![]() |
Seorang "gomatere" sementara kerasukan (trence) melakukan proses diagnosa dan pengobatan pada pasiennya
(Foto: Safrudin Abdulrahman)
|
Safrudin Abdulrahman
(Pengajar Antropologi FIB Unkhair; Peneliti Yayasan The Tebings)
Gomatere adalah ritual pengobatan yang masih sering dilakukan oleh orang Tugutil untuk mendiagnosis, mengobati, bahkan untuk mencegah penyakit. Ritual gomatere juga sampai saat ini masih menjadi salah satu alternatif dalam sistem pengobatan pada orang Tugutil, khususnya pada penyakit-penyakit yang dianggap berat dan tidak kunjung sembuh. Ritual pengobatan gomatere dilakukan oleh seorang shaman dalam keadaan kerasukan trance, saat berada dalam keadaan kerasukan diyakini seorang shaman mampu mendiagnosa dan mengobati berbagai macam penyakit. Walaupun saat ini orang Tugutul sudah mulai diperkenalkan dengan sistem pelayanan medis modern, namun mereka masih saja memiliki berbagai alasan yang sifatnya menolak kehadiran nilai-nilai baru dalam sistem medis tradisional mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih tetap berpegang pada nilai-nilai sistem medis yang diwariskan secara turun temurun, karena diyakini masih memberikan kontribusi dalam kerangka sistem medis tradisional mereka. Mempertahankan sistem medis tradisional, berarti mereka juga masih mempertahankan ritual-ritual yang berkaitan dengan pengobatan dan pencegahan penyakit.
Pendahuluan
Van Gennep menjelaskan bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan individu dari satu status sosial ke status sosial lainnya. Ritual penerimaan, ritual inisiasi, termasuk ritual di masa puberitas, pertunangan dan perkawinan, masa mengandung, saat kelahiran bayi, serta pemakaman merupakan kesempatan-kesempatan utama dari ritual (Dhavamony 2001). Bagi suku-suku bangsa yang masih berpola hidup berburu dan meramu, pada umumnya melakukan ritual-ritual adat dan kepercayaan yang menyangkut dengan sistem kesehatan mereka (medical system), yakni penyembuhan dan pencegahan terhadap penyakit, di samping itu juga untuk tujuan menghindari bahaya yang mengancam keselamatan diri dan kelompok.
Ritual-ritual penyembuhan dan pencegahan penyakit cenderung lebih dipertahankan keberadaannya, bila dibandingkan dengan ritual-ritual lainnya yang dimiliki oleh sebuah suku bangsa. Orang Tugutil di Pulau Halmahera memiliki beberapa ritual yang masih tetap dipertahankan, karena menurut kepercayaan mereka ritual-ritual tersebut masih memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan. Ritual gomatere adalah salah satu ritual yang masih tetap dipertahankan, ritual ini lebih sering dilaksanakan karena berkaitan dengan proses penyembuhan penyakit berat atau penyakit sudah lama tidak kunjung sembuh, yang menurut mereka penyakit tersebut lebih disebabkan oleh agen-agen yang bersifat personalistik.
Sistem keyakinan asli orang Tugutil berpusat pada roh-roh leluhur sebagai makhluk-makhluk halus yang menempati alam lingkungan sekitar mereka, yang disebut dengan o gomanga. Selain kepercayaan terhadap roh atau makhluk halus, juga terdapat kepercayaan tentang adanya kekuatan-kekuatan sakti yang ada pada benda-benda tertentu. Demikian halnya dengan keyakinan orang Tugutil terhadap hal-hal yang ada di alam ini, memiliki jiwa dan perasaan yang disamakan dengan manusia. Sehingga dalam kehidupan religinya, orang Tugutil menempatkan dan memperlakukan serta menghormati benda-benda tersebut selayaknya menghormati sesama manusia.
