Nako Mihiri Demahouru: Orang Togutil dan Kesehatnnya

Editor: The Tebings author photo
O houru manyawa (dukun Tugutil)  dengan cucunya (Foto: Safrudin Abdulrahman).
Safrudin Abdulrahman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti Yayasan The Tebings)

Pendahuluan
Setiap suku bangsa memiliki sistem pengobatan atau sistem medis yang merupakan bagian integral dari kebudayaan suku bangsa tersebut. Tiap kebudayaan mengembangkan suatu sistem kesehatan yang mendukung hubungan timbal-balik yang tidak luntur dalam pandangan hidup yang berlaku. Tingkah laku medis dari individu-individu dan kelompok-kelompok tidak akan dimengerti jika dilihat terpisah dari sejarah kebudayaan umum (Foster dan Anderson, 1986). 

Usaha mengatasi permasalahan kesehatan yang dilakukan suatu masyarakat tidak lepas dari pemahaman masyarakat tersebut terhadap konsep sehat dan sakit. Pendukung kebudayaan yang berbeda akan menafsirkan dua konsep ini juga secara berbeda. Bahkan gejala-gejala sakit dan penyakit yang sama dapat ditanggapi dan ditafsirkan secara berbeda oleh kelompok masyarakat yang berbeda (Ahimsa-Putra, 1995). Di sisi lain, masalah sehat dan sakit merupakan proses kemampuan dan ketidakmampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungan baik secara biologis, psikologis dan sosial budaya.

Dalam upaya untuk menjelaskan konsep sehat dan sakit serta cara penyembuhannya, kita tidak bisa melepaskan diri dari sistem pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang hal-hal yang menyebabkan sakit dan bagaimana munculnya suatu penyakit. Terdapat perbedaan makna terhadap konsep sakit (illness) dan penyakit (disease). Terutama pada penelitian-penelitian yang mengkaji tentang sistem medis tradisional, batasan konsep sakit dan penyakit menurut suatu masyarakat sangat penting, agar bisa mendapatkan konsep sehat yang berkembang dalam masyarakat. Pemahaman yang tepat dan jelas mengenai konsep sehat, sakit dan penyakit, akan mengantarkan kita untuk mendapatkan gambaran yang utuh mengenai sistem medis suatu masyarakat.     

Konsep sakit dan penyakit, untuk setiap individu atau kelompok masyarakat yang berbeda akan menghasilkan pandangan yang berbeda pula. Hal ini akan berdampak pada upaya penyembuhan dan pencegahan yang dilakukan oleh masyarakat. Konsep  disease dan illness dalam masyarakat dibagi menjadi dua. Yakni “disease without illness and illness without disease”, seseorang yang secara klinis memang terdapat penyakit di tubuhnya namun tidak merasakan sakit, dan sebaliknya seseorang yang secara klinis tidak ditemukan penyakit namun dia merasa sakit sehingga tidak mampu beraktifitas. Dalam masyarakat yang masih hidup dengan sistem medis tradisional, mengaitkan illness without disease sebagai penyakit yang diakibatkan oleh sebab-sebab supernatural atau personalistik.

Pandangan orang tentang kriteria tubuh sehat atau sakit, sifatnya tidaklah selalu obyektif. Bahkan lebih banyak unsur subyektif dalam menentukan kondisi tubuh seseorang. Persepsi masyarakat tentang sehat atau sakit sangat dipengaruhi oleh unsur pengalaman masa lalu, di samping unsur sosial budaya. Secara ilmiah penyakit (disease) itu diartikan sebagai gangguan fungsi fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan. Jadi penyakit itu lebih bersifat obyektif. Sebaliknya, sakit (illness) adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (Sarwono, 1993).

Orang Tugutil di Halmahera
Orang Tugutil menyebut diri mereka sebagai o hongana manyawa atau o fongana manyawa yang berarti bahwa mereka adalah orang hutan atau orang yang tinggal dan hidup mengembara dihutan. Ada yang menyebut orang Tugutil dengan Tobelo Dalam, karena orang Tugutil dianggap sebagai orang Tobelo yang hidup di wilayah pedalaman atau hutan. Orang Tugutil tidak mengetahui tentang arti dan maksud dari sebutan orang Tugutil, mereka hanya mengetahui bahwa mereka adalah orang Tobelo yang tinggal di pedalaman atau hutan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan bahasa yang sama dan berbagai kesamaan lainnya dalam tradisi dengan orang Tobelo yang tinggal di wilayah pesisir atau disebut orang kampung (o berera manyawa).

Orang Tugutil yang hidup terpencil di hutan pedalaman pulau Halmahera, secara kuantitas tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang juga berada di Pulau Halmahera. Berdasarkan data peta persebaran komunitas adat terpencil Kementrian Sosial Republik Indonesia, orang Tugutil tersebar dalam kelompok-kelompok kecil hampir di seluruh pedalaman Halmahera (Kemensos, 2009). Penyebutan orang Tugutil dipakai oleh masyarakat pada umumnya, para ahli bahasa, pemerintah daerah, antropolog dan para peneliti lainnya (Huliselan, 1978; Martodirjo, 1993; Topatimasang, 2004; FSB Unkhair, 2008; Ulaen, 2010). Warga desa yang hidup di sekitar komunitas Tugutil, menyebut orang Tugutil dengan sebutan Orang Suku atau Orang Asli (Dinas Sosial Maluku Utara, 2007). Orang Tugutil sendiri lebih senang dan akrab bila disebut dengan (o hongana manyawa atau o honganoka) yang padanannya dalam bahasa Indonesia berarti “orang rimba”. Orang yang hidup dan mendiami hutan, sebagai kebalikan dari istilah (o berera manyawa) orang yang hidup di kampung atau orang pesisir.     

