![]() |
Lihat Profil Andi Sumar Karman (Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti di Yayasan The Tebings) |
Di masa pandemi Covid-19, kehidupan normal bergeser ke bentuk normal yang lain. Sudah berbulan-bulan wabah ini melanda umat manusia di berbagai belahan dunia. Virus yang pertama kali dideteksi di Wuhan pada Desember 2019 ini. WHO melaporkan bahwa hingga April 2019 terdapat sebanyak 2 juta kasus. Sebanyak 195.755 orang meninggal dunia. Mereka mencakup 210 negara dan wilayah, termasuk Indonesia.
Hingga Mei 2020, di Indonesia saja diberitakan terdapat sebanyak 20162 kasus Covid-19. Korban meninggal menjadi 1278 jiwa dan 14046 dalam perawatan.
Semula orang menyepelekannya. Kasus dan korban terus meningkat. Dari yang semula ditanggapi dengan gurauan, lalu menjadi serius. Yang tak siaga menjadi kalang kabut. Kepanikan menyebar, betapa pun upaya menenangkan warga datang dari berbagai arah dan dengan berbagai cara.
Debat tentang kematian—apapun penyebabnya—terus berseberangan antara pandangan iman dan akal sehat. Sudah tentu, mereka yang merasa dekat dan menjalankan perintah Tuhannya tak peduli pada ancaman apa pun. Sementara mereka yang rasional menfasir fenomena dengan akal sehatnya. Ia mengoptimalkan kerja akal dari pemberian Tuhannya.
Kepatuhan dan kecerobohan memang kerap memantik pertentangan.
Antivirus belum ditemukan, meski penelitian di laboratorium terus dilakukan. Upaya memutus rantai penyebaran virus ini melibatkan kebijakan pemerintah dari tingkat pusat hingga daerah. Salah satunya melalui penerapan PSBB, kependekan dari Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kehidupan sosial sehari-hari berubah. Hanya tenaga kesehatan yang terus bekerja di tempat biasanya, meski melampaui batas normal sewajarnya.
Perjumpaan secara langsung, bertatap muka, sembari menjabat tangan dan cium pipi, tak lagi menjadi satu-satunya simbol keintiman. “Bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah” menjadi imbauan resmi. Aktivitas luar rumah dan bersama-sama orang banyak dibatasi. Perjumpaan berbasis internet makin masyhur, penting dan utama. Mulai dari pertemuan yang serius hingga yang sekadar mengatasi kejenuhan sebab terbatas keluar rumah. Begitu juga dengan media sosial.
*
“Hai, apa kabar?” Gawai Melani bergetar dan berdering. Sebuah pesan menyapa di salah satu akun media sosialnya. “Hmmm… Siapa ya?” gumamnya sambil melihat profil orang pengirim pesan itu. Hanya teman sesama SMA rupanya. Masa-masa sekolah yang telah berlalu puluhan tahun itu. Perbincangan permulaan ini menjadi awal bagi perbincangan selanjutnya.
Tak ada yang mendalam saat itu dalam hal topik pembicaraannya. Hanya beberapa informasi dasar. Misalnya bekerja di mana, berapa lama, dalam bidang apa. Berusaha saling menjaga dan mengendalikan diri agar tak melampaui batas kepantasan. Meski beberapa hal juga dianggap terlampau juga. Tapi, semua dimaafkan, katanya.
Sapaan pertama kali itu berselang selama sekira empat bulan lamanya sebelum percakapan intensif berlangsung di antara mereka.
Empat bulan kemudian, Melani mendapat sapaan lagi melalui Messenger dari orang yang sama. Kali ini, perbincangan agak cair. Mungkin karena merasa memiliki benang merah pertemanan: sama-sama alumni satu SMA. Melani punya banyak waktu saat itu untuk melayani beberapa pertanyaan. Tetap disaring. Hal yang bersifat privasi ia tangguhkan. Ia bisa ngeles dengan cara yang halus. Temannya tak kapok.
Pada awalnya memang hanya perbicangan semata. Tetapi, tidak semua perbincangan berakhir sebagai obrolan semata. Jika perbincangan itu sudah dimuati kepentingan sejak awalnya, maka bersiaplah untuk menempuh jalan panjang perjuangan mencapainya. Nyaris setiap malam keduanya terlibat perbicangan yang makin akrab. Siapa sanggup menduga bahwa upayanya dapat berhasil dengan capaian menggembirakan.