Konsep utama pada sistem religi orang Tugutil yang memandang tentang hakekat manusia, bahwa manusia itu terdiri dari tiga unsur utama yang merupakan satu kesatuan, dan saling melengkapi sekaligus menggambarkan eksistensi manusia. Ketiga unsur utama itu adalah o roehe, o gikiri dan o gurumini. O roehe adalah tubuh fisik atau jasmani manusia, sedangkan o gikiri adalah nyawa yang dianggap sebagai penggerak atau menyebabkan kehidupan seseorang, unsur yang ketiga adalah o gurumini adalah unsur yang memberi semangat (spirit) dan menjadikan manusia berbeda secara hakiki dengan makhluk-makhluk lainnya. Kematian menurut pemahaman orang Tugutil merupakan sebuah proses dimana o gikiri atau nyawa keluar meninggalkan o roehe atau tubuh fisik, dan tubuh fisik akhirnya menjadi mayat. O gikiri keluar bersama dengan o gurumini meninggalkan o roehe, kedua unsur tersebut secara keseluruhan merupakan roh yang dianggap tetap hidup dan berada di lingkungan sekitar mereka (Martodirdjo, 1993). Dengan alasan tersebut orang Tugutil tidak hanya percaya kepada roh-roh orang yang telah meninggal tetapi juga menghormati dan bahkan memujanya, terutama roh-roh para leluhur yang disebut o gomanga.
Pengertian Shamanisme
Pada abad ke 17 para ahli di Eropa timur memperkenalkan kata shamanisme dalam literatur-literaturnya. Istilah shaman berasal dari Asia Utara dan Asia Tengah khususnya dari suku bangsa Tungus dalam bahasa sansekerta India, kata shaman muncul sebagai suatu fenomena psikologi dan religius. Hujah Eliade, seorang ahli sejarah religi mendefenisikan bahwa shamanisme adalah tekhnik-tekhnik ekstase. Hal ini berhubungan dengan aktivitas seorang shaman pada suku bangsa Tungus yang membiarkan tubuhnya menjadi rumah bagi roh-roh orang yang sudah mati. Seorang shaman menggunakan berbagai cara agar bisa mencapai tujuan yakni kerasukan (trance) dalam melakukan ritual. Tubuh seorang shaman yang telah dirasuki oleh roh, memiliki kamampuan dalam berperilaku sama seperti dengan perilaku roh yang telah merasukinya. Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut shaman dapat berbentuk ramalan-ramalan atau mantra-mantra kesembuhan dan juga jawaban dari berbagai pertanyaan (Nadel dalam Koagow, 1980).
Menurut Levi Strauss, shaman adalah seorang penyembuh magis yang biasanya bekerja dalam keadaan ekstase , yakni keadaan mental yang tidak sadarkan diri. Dalam keadaan ekstase atau trance seorang shaman mampu menuruti kemauannya melepaskan roh dari tubuhnya dan melakukan perjalanan “dunia bawah” untuk mengunjungi dan memanggil roh-roh. Oleh karena itu shaman menjadi perantara yang bertindak sebagai wahana roh, mampu berkomunikasi dengan roh dan mampu menguasainya. Berdasarkan kemampuannya tersebut, seorang shaman menawarkan dirinya sebagai seorang dukun. Levi Strauss juga membedakan secara tegas antara seorang dukun dan shaman. Dukun adalah orang yang ahli dalam penyembuhan penyakit, yang disebabkan oleh roh dan kekuatan-kekuatan gaib, berdasarkan kekuatan batin atas kodrati dan pengetahuan eksperimental pengalamannya. Apabila sang dukun perlu memasukkan diri ke dalam keadaan tidak sadar (trance) dan memanggil roh-roh pembantu proses penyembuhan maka sebaiknya disebut sebagai shaman ( Kasniyah, 2002).
Foster dan Anderson (1986) menyebutkan bahwa dalam sistem etiologi personalistik, menuntut seorang shaman harus memiliki kekuatan besar untuk dapat mengidentifikasi agen-agen penyebab penyakit (disease). Sistem etiologi personalistik membutuhkan penyembuh yang memiliki kekuatan supranatural atau ramalan magis. Shaman, dengan cara berkomunikasi langsung dengan alam roh dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan “siapa” dan “mengapa” yang merupakan jawaban-jawaban logis terhadap kebutuhan konsep-konsep kausalitas ganda. Mengacu pada pengertian “siapa” dan “mengapa” seorang shaman dapat mendiagnosis melalui konsultasi dengan roh halus dalam keadaan kerasukan (trance), shaman kerasukan roh lain yang dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarganya tentang sebab-sebab sakit.
