Irfan Ahmad
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)
Penemuan gigi hiu prasejarah bukanlah pertama kalinya di Morotai. Gigi hiu dengan ukuran besar yang ditemukan oleh masyarakat diduga jenis hiu Megalodon. Dugaan tersebut, karena gua Daeo, Morotai merupakan salah satu gua prasejarah. Selain itu, belum ada kajian secara khusus oleh para peneliti maupun pihak terkait. Bila benar jenis Megalodon, maka ikan tersebut dipercaya hidup di lautan 20 juta tahun lalu dan para ilmuwan meyakini Megalodon telah punah 2,6 hingga 3 juta tahun yang lalu. Para peneliti percaya bahwa hewan purba dari laut ini memangsa kura-kura dan paus, yang dapat dengan mudah ia bunuh dengan rahang yang sangat kuat yang sanggup meremukkan sebuah mobil. Alasan kepunahan dari hiu itu masih tidak diketahui, namun para pakar telah berspekulasi bahwa Megalodon tidak mampu beradaptasi saat suhu samudera di Bumi mengalami penurunan (baca Megalodon).
Potensi Cagar Budaya
Kamis malam (11/7), Saya mendapat pemberitahuan melalui facebook, hasil dari diskusi beberapa hari yang lalu. Seseorang mengunggah gigi dan tulang ikan hiu prasejarah yang ditemukan di gua Daeo, Morotai. Beberapa saat kemudian, saya segera menelpon dan menanyakan keberadaan benda tersebut. Menurut keterangan, temuan tersebut telah di bawa ke rumah untuk diamankan di rumah warga. Mendengar kabar itu saya amat senang, di sisi lain saya juga sedih karena proses pemindahan tidak sesuai dengan prosedur. Padahal situs prasejarah itu penting untuk melihat konteksnya dengan temuan kebudayaan yang ada di sekitar temuan tersebut, serta hubungan antara pembentukan gua dan situs tersebut.
Dalam pengamatan saya dilapangan. Sebagian besar peninggalan prasejarah sampai Perang Dunia II, kelihatannya belum ada perhatian serius oleh pihak yang terkait. Baik itu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Morotai dan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara. Kenapa, karena sejauh ini sebagian besar cagar budaya tidak terdapat papan informasi untuk mencegah kerusakan dan pengambilan atau memindahkan situs yang tidak sesuai prosedur kerja.
Perlu diketahui bahwa wilayah Maluku Utara menonjolkan fenomena yang sangat menarik karena, dari segi zoogeografi wilayah Maluku Utara merupakan wilayah transisi antara dua lini fauna, yakni wallace dan weber, (Belwood, 1978). Sementara dari segi geokultural, Maluku Utara merupakan lintasan strategi migrasi-migrasi manusia purba dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, Oceania dan terus ke arah Timur, (Shulter, 1975). Maluku Utara sebagagaimana diketahui, telah ramai digunakan dan aktif dilalui sejak zaman purba. Jalur pelayaran yang menghubungkan dari Cina dan “negeri di atas angin”. Sebelum kedatangan bangsa Austronesia, wilayah Indonesia secara mayoritas telah dihuni oleh populasi Austro-Melanesia. Nenek moyang Australo-Melanesia, yang telah muncul di wilayah kepulauan ini setidaknya sejak 50.000 tyl. Kemudian dengan bersamaan munculnya pola susbsistensi bercocok tanam, wilayah Indonesia mulai di gantikan oleh populasi Mongoloid selatan (Austronesia). Sedangkan populasi Austro-Melanesia berangsur-angsur terdesak ke arah Timur dan wilayah tersebut dinamakan Melanesia baru, (Bellwood, 2000).