Suku bangsa Tugutil yang mendiami daerah pedalaman Pulau Halmahera, sampai saat ini masih tetap mempertahankan sistem medisnya yang berakar pada kebudayaan mereka. Tentunya mereka juga memaknai dan memahami konsep sehat, sakit dan penyakit yang sesuai dengan sistem medisnya. Seorang o houru manyawa atau dukun (houru = obat manyawa = orang, dapat diartikan orang yang memiliki keahlian dalam berobat) pada komunitas Tugutil saat diwawancarai, dengan tegas  mengeluarkan pernyataan dalam bahasa lokal mereka “nako mihiri dema houru”, yang artinya kalau kami sakit ada obatnya. Adalah sebuah pernyataan yang terdengar biasa-biasa saja, namun seolah memberi sebuah ketegasan akan pemertahanan nilai-nilai medis lokal (medis tradisional). Selain itu juga memberikan makna kepada kita bahwa sistem medis lokal mereka, mampu mengatasi  persoalan kesehatan yang dihadapi. Tidak ada penyakit yang tidak bisa mereka sembuhkan dengan mengandalkan cara-cara pengobatan yang diwariskan secara turun temurun, juga berdasarkan pengalaman mereka dalam persoalan pengobatan.

Orang Tugutil di pedalaman Halmahera tidak lagi terbagi dalam sub-sub etnik, agar bisa membedakan antara kelompok-kelompok orang Tugutil yang tersebar di Pulau Halmahera, biasanya masyarakat menggunakan sebutan nama etnik (Tugutil) disertai dengan nama lokasi atau wilayah yang ditempatinya. Seperti Tugutil Dodaga adalah orang Tugutil yang mendiami wilayah Desa Dodaga,  Tugutil Loleba, Tugutil Foli, Tugutil Lina, Tugutil Bairorai, Tugutil Kusuri dan yang lainnya. 

O Roehe Ihanangi (Sehat) Dalam Pemahaman Orang Tugutil
Secara sederhana keadaan sehat sering dipahami oleh masyarakat sebagai sebuah kualitas hidup manusia yang secara fisik maupun psikis tidak menyimpang dari apa yang berlaku umum dalam masyarakat. Umumnya pada masyarakat tradisional memandang seseorang itu sehat, bila selama dia masih mampu untuk melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang tersebut dikatakan sehat. Batasan sehat yang diberikan oleh organisasi kesehatan se dunia (WHO) adalah “a state of complete physical, mental and social wellbeing” (Sarwono, 1993).

Pengertian tentang keadaan sehat dimaknai secara berbeda oleh setiap masyarakat atau suku bangsa yang berbeda. Pada komunitas orang Tugutil di Pulau Halmahera, mengungkapkan bagaimana persepsi mereka tentang kriteria-kriteria seseorang itu berbadan sehat. Berbagai pernyataan yang di ungkapkan oleh para informan tentang ciri-ciri seseorang itu berbadan sehat. Seperti yang disampaikan oleh bapak Pisandodo, beliau adalah seorang dukun (o houru manyawa) dalam komunitas Tugutil di Dusun Totodoku dan Tukur-Tukur yang berusia sekitar 85 tahun, beliau menyatakan bahwa badan sehat adalah:
Nako nanga roehe ihanangi ga hakunu harasa, ho karajanga mai homadoringoto, ho tagi-tagi mai homadoringoto, ho hoyomo dika de nanga doringoto ihuputu”.
Kalau badan kita sehat bisa kita rasakan, di saat  bekerja kita berkeringat, jelan-jalan juga berkeringat, bahkan saat makanpun kita bisa berkeringat.

Berbadan sehat dipahami semata-mata lebih bersifat fisik. Karena penekanannya pada tubuh atau badan yang tidak dalam keadaan sakit yang selalu berkeringat di saat beraktifitas, baik itu aktifitas di sekitar rumah maupun aktifitas dalam mata pencaharian. Berkeringat o doringoto dalam pemahaman mereka juga terbagi menjadi dua, yakni berkeringat karena berbadan sehat (roehe ihanangi) dan berkeringat karena  kurang enak badan atau badan terasa berat (roehe itubuho). Selanjutnya dijelaskan bahwa berkeringat karena roehe itubuho  itu bukan sehat, melainkan gejala-gejala sakit yang akan terjadi pada seseorang.  

Bapak Bodik Ti, seorang dukun (o houru manyawa) pada komunitas Tugutil Totodoku dan berasal dari kelompok Tugutil Oboy yang berusia sekitar 70 tahun. Beliau mengatakan kalau seseorang berbadan sehat, itu bisa dilihat pada beberapa hal seperti :
O nyawa, nako manga roehe ihanangi eko isehata hakunu halega manga karajanga, yo karajanga mai yo huturunu, yoyomo mai ijame, yo maidu mai kaha jame. Pokonya manga badan ga isehata de yo panyake ua.
Seseorang, kalau berbadan sehat dapat dilihat dari kerjaannya atau aktifitasnya, dia kuat atau bersemangat dalam bekerja, makan  terasa enak, tidurpun juga nyenyak. Pada dasarnya seseorang yang sehat itu bebas atau tidak berpenyakit”

Pengertian orang berbadan sehat penekanannya masih pada aspek fisik, karena mereka masih melihat faktor-faktor fisik atau tubuh manusia dalam melakukan aktifitas sehari-hari, bisa bekerja dengan tenaga yang prima, makan terasa enak dan tidur juga nyenyak serta badan tidak sakit atau berpenyakit, merupakan pemaknaan kondisi tubuh yang ideal. Dalam kondisi sosial budaya dan ekonomi orang Tugutil, yang masih merupakan masyarakat yang hidup bercocok tanam dengan sistim ladang berpindah, berburu dan meramu. Mengharuskan kondisi fisik yang sehat seperti yang telah diutarakan oleh bapak Bodik Ti, dan merupakan sebuah keadaan tubuh yang ideal dan semua orang menginginkannya.

Bapak Bawehe Bidos (54 tahun) adalah informan yang juga memiliki kemampuan dalam mengobati penyakit. Menurut Bawehe Bidos, bahwa badan sehat itu badan yang tidak sakit, karena kalau badan sakit sedikit saja pasti semuanya ikut terganggu, seperti kerja jadi malas dan makan juga tidak enak lagi. Apakah itu sakit karena penyakit ataukah sakit karena jatuh, digigit binatang, terkena parang atau pisau. Seperti yang tuturkan dibawah ini :
O roehe ihanangi, ga o roehe ipanyake ua, nako dema panyake ngaroka dema hutulu dika ho panyake harasaka nanga roehe madubuho hokarajanga mai ka hopono-ponokika, hoyomo mai kai jame kaua”.
Badan sehat, adalah badan yang tidak sakit atau berpenyakit, kalau badan kita sakit atau berpenyakit, kita akan merasa tidak enak badan sehingga kerja juga malas, makan juga tidak enak lagi.