Pengertian O gomatere (Shaman)
Konsep o gomatere memiliki dua pengertian dalam komunitas Tugutil, pengertian yang pertama adalah orang yang melakukan pengobatan dengan menggunakan media roh atau makhluk halus dan dilakukan dalam keadaan kerasukan (trance). Pengertian yang kedua adalah sebagai nama dari ritual atau upacara pengobatan tersebut (ritual gomatere). Untuk memahami pemakaian konsep o gomatere dalam tulisan ini, sengaja dibuat pemisahan agar bisa dibedakan antara istilah o gomatere dan gomatere, pemisahan ini berdasarkan pada penggunaan kedua konsep tersebut pada orang Tugutil. Makna yang pertama adalah orang yang melakukan pengobatan disebut (o gomatere) shaman, sedangkan untuk ritual atau upacaranya mereka menyebut (gomatere) tanpa huruf “o”. Pada orang Modole di wilayah Kao bagian barat, mereka menyebut ritual tersebut dengan istilah idu-idu yang berarti tidur, hal ini disebabkan seorang shaman melakukan ritual diawali dengan posisi tubuh tidur dan seluruh tubuhnya ditutupi dengan kain, sebelum mengalami keadaan tidak sadarkan diri trance (Koagow, 1980). Orang Tugutil juga mengenal istilah idu-idu, namun mereka jarang bahkan hampir tidak menggunakannya, karena ritual gomatere pada orang Tugutil tidak dilakukan dalam posisi tidur, melainkan dilakukan dalam posisi duduk bersila.
Pada satu komunitas orang Tugutil biasanya terdapat dua sampai tiga orang shaman o gomatere bahkan bisa lebih (Abdulrahman, 2013). O gomatere pada orang Tugutil umumnya adalah laki-laki, walaupun ada juga perempuan yang menjadi o gomatere namun itu sangat jarang. Berbeda dengan ritual salai jin pada orang Tidore, yang pada umumnya menggunakan perempuan sebagai leader dalam ritual pengobatan salai jin. Ritual salai jin merupakan ritual pengobatan yang hampir sama dengan ritual gomatere, yang membedakannya adalah, pada ritual salai jin dilakukan dengan iringan bunyi-bunyian (musik) karena menggunakan alat musik gesek (rebab) alat musik pukul (tifa atau gendang dan gong). Perbedaan lainnya juga terdapat pada pemimpin ritualnya, yakni dalam ritual salai jin terdapat dua orang pemimpin ritual. Yang pertama adalah sawohi, adalah seorang laki-laki yang mengendalikan jalannya ritual dengan membacakan mantra-mantra untuk memanggil jin untuk bisa datang dan merasuki tubuh. Yang kedua adalah jin masimo adalah seorang perempuan yang menari-nari mengikuti musik pengiringnya dan tubuhnya akan dirasuki oleh jin (trance), setelah kerasukan jin masimo akan melakukan diagnosa dan melakukan pengobatan terhadap pasien (abdulrahman, 1998).
Sesuai dengan beberapa defenisi yang telah dipaparkan sebelumnya tentang shaman, maka cara kerja o gomatere pada orang Tugutil bisa disebut sebagai sebuah praktik shamanistis. Karena cara o gomatere dalam melakukan pengobatan, juga mengandalkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan roh-roh o gomanga, serta bisa menguasainya untuk dipergunakan dalam melakukan pengobatan dengan cara-cara verbal dan tidak dengan ramuan. Kemampuan lain o gomatere, bisa mengerjakan pekerjaan seorang o houru manyawa atau atau dukun, karena dia juga memiliki kemampuan dalam mengobati pasien dengan berbagai ramuan (rorano) dan mantra (matara). Walaupun dalam komunitas Tugutil, seorang o gomatere tidak terlalu diandalkan untuk melakukan pengobatan dengan cara memberi ramuan dan mantra, sebagaimana mereka mengandalkan seorang o houru manyawa atau dukun.
Pengertian O gomanga (roh),
Sistem religi orang Tugutil masih sangat dipengaruhi oleh roh-roh para leluhur mereka o gomanga. Berbagai bentuk pemujaan masih tetap dilakukan, seperti memberi sesajen dan memintah berkah atau pertolongan terhadap o gomanga. Hal-hal seperti ini masih terus dilakukan, karena mereka masih meyakini hubungan yang terjalin antara setiap keluarga dengan roh leluhur yang dimilikinya. Sesajin tidak saja diberikan kepada o gomanga yang merupakan roh leluhur dalam keluarga, tetapi juga terhadap o dilikene (roh jahat) atau juga disebut o gomanga madorou. Sesajin untuk o dilikene diberikan sebagai tanda permohonan maaf atas kesalahan yang diperbuat karena mengusik o dilikene di hutan secara tidak disengaja. Orang Tugutil juga percaya bahwa o dilikene yang mengganggu mereka dengan membuat sakit anggota keluarga, itu karena balas dendam roh jahat atau o dilikene terhadap keturunan orang yang telah membunuhnya (Abdulrahman, 2013).