“Kita hanya perlu menjalankan tugas dengan mengikuti amanah dari hati.” Melani tertegun membaca pesan itu. “Apa maksudnya?” ia bertanya kepada dirinya sendiri. Agar tak tampak tidak paham, dan tentu saja tak mau mengecewakan, ia membalas dengan mengirimkan ikon. Ya, ikon dapat menjadi jalan keluar baginya. Dengan begitu, semua tafsiran dapat benar di sana.
“Bagaimana mungkin perasaanmu dapat tumbuh, sedangkan kita sudah lama tak berjumpa?” Kali ini ia tak berpikir sendiri. Ia mengajukan pertanyaan wajar. Perasaan cinta itu tak mudah diyakinkan begitu saja, betapa pun kita begitu yakin telah mengalaminya sendiri. Ia tidak hanya pantas dipertanyakan, tetapi ditolak sekali pun tetaplah wajar. Nasib cinta kerap ditentukan juga pada tahap ini.
“Kita tak benar-benar baru kan? Maksudnya, saya baru mengenalmu. Tidak. Saya sering memperhatikan sewaktu SMA. Meski saat itu memang saya tak memiliki perasaan serupa sekarang.”
“Tapi itu sudah lama sekali. Sudah puluhan tahun. Sudah banyak yang berubah di antara kita,” balas Melani.
Selang waktu berpuluh tahun memang bisa mengubah banyak hal dalam diri seseorang. Tidak hanya kualitas hidup dengan segala pencapaiannya. Bahkan, perubahan fisik pun sangat mungkin terjadi. Secara biologis, tak ada seorang pun yang tetap memiliki kondisi tubuhnya dari berpuluh tahun silam. Itu alami. Semua akan tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya, semua akan dewasa lalu menua. Tapi perasaan cinta tidak sebatas atau sedangkal dengan kebertubuhan semata.
“Iya, saya paham. Saya sudah menelusuri Facebook-mu.”
Zaman ini memang relatif mudah untuk menjangkau orang lain. Asakan ia eksis di dunia maya bernama media sosial itu. Ada banyak pilihan media sosial. Facebook hanya salah satunya saja. Unggahan, baik dalam bentuk teks maupun gambar atau foto, setidaknya dapat mewakili aktivitas dan minat pemilik akunnya. Secara sederhana, orang hanya akan mengunggah atau menyukai serta membagikan hal-hal yang menjadi kesukaan atau minatnya. Bagi mereka yang tekun menelusuri hingga menemui polanya, tak sulit untuk mengenal dan memahami seorang pemilik akun itu. Begitulah ia memahami Melani untuk tiba pada perasaan bernama Cinta itu.
Melani memang belum yakin terhadap jawaban itu. Memang tak semudah itu. Perempuan dengan lintasan kisah masa lalu; beberapa manis, beberapa juga tragis, akan semakin berhati-hati. Namun, menutup hati untuk niat yang baik, juga akan menjadi kesalahan baginya. Ia memberi jalan bagi perkenalan yang lebih jauh, meski tak lebih dari separuh hatinya. Terlalu dini baginya untuk berserah kepada sosok yang belum akrab.
Keduanya berbagi nomor seluler. Interaksi bergeser ke WhatsApp. Temannya senang. Ia merasa mendapat kepercayaan dari Melani. Bagaimana pun, nomor seluler yang sekaligus juga nomor WhatsApp lebih privasi dari pada Messenger. Awalnya hanya mengobrol (chating) biasa. Tetap menjaga sapaan dan tanggapan dalam batas kesopanan sebagai orang yang baru berteman.
Malam-malam panjang membentang sejak saat itu. Setidaknya beberapa hari setelah pertukaran nomor seluler mereka lakukan. Lama-lama mereka lelah juga mengetik di tombol HP. Tak hanya jari, tetapi mata juga letih menekuri pesan di layar HP.
“Bagaimana kalau kita mengobrol lewat panggilan suara?”
Melani tak langsung menjawab pertanyaan penuh modus itu. Meski ia sungkan untuk menolak. Nanti disangka sombong, suatu hal yang jauh dari gambaran dirinya. Pesan itu dibiarkannya tetap terbuka hingga layar HP-nya terkunci, padam sendiri.
“Haruskah saya penuhi permintaannya?” Ia bergumam. Sprei tempatnya duduk ia tarik, seolah merapikan. Sama sekali tak kusut. Sebenarnya batinnya yang sedang tak karuan. Antara menjadi orang yang ramah atau membiarkan kelancangan menerobosnya. “Tidak. Ini bukan kelancangan,” pikirnya lagi.