Pemahaman tentang badan atau tubuh yang sehat juga dimaknai berbeda oleh bapak Yekon Phenes (40 tahun). Menurutnya orang berbadan sehat itu tidak saja terlihat dari kondisi tubuh melainkan juga pikirannya. Walaupun tubuh kita terlihat sehat namun kita punya banyak persoalan dan membuat kita terlalu banyak berfikir maka kita tidak bersemangat dalam melakukan aktivitas sehari-hari, kita terlihat seperti orang yang lagi sakit, meskipun tubuh kita tidak dalam keadaan sakit. Seperti yang dituturkan dalam bahasa setempat sebagai berikut:
Ngone, nako nanga roehe isehata, mustika nanga hininga oli ihanangi. Atoka nanga roehe isehata tapika nanga hininga ihuha, ho manarama eko homadagi-dagi ika ino, nako ho lega-lega samaka deo nyawa yo panyake”.    
Kalau badan kita itu dikatakan sehat, harus hati kita pun sehat atau senang, walaupun badan kita sehat tetapi hati kita susah, kita bekerja atau melakukan kegiatan yang lainnya, terlihat seperti orang yang lagi sakit” 

Pemahaman tentang tubuh yang sehat dari bapak Yekon Phenes, terlihat sedikit lebih berbeda tentang cara memaknai tubuh yang sehat, karena telah melihat bukan hanya pada faktor fisik semata melainkan juga dari aspek psikisnya. Selanjutnya, bahwa orang yang banyak masalah akan menjadi stress dan pada akhirnya bisa gila, padahal badannya tidak terlihat mengidap penyakit apa-apa.

Konsep sehat yang dipahami oleh beberapa informan tersebut diatas, setidaknya memberikan sebuah gambaran kepada kita bahwa, sehat  merupakan sebuah kondisi ideal secara fisik. Kondisi sosial budaya dan ekonomi orang Tugutil lokasi Totodoku, sebagai masyarakat yang masih sederhana dengan pola ekonomi subsisten, tentunya tubuh sehat merupakan hal yang begitu penting, karena seluruh aktivitas dalam rangka kelangsungan hidup masih sangat bergantung kepada aktivitas fisik. Misalnya mereka masih melakukan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan di sungai dan bercocok tanam di ladang berpindah secara sederhana. Seperti yang di utarakan oleh bapak Doludolu, berusia  sekitar 67 tahun:
Lebelaha ho honenge dika, nako nanga roehe ipanyake de ma panyake ga kaihiha-hihangua. Sarakia hohonengua, ho manarama mai hohakunua homadagi-dagi ika ino mai hohakunua, ga mangale o inomo mai hamake kaua.
Lebih baik mati saja, kalau badan kita sakit dan penyakit yang kita idap tidak kunjung sembuh. Bagaimana kita tidak akan mati, bekerja saja kita sudah tidak bisa, mengerjakan pekerjaan yang lain-lainnya juga tidak bisa, itu artinya kita tidak bisa lagi mendapatkan makanan untuk dimakan” 

Menyimak pendapat tentang keadaan sehat dari beberapa informan diatas, ternyata sehat memiliki makna-makna yang khusus bagi seseorang. Hal ini sangat tergantung pada pengalaman-pengalaman yang dialami sebelumnya, bahkan ukuran kualitas sehat pada tubuh seseorang juga berbeda antara satu dengan yang lainnya. Walaupun demikian, jika cermati lebih kedalam terhadap informasi yang disampaikan oleh para informan, dapat telihat dengan jelas  bahwa kondisi atau keadaan sehat masih sangat terfokus pada aspek fisik walaupun dengan ukuran kualitas yang berbeda dari setiap informan.

Hiri (Sakit) Dalam Pemahaman Orang Tugutil
Sakit adalah sebuah konsep yang berbeda dengan penyakit, sakit (illness) adalah sebuah konsep yang didasarkan oleh kebudayaan suatu masyarakat tentang keadaan tubuh yang menyimpang, sementara penyakit (disease) adalah sebuah konsep patologi yang berdasarkan pada ilmu medis modern. Sementara itu, berdasarkan hasil studi pustaka tentang sisitem medis dalam suatu masyarakat, banyak terdapat defenisi tentang sakit yang didasarkan pada kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

Umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit jika orang tersebut kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur (sudarti via Sarwono, 1993). Mengacu pada konsep-konsep antropologi kesehatan (etnomedisin), sakit merupakan sebuah konsep yang mencerminkan bagaimana masyarakat mengekspresikan dan menamai keadaan tubuh dan jiwa yang tidak sehat, yang  berhubungan dengan  latar belakang kebudayaan. Konsep-konsep sakit pada orang Tugutil, dalam bahasa setempat, juga mengekspresikan  sakit secara fisik dengan kata hiri. 

Orang Tugutil memahami konsep sakit (hiri) dalam dua pemaknaan. Makna pertama adalah rasa sakit pada tubuh yang disebabkan oleh penyakit, dan makna yang kedua adalah sakit yang terasa pada tubuh sebagai akibat dari terkena benda keras atau benda tajam. Konsep hiri pada umumnya digunakan untuk sakit karena penyakit yang diidap oleh seseorang, atau sakit yang disebabkan oleh penyakit. Selain itu, keadaan sakit juga sering disebut dengan istilah  o panyake yang berasal dari kata penyakit. Penggunaan istilah o panyake pada orang Tugutil dipakai secara bergantian, dengan maksud menjelaskan tentang keadaan sakit dan penyakit yang diderita.