Orang Tugutil mengenal dua jenis o gomanga atau roh orang yang sudah meninggal, yakni roh yang bersifat baik dan roh yang bersifat jahat. O gomanga yang bersifat baik, karena dianggap selalu membantu dan menjaga keselamatan (o gomanga maowa), o gomanga maoa merupakan roh dari orang tua atau para leluhur mereka yang akan selalu menjaga dan melindungi anak cucunya. Sedangkan roh yang bersifat jahat disebut o dilikene atau o gomanga madorou adalah roh dari orang-orang yang meninggal dengan cara-cara yang tidak wajar, seperti dibunuh, bunuh diri, jatuh dari pohon, meninggal karena melahirkan, diserang binatang buas dan sebagainya. Meninggal dengan cara-cara tersebut dalam pandangan orang Tugutil rohnya akan menjadi jahat karena selalu penasaran, dan sebagai pelampiasannya mereka akan selalu mengganggu kehidupan manusia.
Pendapat tentang roh atau mahluk halus pada setiap orang dalam sebuah suku bangsa akan berbeda-beda. Namun dalam perbedaan tersebut, terdapat kesepakatan tentang adanya makhluk halus dan pentingnya keberadaan makhluk halus. Setiap orang nampaknya mempunyai pendapat sendiri mengenai sifat dan bentuk makhluk halus yang tepat dan didukung oleh beberapa pengalaman pribadi untuk membuktikannya. Clifford Geertz menulis tentang kepercayaan terhadap roh pada kalangan abangan di Mojokuto bukanlah merupakan bagian dari suatu skema yang konsisiten dan terintegrasi, tetapi lebih berupa serangkaian imaji-imaji yang berlainan, konkrit, spesifik, yang dirumuskan secara agak tajam. Juga metafora-metafora yang terlepas satu sama lain, yang memberi bentuk kepada berbagai pengalaman yang kabur dan yang kalau tidak demikian akan tidak dapat dimengerti (1981).
Ritual Gomatere
Ritual gomatere dilaksanakan jika ada permintaan dari pihak keluarga pasien, yang sebelumnya telah dirundingkan bersama. Pengobatan orang sakit dengan cara melakukan ritual gomatere apabila penyakit yang diderita tidak kunjung sembuh. Seorang dukun o houru manyawa telah menerawang dengan cara mawi yang hasilnya adalah pasien tersebut harus diobati oleh o gomatere karena sakit yang diderita penyebabnya adalah berasal dari roh o gomanga atau makhluk halus. Dalam pelaksanaan ritual, o gomatere bekerja untuk menemukan dan kemudian mengobati. O gomatere berperan sebagai perantara antara pasien dan roh o gomanga yang dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan pengobatan. O gamatere yang dalam keadaan kerasukan (trance), saat itu roh leluhur atau o gomanga masuk ke dalam tubuh o gomatere, yang diangap sebagai o houru madutu (houru = obat, madutu = pemilik) atau pemilik obat. Melalui perantara tubuh o gomatere sebagai medium, o houru madutu akan memberikan keterangan dan petunjuk tentang penyakit yang diderita, faktor-faktor penyebabnya, jenis obat yang diberikan dan cara pengobatannya. Selesai melakukan pengob.
Ritual gomatere yang dilaksanakan oleh keluarga Petrus Phenes pada hari sabtu tanggal 2 November 2017 sekitar pukul 8.00 WIT. Dalam ritual tersebut, paitua Pereke Were-Were yang berusia sekitar 50 tahun diminta untuk melakukan pengobatan dengan ritual gomatere. Bapak Pereke Were-Were adalah salah satu gomatere dari dua orang o gomatere yang menetap di Dusun Totodoku. Ritual dilakukan untuk mengobati anak bungsu dari bapak Petrus Phenes yang berusia 13 tahun. Pasien menderita penyakit sakit kepala dan panas tinggi sudah sepuluh hari tidak kunjung sembuh, walaupun telah diobati oleh dua orang dukun o houru manyawa. Dukun pertama adalah bapak Silau Ternate dan yang kedua adalah Bapak Bodik Ti, namun kondisi kesehatannya tidak kunjung pulih. Bapak Bodik Ti akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan mawi (menerawang untuk mencari sebab sakit), hasilnya bahwa sebab sakit dari anak tersebut karena diganggu roh atau o gomanga.
