![]() |
Seorang "dimono" atau orang yang dituakan, dengan anak dan cucunya (Foto: Safrudin Abdulrahman). |
Safrudin Abdulrahman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti Yayasan The Tebings)
O hongana Manyawa atau orang Tugutil adalah suku bangsa yang hidup di pedalaman pulau Halmahera provinsi Maluku Utara. Mereka hidup tersebar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Orang Tugutil hidup berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat lainnya. Hutan yang ditempati merupakan hutan milik mereka sendiri. Mereka tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan suku bangsa lainnya yang juga berada di Pulau Halmahera.
Persebaran orang Tugutil di pedalaman Halmahera terdapat di wilayah Halmahera bagian utara dan tengah, yang diperkirakan tidak lebih dari 1250 sampai 1500 orang, di Halmahera Utara terdapat di Kecamatan Galela, Tobelo dan Kao. Daerah Halmahera bagian tengah orang Tugutil terdapat di Kecamatan Wasile, Maba dan Patani (Martodirjo, 1994). Berdasarkan data peta persebaran komunitas adat terpencil Kementrian Republik Indonesia, orang Tugutil tersebar dalam kelompok-kelompok kecil hampir di seluruh pedalaman Pulau Halmahera (Kemensos RI, 2009 ).
Agar bisa membedakan antara kelompok-kelompok orang Tugutil yang tersebar di pulau Halmahera, biasanya masyarakat menggunakan sebutan nama etnis (Tugutil) disertai dengan nama lokasi atau wilayah yang ditempatinya. Seperti Tugutil Dodaga adalah orang Tugutil yang mendiami wilayah Desa Dodaga (Tugutil Loleba, Tugutil Foli, Tugutil Lina, Tugutil Kusuri, Tugutil Miaf, Tugutil Marasipno, dan lokasi lainnya yang tersebar di sebagian besar wilayah pulau Halmahera (Safrudin, 2013).
Sejarah Orang Tugutil Sampai Tinggal di Hutan
Menurut sejarahnya, orang Tugutil merupakan komunitas yang sebelumnya mendiami wilayah pesisir, yakni di wilayah pesisir pulau Halmahera bagian Utara (teluk Kao). Pada masa penjajahan Belanda seluruh masyarakat dikenakan pajak (balasting) tidak terkecuali kepada orang Tugutil. Karena orang Tugutil enggan untuk membayar pajak, maka mereka menyingkir ke wilayah pedalaman agar terhindar dari pajak dan kejaran penagih pajak (Belanda). Wilayah pertama yang mereka tempati adalah daerah sekitar danau Talaga Lina, selanjutnya mereka tersebar ke daerah-daerah lain di wilayah pedalaman pulau Halmahera, yakni ke Halmahera bagian utara, tengah dan timur.
Penyebutan orang Tugutil dipakai oleh masyarakat pada umumnya, para ahli bahasa, pemerintah daerah, antropolog dan para peneliti lainnya (Miete, 1936; Huliselan, 1978; Martodirjo, 1993; Topatimasang, 2004; FSB Unkhair,2008; Ulaen, 2010). Warga desa yang hidup di sekitar komunitas Tugutil, menyebut orang Tugutil dengan sebutan orang suku atau orang asli (Dinas Sosial Maluku Utara, 2007). Sementara itu penamaan orang Tugutil dengan berbagai sebutan tersebut tidak diketahui atau dipahami oleh orang Tugutil itu sendiri. Orang Tugutil lebih senang dan akrab bila disebut dengan ohongana manyawa atau o honganoka, yang padanannya dalam bahasa Indonesia berarti “orang rimba atau hutan”. Orang yang hidup dan mendiami hutan, sebagai kebalikan dari istilah oberera manyawa atau orang yang hidup di kampung (orang pesisir).
Bagaimana Sistem Kekerabatan Orang Tugutil
Sebagai komunitas yang tinggal di hutan, mereka mengenal tiga tingkatan konsep dan bentuk kesatuan hidup setempat dalam organisasi sosial mereka, dari yang terkecil sampai yang terbesar. Yang pertama adalah konsep kesatuan rumah (otau moi), kedua adalah konsep kesatuan pemukiman (ogogere moi) dan yang ketiga adalah konsep kesatuan hutan (ohongana moi).
