(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)
Di masa lalu banyak pamali atau larangan-larangan yang menurut logika modern dianggap tak masuk akal atau bahkan takhayul. Pamali atau larangan-larangan tersebut biasanya disertai dongeng atau cerita-cerita tradisi yang berkaitan dengan situasi alam lingkungan atau peninggalan yang secara nyata memang ada. Sehigga cerita tersebut seolah fakta tentang kejadian, keadaan atau nama suatu daerah. Karena cerita itu aneh maka alam pikiran modern menamakan cerita semacam itu dongeng, fiksi atau kisah hasil rekaan manusia, meski terkadang dipercaya oleh masyarakat sebagai kenyataan kerena kedekatan dengan kenyataan yang masih ada peninggalannya. Padahal dongeng tradisi yang diciptakan oleh nenek moyang, biasanya memiliki substansi yang dalam, berkaitan dengan upaya menjaga kehidupan malapetaka karena perilaku manusia. Dongeng tradisi bukanlah takhayul tapi gaya penceriataan yang harus diurai dan dianalisis untuk mendapatkan substansinya.
Sering dongeng-dongeng untuk melindungi sesuatu atau menghindarkan masyarakat dari malapetaka, dibuat sangat menakutkan dan diakhiri dengan larangan-larangan yang kemudian menjadi pamali dengan akibat kualat bagi pelanggarnya. Bukan mustahil ceritera itu diciptakan dengan struktur demikian karena dalam kenyataannya sering akibat tersebut terjadi jauh lebih mengerikan dari apa yang disajikan dalam dongeng. Misalnya larangan untuk menebang pohon-pohon di hutan. Larangan itu disertai dengan ancaman bahwa yang berani menebang pohon-pohon itu akan mengalami kecelakaan karena penunggunya marah. Ketika pohon-pohon itu tetap ditebang, dan hujan datang bukan hanya penebang pohon yang mengalami kecelakaan, melainkan hampir semua penduduk yang hidup di sekitar hutan tersebut ikut mendapatkan musibah seperti longsor dan banjir.
Siapapun boleh tidak percaya atas rangkaian kisah dalam dongeng atau kepercayaan dalam ritual adat tetapi mencari substansi dan nilai-nilai yang terkandung di balik dongeng atau adat istiadat itu yang paling utama. Karena substansi dan nilai-nilai tersebut biasanya memiliki fungsi yang kemanfaatannya tetap dibutuhkan di masa kini dalam rangka menyelamatkan manusia dari kutukan alam dan lingkungan yang dirusaknya.
Sistem kepercayaan terhadap lingkungan alam sesungguhnya bukanlah kethayulan atau religi belaka tetapi lebih merupakan sistem pengetahuan atau sistem nilai untuk beradaptasi dengan lingkungan alam sekitarnya, untuk menjelaskan segala yang nyaris tidak terjelaskan oleh ilmu modern sekalipun. Sistem pengetahuan seperti ini dapat ditemukan disetiap gunung dan hutan di dunia tentang variannya sesuai dengan tradisi atau kebudayaannya. Dengan kata lain, jenis kebudayaan yang dapat dikembangkan masyarakat tertentu akan dipengaruhi oleh lingkungan mereka, sama seperti cara manusia beradaptasi dengan lingkungan akan dipengaruhi oleh kebudayaan mereka. Sehingga, masyarakatpun dilarang untuk menebang pohon-pohon disekelilingnya. Dalam perkembangannya, kebudayaan serupa dapat kita pertahankan guna menjaga ekosistem lingkungan sekitar.
Kebudayaan merupakan suatu sistem gagasan yang memuat antara lain sistem nilai yang mengatur hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, lingkungan alam, dan adikodrati/supranatural. Oleh karena itu, hal yang paling penting dalam hubugan penduduk dengan lingkungannya adalah sarana keseimbangan. Masyarakat kita diajarkan bukan untuk menguasai alam sekitarnya, tetapi bagaimana menyesuaikan dirinya dengan kehidupan alam yang serba gaib dan menitikberatkan bagaimana menjaga keselarasan atau harmoni dengan lingkungan. Pelanggaran terhadapnya dengan menempati tempat yang tidak semestinya akan menyebabkan keguncangan kosmos. Dengan mengadakan ritual dan sesajian, membaca mantra dan doa-doa, berjiarah ke mahkam-mahkam leluhur yang berpangkal pada sistem kepercayaan tradisinal masyarakat, maka keselarasan kosmos akan terjaga dan pulih kembali. Jadi kebanyakan dari masyarakat Indonesia mengalami alam sebagai tempat kesejahtraan, yakni manakala hidupnya bergantung dari keberhasilannya dalam menyesuaikan diri dengan kekuatan-kekuatan gaib atau angker yang ada disekelilingnya.
