Robohnya Mercusuar Di Kadato Ternate: Adat Se Atorang, Masihkah Dipatuhi?

Editor: The Tebings author photo
Irfan Ahmad
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)

Tarian legu, adalah tarian sakral yang hanya bisa dipentaskan dalam lingkungan keraton (kedaton; kadato) Ternate. Dahulu, acara legu dilakukan untuk mengkritisi dan memberi masukan pada sultan Ternate melalui dolabolo yang diiringi dengan tarian legu. Legu akan dilakukan bila alam tidak lagi bersahabat. Dengan demikian selain tarian legu –  yang sakral – di dalam digelar juga berbagai ritual, antara lain doru gam, kololi kie dan fere kie. Semuanya dipusatkan di di dalam kadato Ternate. Tahun 2002, Keluarga kadato yang terdiri dari Bangsa, Soangare, Ngofa se Dano-sano dan Bala Kusu se Kano-kano menyatukan persepsi untuk melaksanakan ritual legu dengan konsep Legu Gam  yaitu “pesta rakyat”. Meskipun awalnya hanya  dipusatkan di pandopo, seiring berjalannya waktu, Legu Gam keluar hingga ke sonyie lamo. Ini dilakukan untuk mempertemukan keluarga kerajaan Ternate berbaur dengan bala kusu se kano-kano di Maluku Utara. Pelaksanaannya dilakukan  bertepatan dengan hari lahirnya Sultan Mudaffar Sjah yang lahir pada 13 April 1935. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Legu Gam juga bagian dari manifestasi kecintaan rakyat terhadap sultan dengan menampilkan berbagai aktraksi kebudayaan. Gagasan tersebut adalah sebagai bentuk strategi Kesultanan Ternate mempertemukan berbagai etnik yang berada di Maluku Utara, yang kala itu baru saja usai dirundung konflik horizontal pada akhir 1999. 

Memori Legu Gam
Sejak awal pergelaran festival Legu Gam selalu menggunakan ikon goheba dopolo romdidi, kadato, dan sonyie lamo. Ini  seakan mempertegas kembali representasi kesultanan Ternate sebagai benteng kebudayaan di wilayah Moloku Kie Raha. Legu Gam merupakan upaya pelestarian khasanah budaya lokal dan menjadikan wahana pembelajaran bagi masyarakat Moloku Kie Raha untuk mengenali serta memahami keberagaman budaya dan etnik di Maluku Utara. Cak Nun, pada 2011, pernah mengemukakan bahwa “Ternate harus menjadi garda terdepan kebangkitan kebudayaan Nusantara untuk negara Indonesia.” Tahun 2018 Maluku Utara mendapatkan empat event nasional dari Kementerian Pariwisata RI. Salah satu di antaranya adalah festival Legu Gam.  

Festival Legu Gam 2018 mengangkat tema "Sultan Mudaffar Sjah: Ternate Mercusuar Indonesia, Indonesia Mercusuar Dunia". Tema ini diambil untuk lebih mempertahankan posisi Ternate yang sudah terkenal dengan adat dan budaya. Tapi hati kembali miris manakala kita membaca berita, sebagaimana diwartakan harian Malut Pos edisi 28 Februari 2018 bahwa: “Legu Gam terancam tak dilaksanakan, akibat dualisme kepanitiaan. Bahkan, batas waktu yang diberikan oleh Kementerian Pariwisata untuk berembuk, sampai saat ini belum ada titik temu”. Tampaknya, event yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Maluku Utara terancam tidak mendapatkan kucuran dana oleh pihak terkait. Meskipun demikian, beberapa hari belakangan tampaknya panitia dari kedua kubu masing-masing bersikukuh untuk menyelenggarakan Legu Gam di dua tempat berbeda. Satu event di dua tempat digelar dalam satu masa!