Dalam konteks kebudayaan orang Tugutil sebagaimana pada kebudayaan-kebudayaan lainnya, batasan sakit memiliki banyak makna tergantung pada individu masing-masing yang memahami kondisi sakit tersebut sesuai dengan pengalamannya. Berikut ini merupakan berbagai pandangan yang mereka sampaikan tentang kondisi sakit. Paitua Pisandodo Mununa, adalah seorang dukun (o houru manyawa) berusia 87 tahun menjelaskan bahwa:
Ho hiri ga nako de homadagi de ho manarama hohakunokaua, ga deo dangiri oka turusi. Nako ho gogama dika ga bihaka homomiki, hoyomo de homadadagi, nako de nanga doringoto ihuputoka ga de nanga roehe iuini oka. Ngohi nakode ai haeke ihiri ga to hiri ga de tomaboakaua.
Sakit itu apabila sudah tidak bisa berjalan, begitu juga dengan bekerja. Kita hanya terus menerus berada di tempat tidur. Kalau cuma demam atau panas, kita bisa bangun, bejalan, makan. Kalau sampai kita keluar keringat pasti badan kita sudah terasa lebih ringan. Saya kalau sampai sakit kepala, itu benar-benar saya sakit, karena sakit kepala membuat saya tidak berdaya untuk berbuat sesuatu.

Kemudian seorang informan lagi yang bernama bapak Sem Sulasi berusia 50 tahun, adalah orang Tugutil tinggal di dusun Tukur-Tukur dan sekarang sudah tinggal di Dusun Totodoku, mengungkapkan bahwa sakit atau hiri adalah:
Ho hiri ga nako o panyake kia dika inadaene, haeke ihiri, pokoro ihiri, gogama, luhianga imata-mata ga. Nako panyake de ina daene ga hohiri, nako de panyake inadaene wahi ga nanga roehe ihanangiohi.
Sakit itu kalau kita menderita penyakit apa saja, sakit kepala, sakit perut, demam, sakit badan karena kerja yang berlebihan dan penyakit-penyakit yang lainnya. Kalau kita terkena penyakit saat itu kita sakit, dan kalau kita belum terkena penyakit berarti badan kita masih sehat.

Dari kedua informan diatas ternyata memaknai keadaan sakit dengan cara pandang dan gejala yang berbeda. Informan pertama lebih fokus pada kondisi tubuh yang sudah tidak bisa lagi untuk beraktifitas dengan melihat pada tingkatan sakit, karena orang yang terkena penyakit itu masih dianggap ringan apabila masih bisa melakukan aktifitas di dalam rumah, itu masih dianggap sebagai demam (gogama) demikian halnya dengan kondisi badan yang tidak enak atau badan berat (o roehe itubuho). Sedangkan oleh informan yang kedua berpandangan bahwa, kondisi sakit itu terjadi apabila telah terjadi gangguan terhadap tubuh oleh penyakit, tanpa memperdulikan tingkatannya yakni ringan atau berat gangguan tersebut.

Faktor usia juga bisa mempengaruhi pemahaman atau pemaknaan mereka tentang sakit, warga yang sudah berusia tua atau sekitar diatas 50 tahun keatas masih memandang kondisi tidak enak badan atau badan berat (o roehe itubuho) tidak sebagai sebuah kondisi sakit atau hiri.  Sedangkan beberapa informan lainnya yang relatif berusia muda melihat kondisi sakit atau hiri sebagai sebuah kondisi tubuh yang terganggu oleh penyakit apapun. Melkias Hakaru yang berusia sekitar 30 tahun, yang sering bekerja sebagai tenaga angkut pembalakan kayu disekitar lokasi pemukiman,  saat itu dia tidak bekerja mengangkut kayu karena merasa tidak enak badan (roehe itubuho) mengatakan:
To hiri de to karajanga wahi, nako toma pakisa to karajanga ga kahi pono-ponokika, tomodongo botino de homatodokana de hoboditoka.
Saya sakit jadi tidak berangkat kerja, kalau dipaksakan untuk bekerja pasti akan tidak maksimal karena malas atau tidak bergairah. Saya khawatir terjadi sesuatu yang mencelakai.

Perubahan kondisi pola hidup pada orang Tugutil saat ini telah terjadi, salah satunya yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian hidup mereka yang sudah lebih berfariasi. Generasi muda sudah memiliki beberapa pilihan pada jenis pekerjaannya dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup, sehingga mereka tidak terlalu dipaksa untuk bekerja seperti orang tua mereka, yang harus keluar masuk hutan untuk berburu dan meramu. Kondisi ini akhirnya memaksa mereka untuk bekerja, walaupun sedang mengalami sebuah situasi yang dinamakan kondisi badan berat. Kondisi badan berat (roehe itubuho) belum dikategorikan sakit oleh para orang tua, walaupun mereka dengan sadarnya mengatakan bahwa kondisi badan berat merupakan sebuah kondisi yang mengarah ke kondisi sakit, atau bisa disebut kondisi pra-sakit.

O Panyake (Penyakit) Dalam Pemahaman Orang Tugutil
Secara ilmiah, penyakit (disease) diartikan sebagai gangguan fisiologis dari suatu organisme sebagai akibat dari infeksi atau tekanan dari lingkungan, penyakit lebih bersifat objektif. Sebaliknya sakit (illness) itu adalah penilaian individu terhadap pengalaman menderita suatu penyakit (sarwono, 1993). Dalam sistem medis personalistik, penyakit (disease) disebabkan oleh intervensi dari suatu agen yang aktif yang dapat berupa makhluk supranatural dan manusia. Sedangkan penyakit (disease) dalam sistem naturalistik dijelaskan dengan istilah-istilah sistemik yang bukan pribadi. Sistem medis naturalistik mengakui adanya suatu model keseimbangan, penyakit bisa terjadi apabila keseimbangan unsur-unsur tetap dalam tubuh terganggu (Foster dan Anderson, 1986).