Hasil mawi tersebut mereka berkesimpulan bahwa, pengobatan dianggap lebih tepat dilakukan oleh o gomatere. Karena o gomatere dianggap memiliki kemampuan untuk untuk berkomunikasi dengan o gomanga yang mengetahui dimana jiwa (gurumini) seorang anak disembunyikan oleh roh yang mengakibatkan seseorang jatuh sakit. O gomatere memiliki sahabat roh dan makhluk halus lainnya berupa jin (o jini) atau o moro. Bapak Pereke Were-Were sebagai seorang o gomatere memiliki sahabat dari kalangan moro (o moroka atau homola), dan roh atau gomanga.
Keluarga yang hendak melakukan ritual harus menyiapkan peralatan untuk ritual tersebut. Peralatan yang disiapkan yakni satu buah piring berwarna putih yang diisi dengan tiga buah pinang, tiga batang sirih yang dipilih tidak boleh yang bengkok, kapur sirih dan tiga batang rokok. Peralatan tersebut ditutupi dengan kain merah polos berukuran sekitar dua meter, selain itu juga, disiapkan daun kemangi yang kering. o gomatere datang sekitar pukul 07.00 dan memang telah ditunggu oleh keluarga pasien. Dalam keadaan yang gelap hanya dengan cahaya lampu minyak tanah (loga-loga atau poci) ritual bisa dilaksanakan.
O gomatere mengambil posisi bersila dan mengambil kain merah yang dilipat rapi menutupi piring putih yang telah diisi dengan peralatan upacara. Kain merah dipakai untuk menutupi seluruh tubuh o gomatere, selanjutnya o gomatere mengambil beberapa helai daun kemangi kering dan dikucak diantara kedua telapak tangannya, selanjutnya diusapkan di wajah dan tubuh o gomatere. Sambil berdengung sesekali keluar suara-suara kecil, dalam posisi mulutnya tertutup rapat dan menarik udara melewati bibir, saat itu pemanggilan sahabat oleh o gomatere dimulai.
Berselang sekitar satu dua menit kemudian, tubuh o gomatere seperti tersentak dua sampai tiga kali dan kemudian o gomatere mulai kerasukan (trance). O gomatere membuka kain merah bagian atas yang menutupi kepalanya, dan o gomatere mulai berbicara atau berkomunikasi dengan keluarga pasien dengan tampilan yang berbeda saat o gomatere masih dalam keadaan sadar. Ucapan dan suara o gomatere telah berubah dan terdengar lebih berat, sesekali diiringi ketawa. Selain itu terlihat perubahan wajah o gomatere yang menjadi tegang, matanya liar sesekali terpejam sambil mengutarakan sebab-sebab sakit dari pasien. Bahasa yang digunakan tetap dalam bahasa Tobelo dialek Tugutil.
O gomatere Mendiagnosis Penyakit
Pada saat o gomatere berada dalam keadaan kerasukan (trence), proses mendiagnosa sebab-sebab sakit akan dimulai. Diawali dengan dialog antara keluarga pasien (khususnya orang tua pasien) dengan o gomatere. Roh atau makhluk halus melalui perantara tubuh o gomatere, akan bertanya tentang maksud pemanggilan roh (o gomanga) oleh o gomatere tersebut. Dialognya dalam bahasa Tobelo:
O gomatere : Na de toboaka, okia nima paralu de tini rio nako de taakunu
Sekarang saya sudah datang, apa kira-kira keperluan kalian yang bisa saya bantu, kalau saya mampu.
Pasien : E…e…e nia ngohaka de nia danongo na o huha magoronaka, mia ngohaka na wohiri, awi roehe ihauku, awi haeke ihauku deihiri oli, idekanoka de kamaowa-owaua. Mimahouruoka de kayaowaua, nimibantu nilega okiaga mahababu.
E….e…e anak cucumu ini dalam kesulitan, anak kami ini sakit, badannya panas kepalanya panas disertai dengan rasa sakit, sudah lama tidak sembuh, kami sudah berusaha mengobatinya tapi tidak kunjung sembuh. Bantulah kami untuk melihat apa sebab dari sakit kami ini.
Saat itu o gomatere kembali menutup kepala dan wajahnya dengan kain merah untuk menerawang sekitar 5 detik, o gomatere kembali membuka tutup kain merah dan menyampaikan sebab-sebab sakit yang diderita oleh anak tersebut.
O gomatere: o ngohaka na wo panyake ua, ngohaka wo gurumini dika, nako de taye oka awi gurumini, ga iarehe de awi roehe ihanangi oka.
Anak ini sebenarnya tidak mengidap penyakit apa-apa, dia hanya disimpan banyangannya (gurumi) oleh gomanga. Kalau saya sudah ambil kembali, besok sudah bisa sembuh.