Kesatuan rumah (o tau moi manyawa) pada orang Tugutil bermakna orang dalam satu rumah secara sosial o tau moi manyawa, dan satu rumah dalam makna fisik sebagai satu bangunan rumah tempat tinggal o tau. Kesatuan rumah merupakan wadah bagi keberadaan dan sekaligus dinamika kesatuan rumah tangga penghuninya. Dalam hal ini kesatuan rumah dilihat sebagai fenomena yang keberadaannya berhubungan erat dengan kehidupan rumah tangga penghuninya, baik itu dalam kehidupan ekonomi maupun dalam kehidupan sosial dan spiritual. Dengan demikian pembangunan rumah dari segi bentuk, posisi, pengaturan ruang disesuaikan dengan kebutuhan penghuninya dalam keseharian mereka.
Kesatuan pemukiman (o gogere moi manyawa) adalah satu lokasi pemukiman yang di dalamnya terdapat sejumlah kesatuan rumah. Setiap lokasi pemukiman akan diberi nama, nama-nama lokasi pemukiman biasanya dipakai nama-nama jenis tumbuhan yang banyak terdapat di tempat tersebut, atau juga nama pohon besar, batu atau sungai. Jumlah kesatuan rumah yang terdapat dalam satu lokasi pemukiman berkisar 2 sampai 6 rumah. Kesatuan-kesatuan pemukiman pada umumnya dibangun dekat sungai.
Kesatuan Hutan (o hongana moi manyawa) merupakan ikatan kesatuan hidup setempat menurut batas kewilayahan dalam bentuk kesatuan hutan dengan batas-batasnya yang mereka ketahui bersama. Batas-batas kesatuan hutan tersebut tidak tegas, karena dalam kenyataannya sering terjadi pelanggaran batas wilayah yang dilakukan oleh masing-masing penghuni kesatuan hutan, terutama dalam hubungannya dengan aktivitas pencarian bahan makanan.
Bagaimana Sistem Kepemimpinan Orang Tugutil
Odimono adalah panggilan untuk orang tua atau orang yang dituakan. Umumnya panggilan dimono digunakan untuk orang yang dituakan dari faktor usia dan pengetahuannya terhadap pengobatan penyakit. Menurut orang Tugutil, apabila seseorang sudah berusia tua dia pasti punya pengetahuan tentang pengobatan. Karena menurut kebiasaan mereka, seorang lelaki dewasa harus mempelajari pengetahuan tentang pengobatan dari para dimono.
Orang Tugutil tidak mengenal kepala suku atau ketua adat. Dalam setiap kelompok pemukiman (o gogere moi) akan dipimpin oleh seorang yang lebih tua dan dituakan. Oleh sebab itu, dalam sistim kepemimpinan pada orang Tugutil tidak mengenal tata cara pengangkatan atau pemilihan pimpinan, dan juga tidak ada bentuk atau pola pewarisan kepemimpinan. Predikat sebagai orang yang dituakan atau disebut dimono akan disematkan oleh warga kelompok, seiring dengan bertambahnya usia dan tingkat pengetahuannya. Dengan demikian dalam satu kelompok pemukiman terdapat beberapa orang dimono yang juga sebagai o houru manyawa.
O houru Manyawa adalah sebutan orang Tugutil yang disematkan kepada seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam pengobatan. Dalam bahasa Tobelo, (houru = obat, ma = memiliki atau mempunyai, dan nyawa = orang), dapat diartikan o houru manyawa adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengobati penyakit. Seorang yang disebut sebagai o houru manyawa pada umumnya telah lanjut usia (berusia sekitar diatas 50 tahun keatas). Walaupun ada juga yang berusia lebih muda dari usia seorang o houru manyawa, namun mereka belum dikategorikan sebagai seorang o houru manyawa o dimonoka, atau seorang o houru manyawa yang dituakan. O houru manyawa pada umumnya adalah laki-laki, walaupun dalam kelompok orang Tugutil juga terdapat perempuan yang memiliki kemampuan untuk mengobati penyakit.