Menurut pemahaman orang Tugutil penyakit disebabkan oleh dua faktor, faktor alam dan bukan alam (panyake o alamoka deo panyake o alamua). Penyakit karena alam (panyake o alamoka) karena perbuatan yang mengganggu atau merusak alam akhirnya menyebabkan seseorang itu jatuh sakit karena terkena penyakit. Selain itu, ada juga penyakit yang disebabkan oleh sebab yang bukan alam, misanya perbuatan manusia. Menurut bapak Madiki Higinik (75 tahun), penyakit yang disebabkan oleh perbuatan manusia, misalnya menggunakan santet (doti) supaya orang lain menjadi sakit dengan cara mengirimkan penyakit.  Sakit yang disebabkan oleh santet (doti) merupakan penyakit yang paling susah untuk diobati. Oleh karena itu seorang dukun atau o houru manyawa tidak bisa mengobati dengan cara yang biasa saja, karena itu tidak akan sembuh. Sakit karena santet (doti) harus diobati dengan cara memberi ramuan dan mantra yang tepat, yang sebelumnya telah dilakukan diagnosa dengan cara-cara para dukun seperti mawi. Seorang shaman (o gomatere) juga memiliki peran penting dalam penyembuhan penyakit karena santet.

Nako Mihiri Demahouru (Kalau Kami Sakit Ada Obatnya)
Penyembuhan penyakit yang bersifat naturalistik dan personalistik tidak terlalu memiliki perbedaan yang mendasar. Karena pengobatan penyakit berdasarkan kedua sifat dari penyakit tersebut tetap saja mengandalkan ramuan (rorano) dan mantra-mantra (matara). Orang Tugutil memahami penyakit yang bersifat naturalistik atau penyakit yang berasal dari alam (o panyake o alamoka) adalah penyakit yang bisa dijelaskan sebab-sebab munculnya penyakit (etiologi penyakit). Penyakit dari alam, merupakan penyakit yang pengobatannya tidak sesulit penyakit yang disebabkan oleh penyakit yang bukan berasal dari alam, atau bersifat personalistik (o alamua mapanyake) yang dalam pemahaman mereka, adalah penyakit yang disebabkan oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat (gomanga madorou). 

Penyembuhan penyakit yang penyebabnya dari alam, pada tingkatan pertama masih diusahakan secara pengobatan sendiri atau rumah tangga (self treatment). Pada tingkatan berikutnya apabila keadaan sakit belum juga sembuh, maka mereka akan meminta bantuan dukun atau o houru manyawa dan pada tingkatan yang terakhir jasa seorang o gomatere juga akan berperan. Namun dalam hal penggunaan jasa seorang shaman o gomatere lebih pada tindakan mengantisipasi jangan sampai sebab sakit dari alam (naturalistic) sudah disusupi sebab-sebab yang berasal dari manusia atau makhluk-makhluk halus (personalistik).

Penyembuh lokal pada orang Tugutil adalah dukun (o houru manyawa) dan shaman atau (o gomatere). Kedua penyembuh lokal ini juga memiliki kemampuan untuk mendiagnosis sebab dan jenis penyakit yang diderita oleh seseorang. Seorang dukun atau o houru manyawa mengandalkan kekuatan-kekuatan supranaturalnya dalam mendiagnosis sebab-sebab sakit, dengan cara-cara yang telah dipelajarinya. Lain halnya dengan seorang o gomatere yang melakukan diagnosis dengan cara kesurupan trance. 

Dalam pemahaman orang Tugutil, bahwa suatu  penyakit bisa disembuhkan dengan banyak ramuan dan mantra yang dimiliki oleh setiap dukun (o houru manyawa). Kalau penyakit yang diderita seseorang itu pengobatannya sesuai, baik itu dengan mantra, ramuan, atau gabungan dari keduanya maka penyakit tersebut bisa disembuhkan. Sebaliknya pengobatan yang dilakukan itu belum sesuai antara jenis penyakit dan cara pengobatannya, maka keadaan sakit tersebut belum bisa untuk disembuhkan, walaupun sudah berbagai macam cara diupayakan.

Agar bisa terjadi kesesuaian antara jenis penyakit, khasiat dari ramuan dan mantra yang digunakan, maka penyakit yang diderita perlu dideteksi sebabnya sebelum diobati.  Mendeteksi penyakit atau sebab sakit pada orang Tugutil sering dilakukan oleh para dukun o houru manyawa, tetapi kadang juga di lakukan oleh  seorang shaman (o gomatere). Pendeteksian penyakit oleh seorang dukun dengan cara mawi dilakukan dengan beberapa cara, namun tujuannya hanya satu yakni mengetahui sebab-sebab seseorang itu menjadi sakit dan bagaimana cara pengobatannya. Seorang dukun atau o houru manyawa yang melakukan diagnosa, setelah mengetahui sebab-sebab sakit bukan berarti dia bisa langsung bisa mengobati penyakit tersebut. Karena sering penyakit yang telah deteksi tersebut, dianjurkan untuk berobat ke dukun atau o houru manyawa yang lain. Dengan alasan, bahwa jenis penyakit tersebut sudah sering disembuhkan oleh o houru manyawa yang dirujuk.

Diagnosa
Sistem etiologi personalistik dan naturalistik dapat dibedakan berdasarkan teknik-teknik diagnosis. Dalam sistem personalistik, diinginkan shaman atau dukun mempunyai kekuatan besar untuk dapat mengidentifikasi agen penyebab. Sistem  personalistik membutuhkan penyembuh yang memiliki kekuatan supranatural atau kekuatan ramalan magis, karena perhatian utama pasien dan kerabatnya adalah “siapa” dan bukannya “apa”. Shaman dengan kemampuannya berkomunikasi langsung dengan alam roh, serta dukun dengan kekuatan-kekuatan magisnya, keduanya bisa menjawab pertanyaan “siapa” dan “mengapa”, merupakan jawaban- jawaban logis terhadap kebutuhan akan konsep-konsep kausalitas ganda (Foster dan Anderson, 1986).

Dengan mengacu pada pengertian “siapa” dan “mengapa” seorang penyembuh dapat mendiagnosis melalui konsultasi dengan roh halus dalam kondisi kerasukan (trance), penyembuh kemasukan roh lain yang dapat memberikan penjelasan kepada pasien maupun keluarganya, bahwa pasien sakit karena diguna-guna atau disantet (doti). Penyembuh dapat mendiagnosis dan menemukan bahwa seseorang yang memiliki gejala sakit yang disebabkan oleh sebab supranatural. Apa yang didiagnosis oleh penyembuh berdasarkan pada penjelasan mencari tahu “siapa” dan “mengapa” dan secara logika dapat diterima oleh pasien dan keluarganya (Kasniyah, 2002).