Pasien: okia mimadiai okaho mia gomanga yongamoka ga, okia musti mimadiai la mia ngohaka na bihaka ohanangi oli
Apa yang sebenarnya yang telah kami perbuat sehingga mereka (o gomanga) bisa marah dan memberi kami peringatan terhadap kami.Apa yang harus kami lakukan untuk kesembuhan anak kami.
O gomatere: nia gomanga yongamoka go, ga de manga inomo nidiai la yoyomo, nako nimodeke nima hakai,de yongamokakaua ga yohigilioka awi gurumini. Hokoga de o ngohaka na takunu towi houru.
Roh leluhur (o gomanga) kalian sudah marah, untuk itu kalian harus melaksanakan upacara (o gomanga hohakai) untuk memberi makan mereka, kalau kalian mau melaksanakannya dan o gomanga telah memaafkan dan mengembalikan gurumi anak yang sakit ini, saya bisa mengobati anak ini.
Dalam ritual gomatere tersebut, shaman atau o gomatere ternyata tidak hanya mengungkapkan sebab sakit yang disebabkan oleh o gomanga atau roh, tetapi juga sebab sakit yang disebabkan oleh o ibilihi. Di waktu membakar dahan-dahan kayu saat membersihkan kebun sekitar satu bulan yang lalu, tempat pembakaran dahan tersebut berada tepat di tempat atau rumahnya o ibilihi. Mengusik o ibilihi dengan cara yang tidak disengaja tersebut, o ibilihi akan membalasnya dengan cara menyebarkan penyakit yang sama, yakni badan pasien akan terasa panas layaknya yang dirasakan oleh o ibilihi. Dialog antara keluarga pasien dengan o gomatere terjadi lagi, setelah diberitahukan oleh o gomatere bahwa bahwa penyakit dari pasien tersebut tidak saja disebabkan oleh o gomanga atau roh, tetapi ada sebab lainnya yakni o ibilihi (o ibilihi o tonakoka) yang terusik:
O gomatere: o ngohaka na awihiri mahababu kamoidika ua, hona tinihi ngahu moioli mahababu, o ibilihi o tonakoka iwidaene.
Anak ini sakitnya tidak hanya disebabkan oleh satu sebab, sekarang saya beritahukan ada satu sebab lagi yaitu o ibilihi o tonakoka atau makhluk halus yang berasal dari tanah.
Pasien: ga yadodoaho o gomanga madorou oli ma panyake mia make, ga de sarakia oli mimahouru. Na de niboaka ho ngomina nia ngohaka de nia danongo o houru mimagahoko.
Kalau begitu apa sebabnya sampai kami mendapatkan penyakit dari roh jahat (o gomanga madorou), dan bagaimana lagi kami harus berobat. Sekarang kami anak cucumu meminta obat dan kami tolong diobati.
O gomatere: takunu towi houru, nako de niaakunu de nima mangaku, na dema bohoko.
Saya siap dan mampu untuk mengobatinya, tetapi kalau kalian mampu, karena ini ada syaratnya (bohoko adalah belanga tempat masak yang terbuat dari tanah, gerabah).
Pasien: nako hokoga kamia akunu, asali mia ngohaka na awi panyake hihanga, o wange muruonohi de mimahakai.
Kalau begitu kami menyanggupinya, yang penting anak kami bisa sembuh dari sakitnya, berapa hari lagi kami bisa memasak makanan tersebut.
O gomatere: o minggu moi eko hinotohi nako de niakunoka nidiai, o akere na nihi okere de awi roehe nihipaha.
Satu atau dua minggu lagi kalau kalian sudah mampu melaksanakannya, air ini tolong diminumkan pada anak ini dan diusapkan pada tubuhnya.
O gomatere terus mendapat pertanyaan dari keluarga pasien tentang sebab-sebab sakit dan cara penyembuhannya. Bertanya di saat o gomatere dalam keadaan kerasukan (trence) adalah kesempatan untuk berinteraksi dengan o houru madutu yang bisa mengetahui sebab-sebab sakit dan cara pengobatannya. O houru madutu merupakan roh yang datang merasuki tubuh o gomatere di saat melakukan ritual gomatere. Shaman yang masih dalam keadaan kerasukan bisa dimintai bantuan yang lain, selain dari persoalan sebab-sebab sakit dan cara-cara pengobatannya. Seperti memberi informasi tentang benda-benda berharga milik keluarga yang hilang, dan itu bisa saja diusahakan untuk dikembalikan apabila ada yang mengambilnya.