Kawasan Maluku Utara memiliki banyak situs yang berpotensi untuk membantu mengungkapkan berbagai asumsi mengenai migrasi kelompok Austro-Melanesia. Oleh Blust (1979), tanah asal keluarga Austronesia berasal dari Taiwan dan penutur Melayu-Polinesia purba yang migrasi yang dilakukan 4.000 tahun silam ke arah selatan pertama ke kepulauan Filipina dan melanjutkan perjalanan hingga ke Maluku Utara (Collins, 2016). Di kawasan Maluku Utara, bukti awal mengenai kedatangan spesies manusia modern muncul sejak Kala Plestosen Akhir dan Awal Holosen, yang ditemukan di gua pantai Golo (32.000 BP), Um Kapat Papo (7000 BP) dan Buwawansi (9000 BP) di Pulau Gebe, selain itu juga Daeo 2 (15000 BP) dan Tanjung Pinang (9000 BP) di Pulau Morotai, dan Gua Siti Nafisah (5.500 BP) di Pulau Halmahera (Bellwood, 2000). Tinggalan dari fase budaya tersebut juga merupakan jejak keberadaan populasi Australo-Melanesid (pra-Austronesia) di Maluku Utara. Dengan demikian Maluku Utara memiliki kistimewaan tersendiri karena sebagai zona pertmuan dua keluarga besar. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya kapak lonjong dan beliuang persegi.
Peran Pemrintah dan Masyarakat
Dua tahun terakhir, saya sering ke pulau Morotai dan melihat tinggalan-tinggalan Perang Dunia II. Bahkan saya pernah menemukan beberapa kuburan sekutu yang telah di galih oleh orang yang tidak tidak paham untuk mencari besi puti. Beberapa tinggalan memang tidak ada papan informasi, mungkin karena belum terdaftar sebagai situs. Padahal beberapa bulan lalu, saya dilibatkan oleh Pemerintah Morotai sebagai anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Pulau Morotai. Tampaknya ini hanya omong kosong, karena sejauh ini belum ada pertemuan Tim TACB, apalagi kerja untuk mendata Cagar Budaya.
Beberapa informan yang saya temui dilapangan, mengungkapankan bahwa situs dan artefak gua Daeo belum di data oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Maluku Utara dan ini sangat disayangkan. Padahal mereka yang berkecimpun di dunia Arkeologi dan mereka yang pernah belajar prasejarah di Indonesia bahkan Asia Tenggara mengetahui keberadaan situs Daeo di Morotai. Dengan demikian seharusnya situs tersebut telah di data dan dilestarikan.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa data gua hunian pra sejarah di Provinsi Maluku Utara, sebarannya sangat banyak dan sangat penting untuk penetahuan. Namun sangat disayangkan, banyaknya tinggalan prasejarah tidak berbanding lurus dengan informasi kronologis mereka yang mendiami wilayah tersebut. Seharusnya situs gua prasejarah di Daeo dan Maluku Utara pada umumnya sudah dilindungi oleh instansi terkait, baik pusat ataupun daerah. Sayang sejauh ini belum ada upaya upaya ke arah itu.
Padahal dalam UU No. 11/2010 tentang Cagar Budaya menitikberatkan pelestarian cagar budaya secara otonomi oleh pemerintah kabupaten/kota. Undang-Undang ini juga mengamanatkan masyarakat untuk mendaftarkan koleksi dan properti pribadi yang berpotensi ditetapkan sebagai cagar budaya kepada pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pemerintah daerah yang memiliki Tim Ahli Cagar Budaya bersertifikat untuk menetapkan cagar budaya dan mengusulkan agar pemerintah menyelenggarakan Kampanye Pelestarian Cagar Budaya dengan menggunakan konsep kampanye kesadaran masyarakat.
Pemerintah terkait seharusnya mengajak partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian warisan budaya merupakan salah satu prioritas yang harus tercapai dalam setiap kegiatan pemanfaatan benda cagar budaya yang berwawasan pelestarian. Upaya pelestarian yang dilakukan haruslah berdampak pada meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya keberadaan bangunan-benda cagar budaya. Serta melaksanakan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang cagar budaya, seperti yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsi Balai Pelestarian Cagar Budaya.
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 29 April 20119