Bila benar pemberitaan di media cetak dan media online tentang dualisme kepanitiaan telah terjadi, maka harapan besar dari (alm) Mudaffar Sjah (2008) “Cintailah Adat Se Atorang dalam Membangun Maluku Utara”, semuanya sirna. Falsafah  Adat Se Atorang yang memiliki makna adat beserta aturannya, juga tinggal kenangan manis. Masyarakat adat yang dahulunya dibayangkan menguat eksistensinya oleh Mudaffar, “Masyarakat Adat dan Perumusan Negara: Strategi Penguatan Kelembagaan Adat dalam Regulasi Daerah”, hilang begitu saja. Harapan itu pergi seolah mengikui mendiang Sultan Madaffar Sjah sejak mangkatnya pada 19 Februari 2015 silam. Legu Gam seharusnya menjadi momen penting bagi masyarakat Maluku Utara. Eksistensi Legu Gam merupakan bagian dari kepedulian putra-putri daerah untuk mengenali dan mengembangkan warisan budaya lokal. Dengan demikian Legu Gam bukan semata tugas panitia penyenggara saja, melainkan tangung jawab segenap unsur masyarakat dan pemerintah. 

Dualisme
Perlu diketahui bahwa eksistensi Kesultanan Ternate sejak abad XVI sampai di awal abad XX juga tidak terlepas dari kisah-kisah perpecahan dalam kesultanan. Hal ini misalnya dapat dilihat ketika penobatan Sultan Tabariji. Persilisihan antara Tabariji dan Nyai Cili Nukila versus Khairun. Bahkan hal yang terpuruk yang dialami oleh Kesultanan Ternate, ketika Sultan Tabariji mengeluarkan akta hibah untuk menyerahkan Pulau Ambon, Buru, Seram dan pulau-pulau sekitarnya kepada Jordao Freitas. Semenjak kedatangan Portugis (1512), VOC (1606), dan berlakunya Pemerintah Residen Ternate (1866) intrik politik secara dominan dipengaruhi oleh orang Eropa. Campur tangan ini bahkan merasuk hingga urusan pengangkatan/pergantian sultan di Karesidenan Ternate yang harus mendapat restu dari mereka. Tobias (1857) dalam Memorie van Overgave mengatakan bahwa pihak Pemerintah Hindia Belanda tidak saja mengintervensi ranah ekonomi, melainkan sampai pada tahap pemilihan dan pengangkatan sultan dan pejabat kesultanan Ternate. 

Hal yang sama juga tercatat dalam Memorie van Overgave milik  Residen Bossser (1859) yang mengungkap keputusan tentang siapa yang menggantikan sultan Ternate dan Tidore bila sultan mangkat, suatu saat nanti. Arsip bersifat rahasia milik residen dikatakan hingga dua bundel jumlahnya.

Tahun 1966 Mudaffar, salah seorang anak Sultan Mohamad Jabir Syah, datang ke Ternate. Masyarakat adat mendatangi Mudaffar yang dianggap sebagai pewaris tahta diminta untuk  melakukan pemulihan adat di Kesultanan Ternate. Tahun 1967, ketegangan kembali melanda kesultanan Ternate. Mudaffar memecat Hi. Noh Badi sebagai pemimpin Komisi Empat (Komisi Ampat). Komisi Ampat dibentuk oleh jogugu, kapita laut, hokum Soa Sio, dan hokum Sangaji. Pada saat bersamaan sultan mengangkat Komisi Ampat yang baru yaitu Hi Din, salah seorang sepupu Hi Noh Badi, sebagai jogugu sekaligus pemimpin. Di tahun 1968 perlawanan muncul pada titik tertinggi. Kedua kubu yang berhadapan Hi Noh Badi dan Mudaffar menyebutkan dalam penempatan Sigi Heku di tahun ini terdapat perubahan kepengurusan tradisional di dalam Sigi (Fraassen, 1987).