O gomatere Mengobati dan Mencegah Penyakit
Ritual gomatere tujuan utamanya adalah pengobatan, untuk melakukan pengobatan harus didahului dengan proses diagnosis sebab-sebab sakit. Diagnosis dilakukan oleh seorang o gomatere di saat dia dalam keadaan kerasukan (trence) dirasuki oleh roh atau makhluk halus. Roh atau makhluk halus yang merasuki seorang o gomatere, oleh orang tugutil disebut sebagai o houru madutu = pemilik obat. Pemilik obat dalam pemahaman orang Tugutil adalah roh atau makhluk halus yang bisa mengetahui sebab-sebab sakit, cara-cara pengobatan dan pantangan-pantangan yang harus ditaati oleh setiap pasien dan keluarganya. O houru madutu adalah roh atau makhluk halus yang bersifat baik, karena selalu mau memberi pertolongan terhadap mereka dengan syarat-syarat yang tidak bisa dilanggar. Pengobatan yang dilakukan oleh o houru madutu dengan perantaraan tubuh shaman atau o gomatere pada umumnya bisa dilakukan apabila keluarga pasien bisa menyanggupi syarat-syarat yang diminta oleh o houru madutu. Biasanya syarat-syarat yang diminta tidak bisa ditawar pelaksanaannya, hanya pada persoalan waktu pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kesempatan dan kemampuan keluarga pasien.
Ritual yang masuk pada tahap pengobatan, terlihat tidak terlalu rumit seperti pada tahap seorang o gomatere mendiagnosa sebab-sebab sakit. Pengobatan yang dilakukan tidak menggunakan ramuan dan mantra-mantra tertentu, karena proses pengobatan tidak dilakukan oleh manusia melainkan dilakukan oleh roh o gomanga atau makhluk halus lainnya. Hal ini bisa terlihat disaat seorang o gomatere melakukan aksi pengobatannya dia tidak memberikan ramuan sama sekali, cukup menggunakan air di mangkuk putih, sesekali o gomatere meniup ke dalam mangkuk yang berisi air dan airnya akan diusapkan ke tubuh pasien.
Setelah melakukan pengobatan terhadap pasien, o gomatere akan mengusapkan air putih di bagian kepala terhadap seluruh keluarga pasien tersebut, dengan harapan anggota keluarga yang lainnya tidak sampai jatuh sakit atau terkena penyakit yang sama. Setelah selesai proses pengobatan, o gomatere akan sedikit memberi nasihat terhadap keluarga pasien dengan maksud agar mereka lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitasnya dan jangan melanggar pesan-pesan yang telah tinggalkan oleh para leluhur, serta terus menjaga hubungan dengan roh atau o gomanga. Selang beberapa saat kemudian o houru madutu atau pemilik obat akan meminta izin untuk pergi dari tubuh o gomatere. Kain merah penutup tubuh o gomatere kembali ditarik menutupi kepala dan seluruh tubuh o gomatere, terdiam sejenak dan akhirnya kembali pada keadaan sadar seperti semula.
Bapak Petrus Phenes, informan dan juga orang tua pasien yang diobati menjelaskan bahwa, melaksanakan ritual gomatere merupakan keharusan kalau penyakit yang diderita tidak kunjung sembuh. Karena penyakit yang telah diobati dalam waktu yang lama dan sudah beberapa orang o houru manyawa (dukun) berusaha mengobati namun tidak kunjung sembuh, berarti penyakit tersebut bukan lagi penyakit biasa, melainkan penyakit yang disebabkan oleh roh-roh dan makhluk halus atau perbuatan manusia dengan media santet. Untuk itu ritual gomatere merupakan cara yang tepat untuk mengatasi keadaan sakit tersebut. Seperti yang diutarakan sebagai berikut:
Ga mahouru homa gomatere dika, nako ho hiri de nanga panyake kayaowa-owa ua. Nako o panyake mabiaha homa houru o tau oka, eko homa gahoko nanga dimo-dimonoka manga houru, o moi eko hinoto dika nanga dimo-dimono o houru homa gahoko nanga panyake ihihangoka. Ma nakoka hohiri dema panyake maahali nyawaka manga manarama, o ibilihi, eko gomanga madorou, ga mustika homa gomatere.