“Tak apa kalau sibuk. Mungkin lain kali saja jika sudah punya waktu luang.” Satu lagi pesan masuk sebelum Melani sempat membalasanya. Ia merasa didesak. Tapi ia tak mau merespons hanya karena perasaan itu. Lagi pula, saat itu ia tak sedang sibuk apa pun.
“Boleh. Silakan …,” balasnya.
Tak butuh waktu lama untuk menjemput panggilan telepon yang begitu bersemangat dari ujung sana. Beberapa saat Melani memandangi nama yang tampil di layar HP-nya, dia yang memanggilnya.
Keduanya bersalaman. Saling menyapa. Perbincangan secara langsung untuk pertama kali memang tetap terasa kikuknya. Tapi itu tak berlangsung lama. Karena sudah ada perbincangan di antara mereka sebelummya, jadi sedikit banyak sudah punya bahan untuk memikirkan obrolan. Perlahan suasana mencair. Seiring waktu semuanya berjalan mudah.
Ketika virus Corona dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan PSBB. Orang-orang diimbau untuk tetap di rumah. Tidak sedikit orang khawatir sebab terancam kehilangan sumber penghasilannya. Orang-orang beraktivitas dan berinteraksi dengan cara yang baru. Telepon seluler dan jaringan internet makin intensif. Ketika media sosial atau internet menjadi pelarian bagi kejenuhan bagi orang tertentu, beberapa orang lainnya memanfaatkan secara positif.
Melani semakin sering disapa atau ditelepon oleh temannya itu. Semakin lama, kian lugas juga pernyataan temannya. Tentu saja menyuarakan perasaannya. Sebab dari perbincangan secara langsung itu juga, rasa cintanya kepada Melani dapat tumbuh seiring waktu. Selain perjumpaan, tak ada cara lain untuk dapat saling mengenal lebih cepat melalui perbincangan. Kita dapat mengajukan pertanyaan tentang hal yang ingin diketahui dan dengan segara dapat memperoleh tanggapannya. Situasi pandemi menumbuh-kembanglan hal lain. Tapi, ini bukan sekadar pelarian.
Sekuat apa pun cinta dipendam, pada akhirnya ia akan mencari jalan untuk dinyatakan. Memang ia tak sekadar pernyataan serupa ungkapan. Ia menuntut hal yang lebih hakiki di sana. Ia adalah rupa keseriusan dari sesuatu yang jelas bergejolak di hati. Di hadapan Melani kini menghampar cinta untuknya. Tetapi, sekali lagi, usianya cukup matang untuk menimbang semua yang ia jelang, termasuk sesuatu yang diakui sebagai Cinta itu.
Pengalaman cintanya memang tidak mudah. Tentu pernah juga ia menjalani hubungan asmara yang tak berhasil hingga ke tujuan akhir yang dibayangkan. Tapi pengalaman itu juga yang menjadikannya makin matang. Termasuk menjadi sangat berhati-hati.
“Ini cinta yang sungguh-sungguh. Jangan membandingkan atau membayangkan serupa yang pernah datang kepadamu sebelumnya. Itu tak sepadan …”
Pernyataan demi pernyataan terus dihadapi Melani. Bukan untuk meyakinkan dirinya tentang kedalaman perasaan yang ia pahami dari pesan dan obrolan lewat telepon itu. Pesan dan ungkapan perasaan itu bagai cermin batin dari pengirimnya. Cinta memang serupa impian. Dirawat serupa harapan. Dimohonkan dalam doa-doa.
Lalu, pada suatu pagi pada ramadan, Melani membalas pesan. Ia bersajak.
“Gantung impian
Yakinkan hati
Bukan Dunia yg akan pecundangi kita
Tapi kita yang akan berjaya
Ikhlaskan air mata yg mengalir hari ini
Esok kan jadi sesuatu yang indah seperti pelangi yang muncul setelah hujan
Dan mentari yang pasti terbit setelah malam berlalu.”
Keduanya larut dalam perasaan. Meski belum dalam genggaman, tetapi cinta jelas meliputi keduanya. Rencana-rencana diusung. Janji perlahan dipatri.
“Perjalanan kita masih panjang,” katanya. Iya, dan kita akan selalu siap menempuh jarak itu!
****
Tulisan ini juga pernah dimuat pada lama, Opini Malut Pos, 6 Juni 2020