Mawi, Diagnosa Lokal Orang Tugutil
Penyakit yang diderita seseorang, dalam proses pengobatannya selalu didahului dengan mengidentifikasi gejala penyakit atau mendiagnosis. Mendiagnosis penyakit pada seorang penderita tentunya dimiliki oleh sistem medis lokal setiap suku bangsa, termasuk juga pada sistem medis pada suku bangsa Tugutil yang hidup di pedalaman Pulau Halmahera. Salah satu cara orang Tugutil mendiagnosis gejala-gejala penyakit yang diderita adalah dengan cara mawi. Menurut penjelasan dari  bapak Petrus Phenes (45 tahun) mawi adalah cara yang dipakai untuk mencari tahu sebab-sebab seseorang itu jatuh sakit dan penyakit apa yang diderita.
Mawi ga hapake nanga hiri hohinonu, yadodoaho ho yodaene o panyeke, de opanyake okia inadaene.
Mawi itu digunakan untuk mencari sebab sakit, mengapa sampai kita terkena penyakit, dan juga penyakit apa yang sedang kita derita

Pada umumnya para o houru manyawa atau dukun memiliki pengetahuan tentang mawi, karena itu merupakan bagian yang penting dari proses penyembuhan penyakit. Setiap o houru manyawa memiliki cara-cara mawi tersendiri, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya. Informan bapak Silau Tarnate (75 tahun) adalah seorang dukun atau o houru manyawa, yang diwawancarai saat baru selesai melakukan mawi di rumah  bapak Yekon Phenes, beliau menjelaskan cara melakukan mawi yang sering dilakukan adalah sebagai berikut : Beliau menggunakan peralatan piring atau mangkuk putih yang diisi dengan air, beberapa batang lidi yang diambil dari tulang daun enau. Beliau akan menyebutkan penyakit satu persatu sambil melepas batang lidi ke dalam mangkuk atau piring, apabila penyakit yang disebutkan sesuai dengan penyakit yang diderita oleh pasien, maka akan terlihat bayang-bayang yang akan muncul di dalam piring atau mangkuk, dan lidi akan tenggelam ke dasar piring atau mangkuk. Demikian sebaliknya, kalau penyakit belum ditemukan maka lidi akan mengapung saat dilepas ke dalam piring atau mangkuk. Mawi juga bisa mengetahui penyakit yang masih bisa disembuhkan atau tidak bisa lagi disembuhkan.

Mawi dengan cara lain yang dimiliki oleh paitua Kudoti Hakaru (70 tahun) walaupun pada prinsipnya bisa dikatakan sama, karena sama-sama mencari tahu atau mendiagnosis penyakit, hanya saja cara kerja dan instrumennya yang berbeda. Informan menjelaskan bahwa, apabila melakukan mawi cukup dengan menggunakan tali. Caranya, seutas tali dipakai untuk mengukur rentangan tangan, diusahakan panjang tali dan rentangan tangan harus benar-benar sama. 

Setelah dimantrai  tali tersebut akan diukur kembali dengan merentangkan tangan seperti pengukuran semula. Caranya hampir sama seperti cara pertama yang menggunakan piring atau mangkuk putih, dukun akan menyebutkan penyakit satu persatu disertai dengan pengukuran kembali tali yang telah dipotong tersebut. Apabila tali diukur kembali dan lebih pendek dari  rentangan tangan sang dukun maka sebab sakit atau penyakit telah ditemukan, dan bila ukuran tali masih sama dengan rentangan tangan maka penyakitnya belum ditemukan. Menurut penuturan bapak Bawehe Bidos (40 tahun), apabila tali tersebut diukur lagi dan ukurannya lebih panjang dari rentangan tangan sang dukun, maka penyakit yang diderita tersebut tidak dapat lagi diobati atau disembuhkan, maka percuma untuk mencari pengobatan lagi.       

Seorang dukun atau o houru manyawa lainnya yakni paitua Bodik Ti (75 tahun) menuturkan, kalau ada orang yang datang kepadanya atau dipanggil untuk membantu mengobati orang sakit, dia akan mendeteksinya dengan cara memegang tangan pasien tepat di bagian urat nadi atau dadanya pasien. Setelah membaca mantra-mantra di telapak tangan dia akan bertanya kepada pasien, apa yang dirasakan  oleh pasien saat diraba bagian tangan atau dada. Jawaban-jawaban berupa suara atau anggukan kepala dari pasien  dia akan mengetahui penyebab sakit yang diderita. Apakah disebabkan oleh roh-roh jahat atau disebabkan oleh penyebab-penyebab lainnya. Rasa yang ditanyakan berkisar pada rasa dingin, panas atau hangat

Pengobatan Penyakit
Peran dukun atau (o houru manyawa) dan shaman (o gomatere) dalam melakukan terapi (pengobatan) terhadap penyakit, pada orang Tugutil masih sangat penting. Karena sampai saat ini mereka masih tetap mengandalkan penyembuhan penyakit dengan cara-cara tradisional yang selama ini mereka pakai secara turun temurun. Pengobatan yang dilakukan oleh seorang dukun (o houru manyawa) terhadap pasiennya juga masih tetap mengandalkan ramuan (rorano) dan mantra (matara). Pada penyakit-penyakit yang lebih bersifat personalistik pengobatannya lebih mengandalkan mantra (matara) dari pada ramuan (rorano). Karena menurut pemahaman mereka, pengobatan dengan menggunakan mantra mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang disebabkan oleh roh-roh atau makhluk halus lainnya. Walaupun di sisi lain pengobatan dengan menggunakan ramuan (rorano) juga bisa menyembuhkan penyakit-penyakit yang bersifat personalistik. 

