dari ritual ke rekor” tentang olahraga ini didebat sementara kalangan, tetapi tetap ada pendukung yang membela gagasan pokoknya.
Olahraga pada masyarakat sederhana terutama dipraktikkan sebagai ritual. Kemenangan demi membuktikan rekor bukan tujuan utama di sana. Apalagi, dengan cara-cara yang tidak jujur, sportif, dan sejenisnya.
Ketiga, olahraga sepak bola selain dapat memperkuat hierarki sosial, juga dapat memperkuat bentuk ketidaksetaraan sosial lainnya. Dalam perspektif modern, sepak bola secara evaluatif menjadi medium perenungan para pihak terlibat untuk kembali menilai pencapaiannya. Keberhasilan mencapai tingkat tertentu dalam strata lomba mendudukkan aktor dalam posisi yang pantas dan memuaskan, apapun hasilnya. Namun, upaya-upaya pencapaian demi prestasi beserta proses-proses yang melingkupinya yang dilakukan secara curang justru memupuk ketidaksetaraan di antara kalangan masyarakat yang diwakili suatu tim. Di titik ini, pengelola tim harus mempertimbangkan aspek sosial dari masyarakat sepak bola yang diwakilinya.
Keempat, olahraga merupakan wahana negara untuk mengintegrasikan, memodernisasi, dan memberdayakan etnis minoritas, orang-orang miskin, dan kelompok tak beruntung lainnya. Olahraga, dalam hal ini, menjadi sarana warga negara–yang diwakili individu pemain ke dalam tim–ke dalam kelompok dominan.
Pemerintah daerah (Pemda), atau pihak yang mengemban kewenangan kesepakbolaan dari Pemda sejatinya menyadari bahwa ranah sepakbola menjadi ajang bagi tampilnya setiap warga untuk tampil setara. Konkritnya, mereka yang berbakat sebagai pemain unggul harus diakomodir. Tidak boleh ada ‘penolakan’ kepada seseorang hanya karena lemah atau tidak memiliki akses informal (namun menundukkan yang formal) ke dalam tim. Lebih terang lagi, seseorang yang jelas berbakat tidak bisa ditolak hanya karena tidak memiliki keluarga atau jaringan yang menentukan perekrutan pemain.
Misteri Aktor dan Aksi Massa
Terjungkalnya tim Persiter ke babak final Soeratin cup 2017 diikuti dua respons masyarakat Ternate secara simultan. Pelapor, atau pihak yang diduga membocorkan ‘kerahasiaan’ pemain Persiter, diusut, dicari-cari. Di pihak lain, publik mengekspresikan kekecewaannya dengan menggelar aksi unjuk rasa.
Sejenak, kedua respons tersebut dapat diterima. Akan tetapi, tanggapan serupa itu tentu tidak menyelesaikan akar persoalan sesungguhnya. Fokus pada kedua bentuk respons tersebut, berarti menerima atau mendukung proses-proses seleksi yang diduga tidak benar itu. Maka, yang pantas dituntut bertanggung jawab adalah mereka yang terlibat dalam tahapan seleksi atau perekrutan pemain sebelumnya. Terbongkarnya ‘rahasia’ itu dalah masalah waktu belaka. Jika pun berhasil dibungkam, maka efek budayanya dapat berjangka panjang: kita menanamkan karakter culas kepada generasi muda.
Mencari aktor dan mengusut pelapor pemalsuan identitas pemain adalah upaya sia-sia. Adapun kekecewaan publik yang diekspresikan lewat unjuk rasa adalah cambuk bagi pengelola tim untuk bekerja lebih profesional.
Terakhir, di atas semua uraian di atas, momen didiskualifikasinya Perster dari babak final Soeratin Cup menjadi ajang perenungan bagi kita semua. Kita boleh saja kecewa karena ‘kegagalan’ itu. Tapi, dada mana yang bisa kita tepuk dengan sepenuh-penuhnya rasa bangga ketika prestasi diraih dengan batin yang terus disangsi serupa tanya?
Salam sportivitas! Berjayalah dengan pantas dan terhormat!