Wildan Andi Mattara
(Pengajar Satra Indonesia FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings)
Di rumah, aku baru saja selesai membaca materi pelajaran yang diajarkan guruku di sekolah. Aku begitu, selalu belajar sebelum ke pantai bermain bersama teman-temanku. Aku ingin ilmu yang diajarkan guruku bermanfaat pada semua mahluk. Aku tutup buku pelarajaranku dan menyimpannya dengan rapi di atas meja belajarku. Aku begitu, selalu menyimpan barang-barangku dengan rapi, agar tidak bingung mencarinya jika diperlukan.
Hari sudah sore. Dari dalam rumah, aku dapat mendengar suara teman-temanku. Dari suaranya, aku bisa pastikan yang bermain di pantai, Sudin, Mail, dan Budo. Mendengar suara teman-temanku, aku tidak sabar ikut bermain.
“Fikran, kenapa kamu terlambat ke pantai?”, tanya Sudin melihat kedatanganku.
“Aku belajar dan bantu ibu,” jawabku.
Teman-temanku senang. Kedatanganku menggenapkan tim permainan sepak bola plastik menjadi dua tim. Sekarang permainan berimbang, dua orang lawan dua orang.
Aku dan Sudin saling berebut bola. Sementara asyik bermain bola, ada seekor burung terbang rendah dan melintas di atas kami.
“Burung lepas!” seru Mail melihat burung kakak tua di udara.
“Mana burungnya?”
“Itu, hinggap di pohon cengkih,” sambung Budo menunjuk ke ranting pohon.
Permainan terhenti. Aku dan teman-temanku menuju ke pohon cengkih, tempat burung kakak tua bertengger. Aku melangkah lebih dekat untuk memastikan.
“Benar, teman-teman. Burung kakak tua itu terlepas dari sangkarnya. Lihat, di kakinya masih menggelantung rantai tembaga,” kataku menunjuk.
Angin bertiup dari arah laut, dahan pohon cengkih terayun. Bertengger tidak nyaman, burung kakak tua mengepakkan sayapnya. Tapi, ia tidak bisa terbang. Tembaga yang mengikat kakinya tersangkut di ranting pohon. Sekuat tenaga ia kepakkan sayap, tapi usahanya tetap saja sia-sia. Ia tetap tidak bisa terbang. Kakinya tetap tersangkut. Kehabisan tenaga, burung kakak tua tergantung lemas di atas pohon. Kepalanya melorot ke bawah.
Ditimpa musibah dan sedang dalam kesusahan, burung kakak tua berharap ada orang datang menolong. Tapi, melihat manusia ada di bawah pohon cengkih, ia malah ketakutan. Ia takut ditangkap, diikat dan kembali dipenjara dalam rumah. Membayangkan dirinya kembali hidup menderita, burung kakak tua hanya bisa menangis di atas pohon.
Tidak bisa terbang, Sudin siap memanjat dan menangkap burung kakak tua. Tapi, Fikran lebih cepat melompat. Sudah berpegang pada pohon cengkih, kaki dan tangannya bergerak menuju ke atas. Berada di atas pohon ia sudah berhadapan dengan burung kakak tua. Melihat ada orang mendekat dan mengulurkan tangan, burung kakak tua berontak dan berusaha melepaskan diri.
“Jangan takut. aku tidak sama seperti manusia lainya. Manusia yang tega mengikat dan membuat kamu hidup menderita. Aku datang untuk menolong kamu,” kata Fikran setengah berbisik.
“Fikran, ayo cepat bawa turun burung itu!, seru Sudin ingin memiliki burung kakak tua yang sudah berada di tangan Fikran. “Berikan padaku. Biar aku yang pelihara di rumah.”
Mendengar suara Sudin di bawah pohon, burung kakak tua teringat tuannya. Tuan yang mengurungnya selama ini, suaranya persis sama dengan suara Sudin.
