Edisi Rabu (4/10/2017) harian ini menurunkan ‘headline’:”24 Ribu Warga Miskin Terancam.” ‘Ancaman’ bagi warga miskin Maluku Utara ini, sebagaimana dirilis harian ini, disebabkan Pemerintah Provinsi Maluku Utara menunggak pembayaran iuran tetap Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk pasien miskin. Meski demikian, tunggakan senilai Rp 5 miliar selama rentang waktu Januari hingga September 2017 disanggupi pelunasannya oleh pemerintah.
Berita tersebut cukup menyedihkan, setidaknya menurut saya. Jika kita mengikuti perkembangan akhir-akhir ini betapa pemerintah daerah banyak menganggarkan dana untuk kegiatan-kegiatan serupa ‘event’ seremonial, meski diyakini beberapa pihak bahwa ‘event’ tsb akan berdampak positif bagi pembangunan daerah ke depannya. Kita masih menunggu pembuktian atas harapan itu. Tetapi fakta bakal terbengkalainya nasib 24 ribu orang miskin di daerah ini benar-benar menggemaskan. Kemelaratan dan kekecewaan yang terlanjur merasuki kehidupan kalangan tertentu bukanlah kodrat tentu saja. Ia bukan sesuatu yang terberikan (‘given’) dari langit. Akar muasalnya akan berujung pada perjumpaan dengan kebijakan.
Di hadapan cita-cita kesejahteraan yang dibayangkan oleh Pendiri Bangsa ini, sederet angka-angka kemiskinan serupa hantu kemakmuran. Meski surut dari waktu ke waktu, tetapi keberadaannya terus membayang-bayangi. Belum lagi, kemiskinan sebagai pengalaman, dapat dipersepsikan secara berbeda di antara mereka yang disebut miskin itu.
Wacana dan Aksi Global
Kemiskinan, sebagaimana kita ketahui, bukan hanya menjadi wacana dan aksi di tingkat lokal atau nasional. Di tingkat global, negara-negara, lembaga, dan organisasi internasional mengambil peranan dan menggiatkan kepedulian untuk mengatasi hal ini.
Di balik berbagai wacana dan aksi-aksi penanganan serta respons terhadapnya, setidaknya ada tiga asumsi yang mendasari tentang kemiskinan. Pertama, negara miskin menjadi miskin karena tidak memiliki sumber daya, terutama sumber daya alam (natural resource). Dalam konteks Indonesia, asumsi ini jelas tidak bisa diberlakukan. Kekayaan alam kita melimpah baik di daratan maupun di lautan, termasuk yang terkandung di dalamnya. Kedua, proyek pengurangan kemiskinan diberikan kepada pemerintah negara miskin melalui proyek-proyek spesifik. Asumsi ini biasanya diwujudkan dalam bentuk (bantuan) infrastruktur. Pembangunan jalan, sarana/prasarana kesehatan dan pendidikan, adalah contoh-contoh di balik asumsi ini. Ketiga, prioritas bantuan di sektor-sektor pendidikan dan kesehatan sebab diyakini memiliki efek pengganda (multiplier effect) besar terhadap pembangunan ekonomi. Meski demikian, kemanjuran bantuan dan pinjaman dari negara atau lembaga donor menjadi bahan perdebatan para ahli dalam hal pengurangan angka kemiskinan.
Simultan dan Sinergi
Di antara semua instansi di daerah, Dinas Sosial yang terutama banyak berperan dalam program semacam ini. Melalui Kementerian Sosial RI, Dinas Sosial ini (atau semacamnya di daerah) menjalankan program-program pengentasan kemiskinan dari pemerintah pusat. Namun, seperti disebutkan di atas, ada saja kendala yang dihadapi dinas ini. Kewenangan kepala daerah untuk menggonta-ganti nakhoda di dinas ini termasuk salah satunya. Bagaimanapun, pemahaman tugas dan fungsi pokok seorang pimpinan atau dinas sangat menentukan implementasi dan hasil suatu program. Selain itu, dan ini juga ‘dikeluhkan’ Menteri Sosial RI, beberapa Dinas Sosial di daerah masih tergabung dengan dinas-dinas lainnya. Belum lagi masalah koordinasi lintas sektoral di antara instansi pemerintah. Meski lebih banyak berperan, Dinas Sosial tidak bisa ber-‘solo karir’ dalam menjalankan program-programnya.
Dukungan instansi pemerintah lainnya harus diberikan secara simultan bagi program-program kemiskinan. Pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, dan lain-lain oleh berbagai instansi berbeda harus dilaksanakan secara koordinatif secara riil. Secara konseptual, memang sudah dirancang sedemikian rupa. Implementasinya saja yang belum optimal. Memang ada kelompok kerja (pokja) yang melibatkan berbagai instansi, tetapi kadang tidak efektif. Lemahnya koordinasi dan rendahnya kesadaran atau komitmen terhadap suatu program termasuk penyebab tidak optimalnya pencapaian tujuan program.