Itu obatnya hanya bisa dengan melakukan ritual gomatere, kalau pada penyakit yang tidak kunjung sembuh. Kalau pada penyakit yang biasa saja, kita cukup meminta pengobatan dari para orang-orang tua kita (o houru manyawa) mungkin cukup satu atau dua orang dukun yang mengobati, kita pasti sudah sembuh. Tetapi kalau sakit dengan penyakit yang berasal dari berbuatan orang (santet), iblis, roh-roh jahat, itu harus dicari dan diobati dengan ritual gomatere.
Ritual gomatere bagi orang Tugutil tidak saja untuk tujuan mencaritahu sebab-sebab sakit dan kemudian dilakukan proses pengobatan atau penyembuhan, tetapi dalam ritual gomatere juga diharapkan ada tindakan-tindakan antisipasi atau pencegahan (preventif) terhadap datangnya penyakit (disease), yang harus dilakukan oleh setiap keluarga melalui keterangan-keterangan yang disampaikan oleh seorang shaman atau o gomatere saat melakukan ritual.
Penutup
Orang Tugutil meyakini roh atau makhluk halus lainnya yang memiliki sifat baik (o gomanga maoa) dan jahat (o gomanga madorou). Roh yang bersifat baik akan bisa menjadi marah dan dapat menyebabkan sakit, di saat mereka tidak memperlakukannya sebagaimana mestinya. Ternyata pemaknaan akan sifat baik dan jahat dari roh atau makhluk halus oleh setiap komunitas memiliki sisi-sisi kesamaan. Hasil penelitian Mc Hugh, 1959 tentang kepercayaan terhadap hantu pada masyarakat Melayu modern, yang diacu oleh Paul C.Y.Chen, menjelaskan bahwa praktik-praktik animisme tentang keagungan roh atau makhluk halus masih melekat pada orang melayu yang telah beragama Islam. Orang Melayu mengenal 58 jenis roh atau hantu, keyakinan akan roh ini sangat terasa dalam aspek kehidupan sehari-hari pada orang Melayu pedesaan. Mereka membedakan antara roh yang memiliki sifat jahat dan jin Islam yang bersifat baik atau jahat tergantung cara manusia memperlakukan mereka (1970).
Praktik shamanisme melalui ritual-ritual pengobatan, dengan menggunakan roh dan makhluk halus sebagai medium seperti pada ritual gomatere, umumnya terjadi pada komunitas-komunitas yang masih tetap mempertahankan sistem pengobatan tradisionalnya. Misalnya ritual dikei pada orang Sakai di Provinsi Riau, adalah ritual yang bertujuan untuk membuat obat dengan cara memanggil roh-roh (de’o) yang dilakukan oleh seorang shaman (kemantan) untuk memberi pengobatan agar orang yang sakit menjadi sehat. Seorang kemantan akan menyanyikan syair-syair lagu tentang roh (lagu antu dikei), memanggil roh dengan penuh rasa kasih sayang sambil membentangkan tangan dengan harapan roh yang dipanggil akan meludahkan keampuhan pengobatannya ditangan kemantan. Saat sang kemantan mengalami kesurupan (trance) saat itu juga kemantan akan menyampaikan tujuan mereka memanggil roh (Porath, 2012).
Berbagai ritual yang dimiliki oleh orang Tugutil di pedalaman pulau Halmahera, mulai dari ritual pengobatan (gomatere), ritual penghormatan roh (gomanga hohakai dan giamoka), ritual perlindungan kampung (dodofo), ritual hendak berburu, ritual sesajin di tempat keramat jere (wonge ma inomo), ritual inisiasi laki-laki dewasa (o houru manauru hohakai), sampai pada ritual-ritual yang bersifat menjalin hubungan antar warga sesama komunitas Tugutil (makodotaka) dan ritual membuka lahan tanam yang baru (Abdulrahman, 2013). Dari ritual-ritual tersebut sebagian sudah jarang kita temukan pada keseharian orang Tugutil, terutama ritual-ritual yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian hidup (berburu, meramu dan bercocok tanam secara sederhana). Sedangkan ritual-ritual yang berkaitan dengan sistem medis mereka (pengobatan dan pencegahan) masih sering dilakukan, salah satunya adalah ritual gomatere.
Hal ini menguatkan sebuah teori yang dibangun sejak awal penulisan, bahwasanya setiap suku bangsa memiliki sistem medis tradisional (traditional medical system) yang dibangun dengan kerangka budaya lokal, dan ritual-ritual pengobatan dan pencegahan merupakan bagian integral dari sistem medis tersebut. Bertahannya ritual-ritual pengobatan dan pencegahan penyakit pada satu suku bangsa, lebih disebabkan oleh kegunaan atau manfaat yang masih dirasakan oleh masyarakat pendukungnya.