“Jangan dengar Sudin. Percaya padaku,” kata Fikran iba melihat burung kakak tua hidup menderita.
“Fikran, cepat serahkan padaku! Kalau sudah kujual kita berbagi hasil.” Mendengar permintaan Sudin, burung kakak tua kembali berontak. Tulang-tulangnya yang berkuat dan berusaha melepaskan diri dirasakan Fikran dalam genggaman tangan.
“Kamu tahu burung Kakak Tua? Rasa takut kamu pada Sudin sama dengan rasa takut aku di atas pohon. Aku tidak pernah memanjat. Aku takut pada ketinggian. Kalau aku jatuh, aku bisa mati. Tapi, aku rela pertaruhkan nyawa demi membebaskan kamu dari ancaman Sudin.”
Menyadari Fikran tulus menolong, burung kakak tua berhenti berontak. Fikran dapat merasakan dari detak jantungnya yang kembali berdetak perlahan dalam genggaman tangan. Burung kakak tua kembali tenang.
“Fikran, serahkan burung kakak tua itu padaku,” Terdengar suara Sudin melunak setelah Fikran turun dari atas pohon.
“Iya, Fikran. Serahkan saja burung itu. Nanti, Sudin yang pelihara. Di rumah Sudin banyak burung peliharaan yang siap dijual,” sambung Budo.
“Tidak bisa! Burung itu dilepaskan saja. Di alam bebas, kita bisa melihatnya terbang. Pagi dan sore, kalau bertengger di dahan pohon, kita juga masih bisa dengarkan ia bernyanyi. Iyakan, Fikran?”, tanya Mail menegaskan.
“Benar, teman-teman. Burung, kalau ditangkap dan dipelihara di rumah akan tersiksa.”
“Tidak mungkin! Berada di rumahku justru akan senang. Setiap hari aku selalu memberi makan dan minuman,” kata Sudin kesal. Ia tidak senang pada Mail dan Fikran selalu menghalangi keinginannya.
“Aku setuju. Berada di rumah Sudin, burung itu sudah tidak susah cari makanan,” sambung Budo tidak mau kalah.
“Dengar, burung sama seperti kita teman-teman.”
“Apa maksud kamu Fikran, hidup burung sama seperti manusia?”
“Kita dilarang bermain dan setiap hari hanya di rumah, teman-teman senang atau tidak?”
“Tentu saja tidak. Siapa yang suka dikurung dan dilarang bermain?”, tanya Sudin memandang satu persatu teman-temnnya.
“Seharian saja tinggal di rumah, badan kita terasa gatal, tersiksa dan tidak nyaman,” sambung Budo sambil menertawakan Fikran dan Mail.
“Burung juga seperti itu. Kamu tangkap dan ikat di rumah, ia akan tersiksa. Sebab, ia tidak bisa terbang dan bermain di alam bebas.” Fikran menghampiri Budo dan Sudin. “Seperti burung, kita juga sudah tidak bisa bermain di pantai. Sebab, kita dikurung dalam rumah.”
“Kalian pilih yang mana, bermain di pantai atau suka dipenjara dalam rumah?”, tanya Mail kepada Sudin dan Budo.
Sudin dan Budo terdiam. Di bawah pohon cengkih yang tidak jauh dari pantai mereka baru tahu, memelihara burung di rumah perbuatan tidak terpuji.
Siapa saja yang suka pelihara burung di rumah, mereka itu, orang-orang yang suka menyiksa binatang. Kita harus mencintai binatang dengan memberi kebabasan terbang. Dengan begitu,. burung akan hidup senang dan gembira. Memberi kebebasan pada burung, berarti kita sudah ikut melestarikan kehidupan burung di lingkungan kita. Diberi penjelasan, Sudin dan Budo sadar.
Fikran melepas rantai yang melingkar di kaki burung kakak tua dan menyerahkan kepada Sudin. DI pantai, Sudin bersama teman-temnnya kemudian melepas burung kakak tua ke alam bebas.