Menurut penuturan informan bapak Kudoti Hakaru (75 tahun) bahwa rorano atau ramuan itu selain untuk mengobati penyakit, juga sangat berguna untuk membawa khasiat mantra kedalam tubuh pasien. 
O rorano, nako de idaene ma panyake ga iakunu iowa, mahababu o rorano ga nako hapake nyawa hahouru,  de mapanyake ato to nyawa eko o gomanga madorou, ga yaowa ua. Temoka o rorano hapake homahouru ga mangale o rorano de nanga matara tekeao o roehe oka iwohama, ga lebekai rahai nako de imatekemoteke. 
Kalau mengobati penyakit dengan menggunakan ramuan, dan ramuan itu bisa cocok dengan penyakit, itu bisa saja sembuh. Sebab, ramuan kalau kita pakai untuk mengobati penyakit, dan penyakit itu adalah berasal dari perbuatan manusia atau roh dan makhluk halus, itu tidak akan sembuh. Karena ramuan yang kita gunakan pada pengobatan tersebut, lebih bersifat mengantarkan khasiat mantra kedalam tubuh kita, dan itu lebih baik kalau bisa dilakukan secara bersama.

Karena menurut mereka, pengobatan menggunakan mantra (matara) walaupun tidak dengan ramuan (rorano) dan hanya menggunakan air putih, atau bahkan tidak dengan air putih dan hanya cukup dengan cara ditiup, bisa untuk menyembuhkan penyakit. Oleh sebab itu penggunaan rorano atau ramuan dalam penyembuhan penyakit dengan sebab-sebab yang personalistik, lebih cenderung dianggap sebagai alat untuk mengantarkan khasiat mantra ke dalam tubuh pasien. 

Orang Tugutil juga mengenal konsep hiloloa, yakni ucapan dalam bentuk mantra-mantra pendek yang tujuannya untuk meminta ijin terhadap empunya (madutu) bahan-bahan ramuan saat diambil dari sumbernya. Bahan-bahan berupa daun-daunan, kulit kayu, akar-akaran, bunga dan buah. Bahan-bahan tersebut saat diambil untuk dijadikan ramuan juga memiliki tata cara pengambilan dan disertai dengan mantra-mantra pendek (hiloloa). Hal ini dilakukan dengan harapan khasiat dari bahan-bahan yang diambil tersebut, benar-benar terjaga dan dapat membantu menyembuhkan penyakit. Dalam kepercayaan orang Tugutil, khasiat yang terdapat dalam ramuan bisa hilang apabila tidak mengikuti tata cara pengambilan bahan-bahan yang akan dijadikan ramuan (rorano).

Pengobatan Oleh Dukun (O Houru Manyawa)
Seorang dukun atau o houru manyawa dalam melakukan pengobatan terhadap pasiennya. Setelah melakukan diagnosa dengan melihat gejala-gejala sakit, dengan cara melakukan mawi seorang o houru manyawa akan segera melakukan pengobatan. Pengobatan diawali dengan membacakan mantra-mantra yang disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita, penggunaan air putih sebagai media untuk membantu khasiat mantra masuk ketubuh dengan cara diminum oleh pasien, atau juga pengobatan luar yakni dengan cuci muka dan membasuh bagian tubuh yang sakit.

Seorang dukun biasanya mengambil sendiri bahan-bahan untuk ramuannya. Dukun yang berbeda, biasanya akan memberikan ramuan dan mantra yang berbeda, walaupun    terkadang untuk mengobati jenis penyakit yang sama bahkan dengan gejala-gejala penyakit yang sama pula. Dukun atau o houru manyawa bapak Silau Tarnate (75 tahun) mengobati sakit kepala dengan ramuan sebagai berikut:  
Akar pinang hutan yang masih muda dicampur dengan akar alang-alang muda (kusu-kusu) ditaruh dalam bambu dan direbus dengan menggunakan air yang terdapat dalam batang pisang. Saat mengambil tiga bahan ramuan tersebut posisi tubuh harus membelakangi matahari, hindari pengambilannya pada waktu tengah hari, saat yang baik adalah pagi dan sore. 
Ramuan ini dalam pemahaman beliau, adalah bahan yang banyak mengandung unsur dingin. Oleh sebab itu, mampu untuk mengobati sakit kepala, yang dianggap mengandung unsur panas yang lebih. Setelah ramuannya diberi mantrai langsung diminum dan sebagian diusapkan ke kepala pasien. Bacaan mantranya sebagai berikut:
Bisimirilah hurahman hurahim, dopolo sesosahu, dopolo sesosahu, masosahu kodiho maasal, masabab toma banga, masabab toma ngolo,masabab toma kaha madaha, masabab isai mote kore masabab itagi gila-gila, itagi kodiho ua. Barakati guru, barakati nabi. Barakati alam ma kolano.  
Bisimirilah hurahman hurahim, kepala panas, kepala panas, panasnya kembali keasal, sebabnya dari hutan, sebabnya dari laut dan sebabnya dari dalam tanah. Sebabnya terbang terbawa angin, sebabnya pergi terus, pergi tidak kembali lagi. Berkat guru, berkat nabi dan berkat dari penguasa alam. 

Penyembuhan penyakit dalam sistem medis tradisional dengan etiologi personalistik dan naturalistik, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Menurut Foster dan Anderson, bahwa sistem etiologi penyakit personalistik dan naturalistik tidak bersifat eksklusif antara satu dengan yang lainnya. Orang menggunakan sebab personalistik untuk menjelaskan tentang terjadinya penyakit (disease) biasanya mengakui adanya faktor alam atau unsur kebetulan sebagai penyebab. Sebaliknya, masyarakat yang merasakan lebih banyak terjadinya penyakit karena sebab-sebab yang naturalistik, kadang-kadang menyatakan bahwa beberapa penyakit merupakan sihir atau mata jahat (1986).    

Pengobatan Oleh Shaman (o gomatere)
Orang Tobelo menyebut ritual gomatere dengan istilah idu-idu yang berarti tidur, karena ritual tersebut seorang shaman (o gomatere) memulainya dengan posisi tubuh tidur dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain, sebelum mengalami keadaan tidak sadarkan diri (Koagow, 1980). Orang Tugutil juga mengenal istilah idu-idu, namun mereka jarang bahkan hampir tidak menggunakannya, karena ritual tersebut pada orang Tugutil tidak dilakukan dalam posisi tidur, melainkan dilakukan dalam posisi duduk bersila.  