Pentingnya pengaturan kelembagaan secara memadai dan dukungan struktur hukum bagi pencapaian kemakmuran, terutama bagi kaum miskin, menurut Prahald (2004) adalah hambatan bagi pembentukan modal lokal dan penggunaan pasar. Tidak hanya itu, tata kelola kaum miskin juga penting untuk penciptaan kemakmuran. Di sini diperlukan pemahaman mendalam tentang kaum miskin untuk dapat menemukenali dan memahami kalangan dengan baik sehingga kebangkitannya dapat diupayakan secara efektif dan efisien. Tanpa pemahaman ini, maka kita hanya menjalankan rutinitas, meneruskan program pemerintah pusat, dan menyibukkkan diri dengan utak-atik anggaran saja.
Kemiskinan Global
Dokumen UNDP (2016) terkait SDGs menggambarkan sejumlah lebih dari 700 miliar orang di dunia masih hidup di bawah garis ekstrim kemiskinan (US$ 1,90 per hari). Dokumen ini juga menyebut bahwa lebih dari separuh populasi dunia hidup di bawah piramida ekonomi (US$ 8 per hari).
Pada 2004, C.K. Prahald menunjuk sebanyak empat juta orang hidup di dasar piramida dengan penghasilan kurang dari US 2 per hari. “Merekalah orang miskin!” tulisnya. Prahal menggunakan Piramida Kemakmuran sebagai cara penggambaran distribusi kemakmuran dan kapasitas untuk menghasilkan penghasilan di dunia. Penduduk miskin Indonesia hingga Maret 2017 berjumlah 27,77 juta jiwa.
Kemiskinan bertalian, dan seringkali tumpang tindih, dengan dimensi lain kehidupan manusia. Orang miskin mengalami kesenjangan secara tumpang tindih, termasuk malnutrisi, sanitasi, penerangan, dan pendidikan. Masalah kemiskinan adalah dimensi lain dari kemiskinan. Perempuan di negara berkembang digambarkan menghabiskan banyak waktu untuk aktivitas rumah tangga dan subsistensi tak berbayar. Hanya sedikit waktu yang tersisia untuk aktivitas berkaitan apasar dan aktivitas remunerasi. Indeks Kemiskinan Multidimensional Global, yang menunjuk sebanyak 1,6 miliar orang di 108 negara (78 persen dari populasi dunia) diidentifikasi tercakup dalam kemiskinan multidimensional ini (UNDP, 2016).
Mengupayakan Kemakmuran
Serupa aksioma tentang pembangunan, bahwa pada tujuan pembangunan pada akhirnya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Karena itu, semua program atau kegiatan pembangunan merupakan proses-proses untuk mencapai tujuan itu. Sayangnya, dalam pergulatan menuju tujuan itu, ada saja kendala yang dihadapi. Mulai dari yang sifatnya personal hingga institusional.
Pengelolaan anggaran untuk program pengentasan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung, tidak jarang dilakukan sesuka hati individu penentu kebijakan. Misalnya, bantuan sarana produksi tertentu sasarannya ditentukan berdasarkan kedekatan pertemanan, ketetanggaan, atau kekerabatan. Mereka yang benar-benar membutuhkan, sebab jauh dari kepemilikan modal-modal sosial tadi, menjadi abai dari hak yang seharusnya diperoleh.
Secara institusional, instansi pemerintah yang berhajat pada kemaslahatan hidup kaum miskin ini kerap berjalan ‘maju mundur’, ragu-ragu, setengah hati. Apalagi jika itu program dari Pemerintah Pusat. Kewenangan berjenjang antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah (kabupaten/kota) kadang saling ‘tangkap-lepas’ tanggung jawab. Umumnya persoalan anggaran yang menjadi pokok kekusutannya.
Berdasarkan serpihan pandangan di atas, beberapa hal dapat dilakukan dalam kerangka pengentasan kemiskinan untuk mengupayakan kemakmuran. Pertama, pentingnya data tentang kemiskinan, misalnya jumlah orang miskin, persepsi tentang kemiskinan, efektivitas program, dan lain-lain. Tersedianya data yang luas dan mendalam, baik kuantitatif maupun kualitatif akan sangat membantu program atau proyek pengentasan kemiskinan. Riset-riset sosial budaya di sini sama pentingnya dengan survei-survei statistik kemiskinan. Kedua, alternatif program/proyek berbasis lokal. Kemiskinan, betapa pun memiliki gejala universal, tetapi pengalaman-pengalamannya tetap unik dan lokal. Pandangan ini memandang kemiskinan sebagi fenomena yang erat terpaut secara kultural dengan masyarakatnya. Berdasarkan data dan informasi inilah bisa dirintis dan dikembangkan program-program kreatif. Ketiga, perlunya komitmen dan integritas para pihak yang terlibat dengan program-program penanggulangan kemiskinan. Pihak-pihak dimaksud termasuk pemerintah, masyarakat, organisasi masyarakat, swasta, dan lain-lain. Keempat, menggiatkan koordinasi lintas sektor di antara instansi pemerintah yang memiliki keserupaan program yang bermuara pada upaya penanggulangan kemiskinan. Apapun alasannya, pemerintah memiliki kewajiban untuk memakmurkan rakyatnya. Karena itu, mereka harus menundukkan ego sektoral yang mengarahkan tindakan parsial di antara mereka.
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 5 Oktober 2017.