Seorang o houru manyawa pada komunitas Tugutil tidak saja bisa mengobati penyakit tetapi juga memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lain, seperti melakukan pencegahan terhadap penyakit, dan memimpin ritual-ritual lainnya yang dilaksanakan oleh warga komunitas. Seperti ritual pencegahan penyakit, ritual yang berkaitan deangan aktivitas pertanian, menanam dan memanen padi, serta membuka lahan tanam yang baru. Selain itu juga, mereka berperan dalam ritual-ritual seputar lingkaran hidup (life cycle), yakni ritual kelahiran, perkawinan, dan ritual-ritual yang berhubungan dengan persembahan terhadap roh-roh atau gomanga. Para o houru manyawa, dalam masyarakat Tugutil juga sering dipanggil dengan sebutan o dimono.
Bagaimana Sistem Mata Pencaharian Orang Tugutil
Orang Tugutil masih melakukan aktivitas berburu dan meramu. Pada aktivitas berburu, mereka berburu hewan di hutan seperti babi dan rusa. Aktivitas berburu menggunakan tombak dan panah, seringkali juga dibantu oleh beberapa ekor anjing. Anjing merupakan binatang yang diandalkan dalam berburu, karena memiliki penciuman yang kuat untuk mendeteksi keberadaan hewan buruan. Orang Tugutil juga menggunakan perangkap untuk menangkap hewan buruannya. Orang Tugutil menggunakan beberapa jenis perangkap yang sifatnya menjerat dan menikam hewan buruan. O modoi adalah perangkap yang sifatnya menjerat hewan buruan pada bagian kaki atau badan, serta baatuku adalah jenis perangkap yang langsung membunuh hewan buruan.
Selain berburu mereka juga masih melakukan aktivitas meramu. Memukul sagu adalah salah satu aktivitas yang dilakukan di kawasan hutan sagu yang luas dan lebat di sekitar sungai. Pohon sagu yang dianggap telah cukup untuk diambil tepung sagunya berusia sekitar 10 sampai 12 tahun. Kegiatan memukul sagu dilakukan secara bersama-sama masih dalam satu keluarga inti, terutama seorang kepala rumah tangga dengan anak laki-laki dewasanya. Selain memukul sagu mereka juga mencari telur ayam hutan (moleu) sebagai tambahan lauk selain ikan dan daging hewan buruan.
Selain berburu dan meramu warga orang Tugutil Totodku juga menangkap ikan di sungai, danau dan di rawa sebagai mata pencaharian tambahan. Menangkap ikan umumnya dilakukan dengan menggunakan panah ikan (toimi) dan tombak ikan yang bermata tiga. Menangkap ikan juga sering dilakukan pada malam hari, dengan menggunakan alat penerangan berupa obor yang terbuat dari damar yang dibungkus dengan daun serdang woka. Jenis ikan yang sering ditangkap seperti ikan mujair, belut. Selain itu juga mereka menangkap udang dan katak. Menangkap ikan dan udang dengan cara diracuni sering dilakukan dengan menggunakan akar-akaran yang mengandung racun.
Selain berburu, meramu, dan menangkap ikan di sungai, orang Tugutil juga mengusahakan kebun-kebun sederhana di sekitar rumah. Orang Tugutil yang telah tinggal di dekat kampung atau telah membuat perkampungan sendiri, mereka mulai membuka hutan untuk dijadikan lahan yang ditanami kelapa, di samping itu juga mereka menanam berbagai jenis tanaman seperti pisang (bole), singkong (o kahibi) dan ubi jalar (o gumuni).
Kebun milik warga hanya dalam ukuran kecil, pada umumnya kurang dari setengah hektar, untuk keperluan menanam tanaman kebutuhan sehari-hari berupa pisang, ubi jalar dan singkong. Orang Tugutil juga menanam padi ladang, kebiasaan menanam padi pada orang Tugutil telah ada sejak dulu, namun tidak diusahakan dalam jumlah yang besar. Penggunaan lahan yang sangat kecil dan dilakukan pada beberapa tempat, menyebabkan mereka tidak perlu membuka lahan baru dengan menebangi hutan.
Bagaimana Orang Tugutil Mengobati Sakitnya.
Kondisi tubuh manusia itu terbagi dua yakni, kondisi sehat dan kondisi sakit. Kondisi sehat tidak menjadi masalah, namun kondisi sakit karena penyakit adalah masalah. Menurut pemahaman orang Tugutil penyakit disebabkan oleh dua sebab yakni, pertama adalah sebab yang “bukan” dari alam (o alamua ma panyake) adalah penyakit yang disebabkan oleh perbuatan manusia dan roh-roh halus. Sebab yang kedua adalah sakit yang berasal dari alam (o alam mapanyake), adalah sakit yang sebabnya diketahui bersifat alami atau natural.