Setelah mangkatnya Sultan Mudaffar Sjah, situasi carut-marut di dalam Kesultanan Ternate kembali mencuat. Situasi semakin tidak terkendali. Ketegangan dipicu oleh pengangkatan Sjarifuddin Sjah, kakak kandung mendiang Sultan Mudaffar Sjah. Ia dilantik sebagai Kolano Masoa, yakni Pelaksana Tugas Sultan di masa kekosongan kekuasaan Kesultanan Ternate. Pengangkatannya dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bobato 18 Kesultanan Ternate Nomor 03/Bobato 18/IX/2016 tentang Penetapan dan Pengangkatan Kolano Masoa Kesultanan Ternate. Dengan diangkatnya Kolano Masoa, maka Bobato menganggap prosesi pemilihan sultan yang tengah digelar anak-anak mendiang Mudaffar Sjah dengan sendirinya gugur. Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Bobato 18 Kesultanan Ternate Nomor 04/BOBATO 18/IX/2016 tentang Pembatalan Ritual Pengangkatan Sultan Kesultanan Ternate. Sejak saat itulah dualisme kepemimpinan dalam Kesultanan Ternate muali dan terus bergejolak hingga saat ini. 

“Perpecahan” di dalam Kesultanan Ternate terus berlanjut dan menghasilkan dua kubu yang saling berlawanan. Atau setidaknya, saling mengklaim keabsahan masing-masing pihak tentang legalitasnya sebagai pendaku kuasa legal di dalam kesultanan. Perpecahan berimplikasi pada aktivitas di luar keraton. Salah satunya, dan sedang hangat disaksikan perdebatan dan saling-klaimnya adalah Legu Gam. Untuk pelaksanaanya pada 2018 ini, kepanitiaan Legu Gam ada dua, dan masing-masing ingin menyelenggarakan sendiri event ini. Satu pihak di sonyie lamo, sedangkan pihak lainnya  akan menggelar di kawasan Benteng Oranje. 

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ‘perselisihan’ yang terjadi di kalangan internal Kesultanan Ternate, sebenarnya bukan hal yang baru. Hajatan Festival Legu Gam  2018 hanyalah satu bentuk terkini dari pertentangan internbal itu – Legu Gam sendiri bisa dikatakan sebentuk dampak ikutan dari pertentangan sebelumnya.   Meski begitu, sebagaimana sejarah telah membentangkan kepada kita banyak pelajaran, selau ada jalan leluar (solusi) dari setiap persoalan yang melanda kesultanan Ternate. Selalu ada akhir, sebagai solusi, yang bijak yang menuntut semua pihak menenggang rasa dan berbesar hati untuk menyelamatkan salah satu pusat tradisi dan budaya di bumi moloku kie raha ini. 

Dengan demikian, perselisihan di Kesultanan Ternate seharusnya tidak terjadi dan melahirkan dualisme dari “dalam” hingga pada terbentknya kepanitiaan pada festival Legu Gam yang telah terdaftar pada sebagai even nasional. Sudah saatnya kedua kubu menahan diri dan berdamai demi Kesultanan Tenate sesuai dengan cita-cita Almarhum Mudaffar Sjah yang menginginkan Ternate menjadi Kesultanan yang dikenal Indonesia dan Dunia seperti yang terjadi pada dua abad sebelumnya. Semua pihak semestinya bersama-sama mencari solusi yang terbaik agar “Ternate mercusuar Indonesia, Indonesia Mercusuar Dunia” tercapai melalui Festival Legu Gam tahun ini dan yang akan datang. Jangan hanya karena sebuah kepentingan pihak tertentu,  Kesultanan Ternate yang kita banggakan akhirnya dicitrakan secara kurang baik di mata masyarakat atau bala kusu se kano-kano. Mari berdamai. Semaraklah Legu Gam dalam semangat kearifan dan perdamaian untuk sejarah dan masa depan yang gemilang!

****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 12 Maret 2018

Share:
Komentar

Terkini