Hal menarik yang dapat kita simpulkan untuk menunjukkan kebenaran adanya kekuatan gaib yang bersumber dari kepercayaan masyarakat akan tempat-tempat karamat adalah ritual yang dilakukan dalam sebuah masyarakat tersebut. Dapat disimpulkan pula bahwa, masyarat tersebut mempercayai keraton makhluk gaib tempat tinggal para roh leluhur. Mereka juga merupakan tempat penantian bagi roh yang selama hidupnya telah berbuat kebajikan. Segala aktivitas lingkungan berkaitan erat dengan alam adikodrati. Sistem kepercayaan terhadap lingkungan memberikan kesadaran kepada masyarakat setempat bahwa di dalam alam semesta terdapat kekuatan-kekuatan adikodrati tempat mereka berpartisipasi dan ikut menghayati kekuatan-kekuatan tersebut. Singkatnya, sistem kepercayaan terhadap lingkungan digunakan masyarakat setempat sebagai kerangka landasan untuk beradaptasi, atau sebagai pedoman hidup dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam berinteraksi dan mendayagunakan sumber daya alam dan berinteraksi dengan alam adikodrati.
Kepercayaan terhadap lingkungan alam, termasuk di dalamnya mitos dan ritual, berfungsi membantu dan mendukung nilai-nilai mendasar untuk bersikap dan bertindak terhadap ekosistem lingkungan alam tersebut. Sistem kepercayaan ini juga berfungsi membantu dan menjamin pelbagai penjelasan kepada masyarkat setempat, khususnya mengenai hakikat kehidupan dan ekosistem lingkungannya yang mereka hadapi sehari-hari.
Mengenai perbedaan persepsi dan kepercayaan masing-masing pihak menyebabkan terjadinya pertentangan antara masyarakat modern dengan pemilik budaya tersebut juga pemerintah dalam hal ini untuk menguasai, mengkonsumsi dan mengalokasikan sumber daya alam. Sikap dan tingkah laku masyarakat setempat lebih diwarnai dengan pengetahuan tradisional yang tersimpan dalam sistem kepercayaan mereka. Sedangkan, pihak pemerintah dan masyarakat modern cenderung didasarkan pada studi lingkungan yang bersifat preventif, yaitu berusaha menekankan pada jumlah korban dan kerugian bencana alam. Sikap ini dapat kita nilai sebagai sifat yang lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik transmigrasi dan ekonomi nasional.
Dongeng tradisi semacam ini sungguh-sungguh memiliki nilai-nilai luhur bagi kehidupan. Apalagi dongeng-dongeng tradisi tersebut diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari justru sangat relevan di zaman sekarang ini. Di mana orang sudah tidak saling peduli lagi dan semena-mena pada kehidupan dan seluruh alam lingkungannya. Sayangnya pendidikan tidak pernah menangkap substansi dongeng-dongen tradisi semacam ini. Kalau dongeng ini diceritakan di muka kelas siswa-siswi sekolah dasar, dan hanya sampai pada keunikan dan keajaiban dongeng-dongeng tradisi tersebut, sementara substansi tidak pernah didiskusikan dan dianalisis bersama, dongeng itu kecil manfaatnya. Tetapi apabila pemikiran siswa-siswi dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada nilai-nilai dan persoalan sosial yang ada hubungannya dengan dongeng itu dan terjadi di sekeliling mereka, maka dongeng tradisi tersebut menjadi sangat besar manfaatnya. Pendidikan di negeri ini tidak pernah menghargai kekayaan apapun yang dimilikinya dan mendudukkannya pada porsi yang layak sehingga negeri lain juga menghormati. Yang terjadi adalah bahwa semua kekayaan di negeri ini kemudian diperas dan dieksploitasi menjadi uang. Uang dan materi adalah segala-galanya. Sementara kehormatan dan rasa malu boleh ditinggalkan.
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada laman, Opini Malut Pos, 27 September 2019