O gomatere pada orang Tugutil umumnya adalah laki-laki, walaupun ada juga perempuan yang menjadi o gomatere namun itu sangat jarang. Berbeda dengan ritual salai jin pada orang Tidore, yang pada umumnya menggunakan perempuan sebagai leader dalam ritual pengobatan salai jin. Ritual salai jin merupakan ritual pengobatan yang hampir sama dengan ritual gomatere, yang membedakannya adalah, pada ritual salai jin dilakukan dengan iringan bunyi-bunyian (musik) karena menggunakan alat musik gesek (rebab) alat musik pukul (tifa atau gendang dan gong). Perbedaan lainnya juga terdapat pada pemimpin ritualnya, yakni dalam ritual salai jin terdapat dua orang pemimpin jalannya ritual. Yang pertama adalah sawohi, adalah seorang laki-laki yang mengendalikan jalannya ritual dengan membacakan mantra-mantra untuk memanggil jin untuk bisa datang dan merasuki tubuh. Yang kedua adalah jin masimo adalah seorang perempuan yang menari-nari mengikuti musik pengiringnya dan tubuhnya akan dirasuki oleh jin (trance), setelah kerasukan jin masimo akan melakukan diagnosa dan pengobatan terhadap pasien (Abd. rahman, 1998).

Levi Strauss yang diacu oleh Naniek Kasniyah, membedakan secara tegas antara seorang dukun dan shaman. Dukun dalam bahasa inggris adalah medicine man, adalah orang yang ahli dalam penyembuhan, yang disebabkan oleh roh dan kekuatan-kekuatan gaib, berdasarkan kekuatan batin atas kodrati dan pengetahuan eksperimental pengalamannya. Apabila si dukun perlu memasukkan diri kedalam keadaan tidak sadarkan diri (trance) dan memanggil roh-roh pembantu proses penyembuhan, maka sebaiknya disebut shaman. Seorang shaman yang sekaligus berperan sebagai dukun, adalah seorang penyembuh magis yang biasanya bekerja dalam keadaan ektase atau trance yakni keadaan mental tidak sadarkan diri. Dalam keadaan trance, dia sanggup menuruti kemauannya melepaskan roh dari tubuhnya dan mengadakan perjalanan ke “dunia bawah” untuk mengunjungi dan memanggil roh-roh. Oleh karena itu shaman menjadi perantara yang bertindak sebagai wahana roh, mampu berkomunikasi dengan roh itu dan mampu menguasainya. Berdasarkan kemampuannya, shaman menawarkan jasa magisnya sebagai dukun. Cara penyembuhan shamanistis bersifat verbal, dan biasanya tidak menggunakan cara pengobatan fisis atau kimia (2002).

Sesuai dengan defenisi dari Levi Strauss tentang dukun dan shaman tersebut, maka cara kerja seorang o gomatere pada orang Tugutil bisa disebut sebagai sebuah praktik shamanistis. Karena cara seorang o gomatere dalam melakukan pengobatan, juga mengandalkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan roh-roh atau makhluk halus, serta bisa menguasainya untuk dipergunakan dalam melakukan pengobatan dengan cara-cara verbal dan tidak dengan ramuan. Melihat kemampuan lain seorang o gomatere pada orang Tugutil, maka o gomatere bisa juga mengerjakan pekerjaan seorang o houru manyawa atau atau dukun, karena dia juga memiliki kemampuan dalam mengobati pasien dengan berbagai ramuan (rorano) dan mantra (matara). Pada komunitas Tugutil, seorang  o gomatere tidak terlalu diandalkan untuk melakukan pengobatan dengan cara memberi ramuan dan mantra, seperti mereka mengandalkan seorang o houru manyawa atau dukun.

Penutup
Suku bangsa Tugutil sampai saat ini masih menggunakan pengobatan tradisionalnya (etnomedisin) yang diwariskan secara turun temurun. Pengalaman dalam mengatasi persoalan kesehatan (sakit, penyakit, dan pengobatan) dalam komunitas dengan menggunakan pengobatan tradisional mereka, berdampak pada  pemertahanan nilai-nilai medis lokal. Selain itu menurut pemahaman mereka, menggunakan pengobatan tradisional juga bermakna menghormati nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh para leluhur, dalam hal ini nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan pencegahan dan pengobatan penyakit.

Pemahaman secara lokal orang Tugutil tentang persoalan kesehatannya (sehat, sakit dan penyakit) dan bagaimana strategi mengatasinya, memperlihatkan kepada kita bahwa, kerangka konsep tentang sistem medis lokal (local medical system) yang di bangun, mengacu pada nilai-nilai lokal yang diwariskan secara turun temurun maupun dengan pengalaman-pengalaman tentang kondisi sakit dan penyakit dalam komunitas.

Pengetahuan tentang pengobatan tradisional (local medical system) merupakan hal yang sangat penting bagi warga komunitas Tugutil, sebagai bentuk adaptasi lingkungan yang berkaitan dengan penyelesaian masalah kesehatan pada tingkatan awal. Pada tingkatan selanjutnya, orang Tugutil masih mengandalkan kepercayaan terhadap pengobat tradisional yang dimiliki seperti dukun (o houru manyawa) dan shaman (o gomatere) yang masih sangat berperan penting dalam mengobati bahkan mencegah penyakit. 

Sebagai imbas dari pembangunan, orang Tugutil juga ikut tersentuh dampak dari pembangunan tersebut. Orang Tugutil juga telah terjangkau oleh sistem pelayanan medis modern, walaupun masih sangat minim. Program pelayanan sistem medis modern  pada orang Tugutil, belum mampu mempengaruhi sistem medis lokal mereka. orang Tugutil masih lebih memilih menggunakan cara-cara pengobatan tradisional dibandingkan dengan pengobatan medis modern. Ada beberapa masalah yang melatar belakanginya seperti pada persoalan  sosial budaya , geografis dan ekonomi.

Pernyataan seorang dukun (o hauru manyawa) “nako mihiri dema houru” yang artinya kalau kami sakit ada obatnya, merupakan sebuah pernyataan yang menggambarkan dengan sangat jelas dan tegas, bahwasanya orang tugutil masih bisa mengatasi berbagai persoalan kesehatan yang mereka alami dalam komunitas (sehat, sakit, penyakit, pencegahan, dan pengobatan). 


Share:
Komentar

Terkini