Apa yang mereka lakukan apabila sakit? Orang Tugutil melakukan pengobatan berdasarkan pada dua sebab tersebut, yakni sebab yang berasal dari alam dan sebab yang bukan dari alam. Untuk mengetahui bagaimana cara mengobati dan apa yang menyebabkan seseorang menjadi sakit, maka perlu tindakan dari seorang penyembuh (o haouru manyawa) untuk mencari tahu sebab sakit. Seorang shaman (gomatere) atau dukun mempunyai kekuatan besar untuk dapat mengidentifikasi penyebab sakit.
Penyembuh lokal pada orang Tugutil adalah dukun (o houru manyawa) dan shaman atau (o gomatere). Kedua penyembuh lokal ini juga memiliki kemampuan untuk mendiagnosa sebab dan jenis penyakit yang diderita oleh seseorang. Seorang dukun atau o houru manyawa mengandalkan kekuatan-kekuatan supranaturalnya dalam mendiagnosis sebab-sebab sakit, dengan cara-cara yang telah dipelajarinya.
Mendeteksi penyakit atau sebab sakit pada orang Tugutil sering dilakukan oleh para dukun o houru manyawa, tetapi kadang juga di lakukan oleh seorang shaman (o gomatere). Pendeteksian penyakit oleh seorang dukun dengan cara mawi dilakukan dengan beberapa cara, namun tujuannya hanya satu yakni mengetahui sebab-sebab seseorang itu menjadi sakit dan bagaimana cara pengobatannya.
Bagaimana pengobatan yang dilakukan oleh seorang dukun (o houru manyawa) terhadap pasiennya ?. Dukun tetap mengandalkan ramuan (rorano) dan mantra (matara). Pada penyakit-penyakit yang sebabnya bukan alam (o alamua mapanyake) pengobatannya lebih mengandalkan mantra (matara) dari pada ramuan (rorano). Karena menurut pemahaman mereka, pengobatan dengan menggunakan mantra mampu menyembuhkan berbagai penyakit yang disebabkan oleh roh-roh atau makhluk halus lainnya.
Orang Tugutil juga mengenal kebiasaan hiloloa, yakni ucapan dalam bentuk mantra-mantra pendek yang tujuannya untuk meminta ijin terhadap empunya (madutu) bahan-bahan ramuan saat diambil dari sumbernya. Bahan-bahan berupa daun-daunan, kulit kayu, akar-akaran, bunga dan buah. Bahan-bahan tersebut saat diambil untuk dijadikan ramuan juga memiliki tata cara pengambilan dan disertai dengan mantra-mantra pendek (hiloloa). Hal ini dilakukan dengan harapan khasiat dari bahan-bahan yang diambil tersebut, benar-benar terjaga dan dapat membantu menyembuhkan penyakit. Dalam kepercayaan orang Tugutil, khasiat yang terdapat dalam ramuan bisa hilang apabila tidak mengikuti tata cara pengambilan bahan-bahan yang akan dijadikan ramuan (rorano).
Bagaimana Kondisi Orang Tugutil Saat Ini.
Orang Tugutil saat ini sebagian masih menjalani pola kehidupan nomaden atau berpindah-pindah, walaupun sebagian sudah hidup menetap dan membangun perkampungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi orang Tugutil hidup menetap adalah program pemerintah yang memukimkan mereka melalui pemukiman kembali masyarakat terasing. Setelah hidup menetap, mereka juga sudah melakukan aktivitas pertanian yang menetap juga. Mereka tidak lagi melakukan bercocok tanam dengan sistem ladang berpindah.
Orang Tugutil juga sudah mulai biasa mengakses fasilitas-fasilitas umum yang disediakan oleh pemerintah, seperti pendidikan dan kesehatan. Orang Tugutil juga sebagian telah menganut agama, terutama agama kristen. Walaupun sebagian dari mereka belum menganut agama.
Indonesia adalah negara yang dihuni oleh lebih dari 300 suku bangsa, hal ini memperlihatkan keragaman budaya yang sangat tinggi. Orang Tugutil merupakan bagian dari keragaman budaya bangsa tersebut. Mengenal cara hidup atau budaya orang Tugutil juga merupakan bagian dari mengenali budaya bangsa.